Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) merupakan mekanisme penting yang mengatur ketika suatu perusahaan tidak mampu memenuhi kewajiban utangnya. Meski fokus utama proses tersebut seringkali tertuju pada penyelesaian kreditur dan nilai aset debitur, peran dan posisi karyawan sebagai bagian penting dari entitas bisnis tidak boleh diabaikan. Ketika sebuah perusahaan mengalami kesulitan keuangan, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pemilik dan investor, melainkan karyawan pun berada di garis depan ketidakpastian.
Mereka yang selama ini menjadi tulang punggung operasional, tiba-tiba harus menghadapi kenyataan pahit, yakni pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalam situasi seperti ini, muncul banyak pertanyaan yang wajar dan mendesak, apakah hak-hak karyawan tetap dijamin? Bagaimana nasib gaji yang belum dibayarkan? Apakah mereka masih memiliki kekuatan untuk memperjuangkan haknya di tengah jalannya proses hukum?
Proses PKPU menjadi momen transisi yang penuh tekanan, baik bagi perusahaan maupun para pekerja. Di satu sisi, perusahaan berusaha menyusun rencana penyelamatan agar bisa kembali bangkit. Di sisi lain, karyawan yang terkena PHK harus memperjuangkan hak-haknya di tengah proses hukum yang kompleks. SIP Law Firm akan menguraikan bagaimana posisi karyawan dalam proses PKPU secara hukum, apa saja hak yang seharusnya diterima oleh karyawan, dan bagaimana sistem hukum memberikan perlindungan terhadap mereka sebagai pihak yang terdampak langsung.
Status Karyawan Saat Perusahaan Dinyatakan Pailit
Ketika sebuah perusahaan dinyatakan pailit, dampaknya tidak hanya menyentuh aspek keuangan dan operasional, tetapi juga langsung memengaruhi posisi karyawan secara hukum dan praktis. Mereka yang sebelumnya memiliki hubungan kerja tetap dan hak-hak yang dijamin oleh perusahaan, kini harus menghadapi ketidakpastian status dan nasib hak-hak tersebut. Dalam situasi ini, hubungan kerja tidak lagi berdiri di atas kesepakatan antara pekerja dan pengusaha semata, melainkan ikut masuk ke dalam ranah hukum kepailitan yang diatur oleh pengadilan.
Pasal 39 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU K-PKPU”) mengatur bahwa:
- Pekerja yang bekerja dengan Debitor dapat memutuskan hubungan kerja, dan sebaliknya Kurator dapat memberhentikannya dengan mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan pengertian bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan paling singkat 45 (empat lima) hari sebelumnya.
- Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit.
Karyawan yang bekerja di perusahaan yang telah dinyatakan pailit memiliki hak untuk mengakhiri hubungan kerja secara sepihak, dan di sisi lain, kurator juga berwenang untuk melakukan pemberhentian terhadap karyawan. Namun, keduanya harus tetap mematuhi ketentuan yang berlaku, termasuk masa pemberitahuan yang wajib diberikan paling sedikit 45 hari sebelumnya. PHK yang dilakukan selama PKPU harus tetap menjamin hak-hak karyawan sebagai bagian dari sistem hukum yang adil dan proporsional. Karyawan yang di-PHK selama PKPU memiliki kedudukan sebagai kreditur dan berhak mengajukan tagihan atas hak-haknya dalam proses pencocokan piutang di Pengadilan Niaga.
Dampak dan Nasib Hak Karyawan Selama Proses Kepailitan dan PKPU
Proses PKPU bertujuan untuk memberikan ruang bagi debitur dan kreditur menyusun rencana perdamaian agar utang dapat diselesaikan tanpa harus melalui proses kepailitan. Namun, selama masa PKPU, perusahaan tetap dapat melakukan PHK terhadap karyawan dengan alasan efisiensi atau restrukturisasi operasional. Setelah pengadilan resmi menyatakan perusahaan pailit, seluruh kewajiban pembayaran upah, baik yang belum dibayarkan sebelum maupun setelah putusan tersebut, akan dianggap sebagai bagian dari utang yang harus diselesaikan melalui harta pailit.
Dalam Pasal 80 angka 45 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) menyisipkan Pasal 154A ayat (1) huruf e dan f bahwa Pemutusan Hubungan Kerja dapat terjadi karena Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang dan pailit.
Dalam hal PHK terjadi, pengusaha wajib membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh pekerja/buruh sesuai ketentuan Pasal 156 UU Ketenagakerjaan. Selain itu, Pasal 95 UU Ketenagakerjaan yang telah diubah melalui Pasal 80 angka 36 UU Cipta Kerja menegaskan:
- Dalam hal Perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, Upah dan hak lainnya yang belum diterima oleh Pekerja/Buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
- Upah Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya sebelum pembayaran kepada semua kreditur.
- Hak lainnya dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.
Pasal tersebut mengartikan bahwa sebelum perusahaan melunasi utang kepada kreditur lain, hak-hak karyawan wajib diselesaikan terlebih dahulu, kecuali terhadap kreditur yang memiliki jaminan kebendaan. Ini menunjukkan bahwa sistem hukum secara eksplisit mengakui posisi karyawan sebagai pihak yang paling rentan dan berhak mendapatkan perlakuan adil dalam proses pemberesan harta perusahaan.
Baca juga: Panduan Hukum Lengkap tentang Lembur: Hak Pekerja & Kewajiban Pengusaha
Perlindungan Hukum terhadap Karyawan sebagai Kreditur Preferen
Dalam sistem kepailitan, karyawan yang memiliki piutang berupa upah, pesangon, atau hak lainnya dikategorikan sebagai kreditur preferen. Dalam sistem kepailitan, karyawan yang memiliki piutang berupa upah, pesangon, dan hak lainnya dikategorikan sebagai kreditur preferen. Kedudukan ini memberikan hak istimewa kepada karyawan untuk mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dibandingkan kreditur konkuren. Hal ini diatur dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 67/PUU-XI/2013 (“Putusan MK 67/2013”) merupakan tonggak penting dalam perlindungan hak-hak pekerja, khususnya dalam konteks kepailitan perusahaan. Putusan ini lahir dari permohonan uji materi terhadap Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, yang dinilai oleh para pemohon bertentangan dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dengan kata lain, MK menegaskan bahwa dalam proses kepailitan, upah pekerja memiliki prioritas tertinggi dalam pelunasan utang perusahaan, bahkan melebihi hak kreditur separatis (misalnya bank yang memiliki jaminan fidusia atau hipotek). Hal ini menegaskan bahwa pembayaran upah buruh terutang mendapatkan super prioritas dari semua tagihan yang dimiliki debitur. Putusan ini memperkuat posisi pekerja sebagai pihak yang paling rentan dan berhak mendapatkan perlindungan maksimal dalam proses hukum yang menyangkut keberlangsungan hidup mereka.
Sebelum putusan MK ini, posisi pekerja dalam proses kepailitan cenderung lemah karena pembayaran hak-hak mereka sering kali dikalahkan oleh kreditur separatis yang memiliki jaminan kebendaan. Putusan MK No. 67/2013 mengubah paradigma tersebut dengan menegaskan bahwa upah pekerja harus didahulukan pembayarannya atas semua jenis kreditur, termasuk kreditur separatis, tagihan negara, dan badan umum pemerintah. Lebih lanjut, kurator memiliki peran penting dalam memastikan bahwa hak-hak karyawan sebagai kreditur preferen dipenuhi secara adil.
Dalam proses pemberesan harta pailit, kurator wajib mencatat dan memprioritaskan tagihan karyawan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Jika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak tersebut, karyawan dapat mengajukan gugatan atau keberatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) atau mengajukan laporan ke Dinas Ketenagakerjaan.***
Baca juga: Hak Pekerja dengan Status Pensiun Dini
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU K-PKPU”).
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (“UU Cipta Kerja”).
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).
- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 67/PUU-XI/2013 (“Putusan MK 67/2013”).
Referensi:
- Hak Karyawan saat Perusahaan Pailit. HukumOnline. (Diakses pada 28 Agustus 2025 pukul 13.31 WIB).
- Ramadhani, W. R. (2021). Kreditor Separatis vs. Upah Buruh: Suatu Kajian Dalam Hukum Kepailitan. Media Iuris, 4(1), 103–124. (Diakses pada 28 Agustus 2025 pukul 14.25 WIB).