Dalam sebuah lingkungan kerja, konflik menjadi hal yang bisa saja terjadi dan tidak bisa dihindari. Hal tersebut menjadi sebuah fenomena alami dalam hubungan kerja dan dapat terjadi akibat berbagai faktor, seperti perbedaan nilai, tujuan, persepsi, hingga kepentingan tertentu. Konflik bisa saja muncul antara pengusaha dan pekerja, atau pun antara sesama pekerja. Oleh karena itu, penting bagi sebuah perusahaan untuk memiliki strategi manajemen konflik yang efektif untuk menjaga harmoni, produktivitas pegawai, dan juga kesejahteraan di lingkungan kerja.
Pada sistem hukum di Indonesia, konflik atau persoalan yang muncul di lingkungan kerja disebut dengan perselisihan hubungan industrial. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja dan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU 2/2004”).
Terkait dengan jenis perselisihan hubungan industrial telah diatur dalam Pasal 2 UU 2/2004 yang meliputi:
- Perselisihan hak;
- Perselisihan kepentingan;
- Perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan
- Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Baca juga: Investasi SDM Melalui Pendidikan dan Pelatihan Kerja
Dalam hal ini, pengusaha atau pun perusahaan wajib memastikan bahwa penyelesaian perselisihan dilakukan secara adil, transparan, dan tanpa memihak. Pengusaha atau perusahaan harus mengimplementasikan kebijakan dan prosedur yang jelas dalam menangani perselisihan. Hal ini mencakup penyusunan peraturan perusahaan yang mengatur mekanisme penyelesaian konflik, hingga pembentukan manajemen konflik yang independen agar konflik dapat diselesaikan secara efektif.
Berdasarkan Pasal 136 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) dijelaskan bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat. Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan Undang-Undang.
Hal tersebut turut dipertegas dalam Pasal 3 UU 2/2004 bahwa perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Perundingan bipartit tersebut harus diselesaikan paling lama dalam 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Jika dalam jangka waktu tersebut salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan namun tidak mencapai titik kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Apabila dalam melakukan perundingan bipartit gagal, maka berdasarkan Pasal 4 UU 2/2024 salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Lebih lanjut setelah instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak maka wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase.
Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh, sementara penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Jika dalam hal ini para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator. Namun, jika penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.
Manajemen konflik dalam perselisihan hubungan industrial menjadi aspek penting yang harus dimiliki dan dikelola dengan baik di berbagai lingkungan pekerjaan. Berdasarkan regulasi yang berlaku di Indonesia terkait dengan penyelesaian konflik ketenagakerjaan, pengusaha atau perusahaan memegang peranan penting dan wajib untuk memastikan bahwa setiap pekerja mendapatkan perlakuan yang adil tanpa diskriminasi dalam penyelesaian konflik. Selain itu, lembaga penyelesaian konflik, seperti Dinas Tenaga Kerja hingga Pengadilan Hubungan Industrial turut memainkan peran krusial dalam menangani konflik agar dapat diselesaikan secara adil, damai, dan transparan bagi pihak-pihak yang terlibat.
Baca juga: Perubahan Paradigma Ketenagakerjaan: Implikasi Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU 2/2004”).
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).
Referensi:
- Cara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Kompas.com. (Diakses pada 3 Desember 2024 pukul 09.40 WIB).