Pekerja seni memiliki peran penting dalam memperkaya budaya dan seni dalam sebuah negara. Mereka berkontribusi melalui karya seni yang mencakup berbagai bidang, seperti musik, teater, tari, dan seni visual. Meski demikian, status dan perlindungan hukum bagi pekerja seni kerap kali kurang mendapatkan perhatian dibandingkan dengan pekerja di sektor lain. Belum lama ini, Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI) menjalin kolaborasi dengan BPJS Ketenagakerjaan dalam memberikan jaminan sosial bagi pekerja di bidang musik.
Kolaborasi yang dilakukan FESMI dan BPJS menjadi langkah untuk memberikan perlindungan bagi para musisi di bidang musik. Diatur dalam Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) yakni setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja. Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan adanya jaminan sosial, pekerja seni dapat merasa lebih aman karena memiliki perlindungan finansial jika terjadi kecelakaan kerja atau ketika pensiun.
Dalam Pasal 86 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
- Keselamatan dan kesehatan kerja;
- Moral dan kesusilaan; dan
- Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
Pekerja seni, seperti pekerja lainnya, berhak untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan setara tanpa diskriminasi di lingkungan kerja. Pasal 5 UU Ketenagakerjaan menegaskan bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Setiap pekerja, termasuk pekerja seni, harus diperlakukan dengan adil tanpa ada intervensi dan diskriminasi, baik berdasarkan suku, agama, ras, jenis kelamin, atau latar belakang lainnya.
Selain itu, pekerja seni juga berhak atas perlindungan hukum dalam hal perlindungan kontrak kerja. Sebagai pekerja yang sering kali bekerja berdasarkan proyek atau kontrak jangka pendek, pekerja seni harus memiliki perjanjian atau kontrak kerja yang jelas dan adil. Kontrak kerja ini harus mencakup hak dan kewajiban kedua belah pihak, termasuk pembayaran honorarium. Dalam Pasal 56 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyebut bahwa perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
Baca juga: Bagaimana Kontrak Kerja Melindungi Hak dan Kewajiban Antara Perusahaan dan Karyawan
Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan sehingga berbunyi bahwa perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu sebagai berikut:
- Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
- Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;
- Pekerjaan yang bersifat musiman;
- Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau
- Pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.
Pekerja seni menggunakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) karena sifat pekerjaan yang sementara atau projek tertentu yang bersifat sekali selesai. Misalnya pada produksi film, pertunjukan teater, atau pun konser musik. PKWT memungkinkan fleksibilitas bagi pekerja seni untuk bekerja pada berbagai projek yang berbeda tanpa terikat pada satu pemberi kerja dalam jangka waktu yang panjang. Sebagaimana dalam Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja bahwa perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Hal ini membuat pekerja seni dapat lebih dinamis untuk mengejar berbagai peluang dalam industri seni dan hiburan.
Ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan diubah melalui Pasal 81 angka 16 UU Cipta Kerja sehingga berbunyi bahwa perjanjian kerja berakhir apabila:
- Pekerja/Buruh meninggal dunia;
- Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
- Selesainya suatu pekerjaan tertentu;
- Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan lembaga penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
- Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya Hubungan Kerja.
Menurut UU Cipta Kerja, PKWT harus dibuat secara tertulis dan memuat informasi yang jelas mengenai hak dan kewajiban kedua belah pihak, termasuk durasi perjanjian, jenis pekerjaan, serta upah atau honorarium yang akan diterima. Dengan menggunakan PKWT, pekerja seni dapat memastikan bahwa hak-hak mereka dilindungi selama masa kerja, termasuk hak atas upah yang layak, kondisi kerja yang aman, dan jaminan sosial yang sesuai. Regulasi ketenagakerjaan terhadap para pekerja seni bertujuan untuk memastikan agar para pekerja kreatif mendapatkan perlindungan bagi pekerja seni yang layak dan adil seperti pekerja pada sektor lainnya. Melalui hal ini, para pekerja seni dapat bekerja dengan aman dan nyaman, serta dapat mengembangkan karier di bidang seni secara optimal.
Baca juga: Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dengan Manajemen Konflik yang Baik!
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (“UU Cipta Kerja”).
Referensi:
- Dukung Jaminan Sosial untuk Pekerja Seni dan Budaya, Yovie Widianto: Semua Harus Dapat Manfaatnya. Kompas.com. (Diakses pada 3 Januari 2025 pukul 10.41 WIB).