Perjanjian kredit adalah kesepakatan antara dua pihak yang terdiri dari pihak kreditur (pihak yang memberikan pinjaman) dan pihak debitur (pihak yang menerima pinjaman). Namun ada sejumlah hal penting yang harus menjadi perhatian dalam memberikan layanan pinjam meminjam dan perlunya menerapkan prinsip kehati-hatian dalam memberikan atau menyalurkan pinjaman/kredit kepada calon debitur. 

Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, perjanjian kredit diatur oleh beberapa peraturan perundang-undangan, khususnya dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (“UU Perbankan“). Ada sejumlah pasal dalam KUHPerdata yang mengatur secara khusus tentang perjanjian kredit. 

Dasar Hukum Perjanjian Kredit

Menurut Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan bahwa, “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Perjanjian juga dapat dikatakan sebuah peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. 

Selanjutnya dalam Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa, “semua persetujuan yang dibuat sesuai undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. 

Dapat disimpulkan bahwa pasal di atas memperbolehkan masyarakat membuat perjanjian berupa atau berisi apa saja (tentang apa saja) dan perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang. Kebebasan berkontrak dari para pihak untuk membuat perjanjian itu meliputi:

  1. Perjanjian yang telah diatur oleh undang-undang;
  2. Perjanjian-perjanjian baru atau campuran yang belum diatur dalam undang-undang.

Perjanjian juga diatur Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak sah apabila bertentangan dengan undang – undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Selain KUHPerdata, perjanjian kredit juga diatur UU Perbankan. Pasal 1 angka 11 mendefinisikan kredit sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. 

Sesuai dengan ketentuan pokok-pokok pada Pasal 8 ayat (2) UU Perbankan menyatakan bahwa pemberian kredit dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis, kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan kredit, tetapi pada prakteknya bentuk perjanjian kredit dibuat secara baku (standard contract). 

Perjanjian baku adalah perjanjian yang materinya ditentukan terlebih dahulu secara sepihak oleh kreditur (bank) dengan syarat-syarat yang dibakukan dan ditawarkan kepada debitur. Jika debitur telah membubuhkan tanda tangannya di atas formulir perjanjian baku, berarti debitur tersebut sudah menyetujui isi perjanjian.

Baca juga: Pengertian dan Dasar Hukum Tanah Wakaf di Indonesia

Jenis-jenis Perjanjian Kredit 

  • Kredit perbankan 

Kredit ini diberikan oleh bank pemerintah/swasta kepada masyarakat atau dunia usaha. Kredit ini digunakan untuk membiayai sebagian kebutuhan modal dan/atau kredit bank yang diberikan kepada individu untuk membiayai pembelian kebutuhan berupa barang maupun jasa;

  • Kredit likuiditas

Kredit ini diberikan diberikan oleh Bank Sentral kepada bank-bank yang beroperasi di Indonesia, yang selanjutnya digunakan sebagai dana untuk membiayai kegiatan perkreditannya;

  • Kredit langsung

Kredit ini diberikan oleh Bank Indonesia kepada lembaga pemerintah maupun semi pemerintah. 

Dari segi tujuan penggunaan, jenis kredit dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Kredit konsumtif, yaitu kredit yang diberikan oleh bank pemerintah/swasta yang diberikan kepada perorangan untuk membiayai keperluan konsumsinya dan kebutuhan sehari-hari;
  2. Kredit produktif, kredit yang ditujukan untuk pembiayaan modal tetap. Sedangkan kredit eksploitasi adalah kredit yang ditujukan untuk penggunaan pembiayaan kebutuhan modal kerja berupa bahan baku, persediaan produk akhir, barang dalam proses produksi serta piutang;

Selain itu, dari segi jangka waktunya, kredit dibedakan menjadi:

  1. Kredit jangka pendek berjangka waktu maksimum 1 tahun. Bentuknya dapat berupa kredit rekening koran, kredit penjualan, kredit pembelian dan kredit wesel;
  2. Kredit jangka menengah berjangka waktu antara 1 tahun sampai 3 tahun; 
  3. Kredit jangka panjang, berjangka waktu lebih dari 3 tahun. Kredit jangka panjang ini pada umumnya adalah kredit investasi, atau kredit kebutuhan modal ekspansi (perluasan) dan pendirian proyek baru.

Baca juga: Solusi Damai Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata

Kesimpulan

Perjanjian kredit merupakan kesepakatan yang melibatkan kreditur dan debitur, diatur oleh KUHPerdata serta UU Perbankan. Hukum Perjanjian kredit tidak hanya mengikat para pihak, namun juga membawa prinsip kehati-hatian sebagai dasar penyalurannya. Di dalamnya, kebebasan berkontrak memungkinkan para pihak menyusun perjanjian sesuai kebutuhan dan tujuan.

Perjanjian kredit harus disusun secara sah dan jelas, dengan informasi transparan mengenai persyaratan serta risiko yang terlibat. Bentuk perjanjian kredit seringkali menggunakan kontrak baku atau debitur dianggap menyetujui seluruh ketentuan yang telah ditetapkan oleh kreditur. 

Baca juga: Peran Pengadilan dalam Penegakan Hukum Perdata

Sumber Hukum

Referensi: