Dalam dinamika hubungan industrial modern, kerja lembur menjadi salah satu aspek penting yang tidak dapat dihindari. Kebutuhan operasional perusahaan yang menuntut fleksibilitas waktu kerja sering kali mengharuskan pekerja untuk bekerja di luar jam kerja normal. Namun, praktik kerja lembur harus tetap berada dalam koridor hukum agar tidak menimbulkan pelanggaran hak-hak pekerja. Oleh karena itu, pemahaman yang komprehensif terhadap regulasi kerja lembur menjadi krusial, baik bagi pengusaha maupun pekerja. Di Indonesia, kerja lembur diatur melalui sejumlah regulasi yang terus berkembang seiring reformasi ketenagakerjaan.

SIP Law Firm akan menguraikan penjabaran mendalam mengenai ketentuan hukum kerja lembur di Indonesia melalui artikel berikut.

Dasar Hukum dan Batasan Waktu Kerja Lembur

Kerja lembur diatur secara eksplisit dalam Pasal 78 dan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (“UU Cipta Kerja”). Berdasarkan ketentuan tersebut, pengusaha yang memperkerjakan pekerja melebihi waktu kerja yang telah ditentukan wajib membayar upah lembur. Waktu kerja normal sendiri diatur melalui Pasal 81 angka 23 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 77 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, yaitu:

a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu minggu) untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu minggu); atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. 

Diatur dalam Pasal 81 angka 24 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 78 UU Ketenagakerjaan, bahwa Pengusaha yang mempekerjakan Pekerja/Buruh melebihi waktu yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat:

a. Ada persetujuan Pekerja/Buruh yang bersangkutan; dan
b. Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu. 

Dalam pelaksanaan kerja lembur, aspek persetujuan dari pekerja menjadi syarat mendasar yang wajib dipenuhi oleh pengusaha agar lembur tersebut sah secara hukum. Ketentuan ini diatur secara tegas dalam Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”) bahwa:

“Untuk melaksanakan Waktu Kerja Lembur harus ada perintah dari Pengusaha dan persetujuan dari Pekerja/Buruh yang bersangkutan secara tertulis dan/atau melalui media digital.”

Hal ini menegaskan bahwa kerja lembur bukan merupakan kewajiban mutlak yang dapat diberlakukan sepihak oleh pengusaha, melainkan sebuah bentuk kesepakatan antara kedua belah pihak. Selain itu, melalui Pasal 29 ayat (1) PP 35/2021 juga menjelaskan kewajiban yang harus dipenuhi perusahaan yang mempekerjakan Pekerja/Buruh selama waktu kerja lembur, di antaranya:

a. membayar Upah Kerja Lembur;
b. memberi kesempatan untuk istirahat secukupnya; dan
c. memberikan makanan dan minuman paling sedikit 1.400 (seribu empat ratus) kilo kalori, apabila kerja lembur dilakukan selama 4 (empat) jam atau lebih.

Pemberian makanan dan minuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak dapat digantikan dalam bentuk uang.  

Ketentuan Upah Lembur dan Rumus Perhitungannya

Ketentuan terkait upah kerja lembur diatur secara rinci melalui Pasal 31 ayat (1) sampai (3) PP 35/2021 sebagai berikut:

1. Perusahaan yang mempekerjakan Pekerja/Buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) wajib membayar Upah Kerja Lembur dengan ketentuan:

a. untuk jam kerja lembur pertama sebesar 1,5 (satu koma lima) kali Upah sejam; dan
b. untuk setiap jam kerja lembur berikutnya, sebesar 2 (dua) kali Upah sejam.

2. Perusahaan yang mempekerjakan Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar Upah Kerja Lembur, apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari kerja dan resmi untuk waktu kerja 6 (enam) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu dengan ketentuan:

a. perhitungan Upah Kerja Lembur dilaksanakan sebagai berikut:

1. jam pertama sampai dengan jam ketujuh, dibayar 2 (dua) kali Upah sejam;
2. jam kedelapan, dibayar 3 (tiga) kali Upah sejam; dan
3. jam kesembilan, jam kesepuluh, dan jam kesebelas dibayar 4 (empat) kali Upah sejam.

b.  Jika hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek, perhitungan Upah Kerja Lembur dilaksanakan sebagai berikut:

1. jam pertama sampai dengan jam kelima, dibayar 2 (dua) kali Upah sejam;
2. jam keenam, dibayar 3 (tiga) kali Upah sejam; dan
3. jam ketujuh, jam kedelapan, dan jam kesembilan, dibayar 4 (empat) kali Upah sejam.

3. Perusahaan yang mempekerjakan Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar Upah Kerja Lembur, apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu, dengan ketentuan perhitungan Upah Kerja Lembur dilaksanakan sebagai berikut:

a. jam pertama sampai dengan jam kedelapan dibayar 2 (dua) kali Upah sejam;
b. jam kesembilan, dibayar 3 (tiga) kali Upah sejam; dan
c. Jam kesepuluh, jam kesebelas, dan jam kedua belas, dibayar 4 (empat) kali Upah sejam. 

Perhitungan upah kerja lembur pada dasarnya didasarkan pada upah bulanan pekerja. Untuk menentukan upah lembur per jam, digunakan rumus satu per seratus tujuh puluh tiga (1/173) dikalikan dengan jumlah upah bulanan. Dalam hal struktur upah terdiri dari komponen upah pokok dan tunjangan tetap, maka dasar perhitungan upah kerja lembur adalah seratus persen dari jumlah upah tersebut. 

Namun, apabila struktur upah mencakup komponen upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap, maka perlu dilakukan penyesuaian. Jika akumulasi antara upah pokok dan tunjangan tetap lebih kecil dari tujuh puluh lima persen dari keseluruhan upah, maka dasar perhitungan upah kerja lembur ditetapkan sebesar tujuh puluh lima persen dari total upah.

Sanksi dan Kepatuhan Terhadap Regulasi Lembur

Jika perusahaan tidak melaksanakan kewajibannya—misalnya tidak membayar upah lembur atau tidak mendapatkan persetujuan pekerja untuk lembur—maka penyelesaiannya mengikuti mekanisme perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”). Proses ini dimulai dari perundingan bipartit, dan jika tidak tercapai kesepakatan, dilanjutkan ke mediasi, konsiliasi, arbitrase, atau gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Akan tetapi, apabila penyelesaian melalui mekanisme UU PPHI tidak berhasil atau tidak dijalankan sebagaimana mestinya, maka berlaku ketentuan Pasal 81 angka 69 UU Cipta Kerja, yang mengubah Pasal 188 ayat UU Ketenagakerjaan. Ketentuan ini menyatakan bahwa perusahaan bisa mendapatkan sanksi pidana paling sedikit Rp5 juta dan paling banyak Rp50 juta. 

Kemudian, pengusaha yang tidak membayar upah kerja lembur dikenakan sanksi pidana kurungan minimal 1 bulan dan maksimal 12 bulan dan/atau denda minimal Rp10 juta dan maksimal Rp100 juta.

Kerja lembur di Indonesia merupakan praktik yang sah dan diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan, dengan syarat adanya persetujuan dari pekerja, kepatuhan terhadap batas waktu maksimal, serta kewajiban pengusaha untuk membayar upah lembur sesuai ketentuan. Ketidakpatuhan terhadap aturan ini tidak hanya merugikan pekerja, tetapi juga dapat menimbulkan konsekuensi hukum yang signifikan bagi perusahaan, sehingga penting bagi seluruh pihak untuk memahami dan menerapkan ketentuan lembur secara bertanggung jawab dan transparan.***

Daftar Hukum: