Peralihan hak atas tanah adalah salah satu aspek esensial dalam hukum properti. Proses ini melibatkan dua pihak utama, yaitu pemilik dan pembeli tanah, sebagai awal dari perubahan penguasaan tanah dari satu pihak ke pihak lain.

Peralihan hak tanah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UU Agraria). Pasal 16 ayat (1) menguraikan berbagai hak atas tanah, antara lain:

  1. Hak Milik, hak yang paling kuat dan penuh, di mana pemilik memiliki wewenang untuk menguasai tanah sepenuhnya untuk segala keperluan;
  2. Hak Guna Usaha (HGU), hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh negara untuk kegiatan tertentu, seperti pertanian atau peternakan, dengan jangka waktu tertentu. HGU diatur dalam PP No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah;
  3. Hak Guna Bangunan (HGB), hak untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah yang bukan miliknya, dengan jangka waktu 25 tahun dan maksimal 35 tahun. HGB diatur oleh Pasal 35 hingga Pasal 40 UU Agraria;
  4. Hak pakai, hak untuk menggunakan tanah yang dikuasai negara atau orang lain dengan batas waktu tertentu, sesuai dengan PP No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah; 
  5. Hak sewa, kesepakatan antara pemilik dan penyewa untuk menggunakan aset atau properti dengan pembayaran terjadwal;
  6. Hak membuka tanah, hak yang dimiliki oleh WNI untuk membuka lahan baru, diatur oleh PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah; 
  7. Hak memungut hasil hutan, hak untuk memanfaatkan sumber daya hutan yang diberikan oleh pemerintah, diatur PP Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan Dan Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi.

Jenis-jenis Peralihan Hak atas Tanah

Setiap peralihan hak tanah di Indonesia harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang diatur dalam UU Agraria. Undang-undang ini menetapkan bahwa peralihan hak atas tanah harus dilakukan dengan akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dan didaftarkan pada kantor pertanahan setempat untuk memberikan kepastian hukum.

Jenis-jenis peralihan hak atas tanah meliputi:

  • jual-beli;
  • pewarisan;
  • wasiat;
  • hibah;
  • wakaf;
  • pemasukan dalam perusahaan;
  • penggabungan atau peleburan perseroan/koperasi;
  • tukar-menukar;
  • pembagian harta bersama. 

Baca juga: Berkomitmen Lindungi Investor Properti, Pemerintah Siapkan Aturan Hukum Komprehensif

Prosedur Peralihan Hak Atas Tanah

Prosedur peralihan hak atas tanah dapat dilakukan melalui beberapa cara, seperti jual-beli, tukar-menukar, hibah, dan pemasukan dalam perusahaan. Khusus untuk daerah terpencil yang belum memiliki Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), pembuatan akta dapat dilakukan dengan kehadiran para pihak yang terlibat dan disaksikan oleh minimal dua saksi yang memenuhi syarat. Berdasarkan Pasal 38 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP 24/1997), pembuatan akta harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 orang saksi yang memenuhi persyaratan sebagai saksi dalam perbuatan hukum tersebut.

Peralihan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan kutipan risalah lelang yang dibuat oleh pejabat lelang. Kantor lelang wajib meminta informasi terbaru mengenai tanah yang akan dilelang dari kantor pertanahan, dengan permintaan diajukan paling lambat tujuh hari kerja sebelum lelang. Kantor Pertanahan akan memberikan informasi dalam waktu lima hari kerja setelah menerima permintaan tersebut.

Peralihan hak karena warisan terjadi saat pemegang hak meninggal dunia, dan sejak saat itu, ahli waris menjadi pemegang hak baru. Pendaftaran peralihan hak karena pewarisan harus dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum kepada para ahli waris.

Jika peralihan hak disebabkan oleh penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi yang tidak melalui likuidasi, peralihan dapat didaftarkan berdasarkan akta yang membuktikan penggabungan atau peleburan tersebut, yang kemudian disahkan oleh pejabat berwenang.

Kepala kantor pertanahan memiliki kewenangan untuk menolak pendaftaran peralihan hak jika ditemukan ketidaksesuaian antara sertifikat dan daftar yang ada, dokumen tidak lengkap, atau jika tanah menjadi objek sengketa di pengadilan.

Baca juga: Perbedaan Investasi Properti Residensial dan Komersial

Kesimpulan 

Peralihan hak tanah di Indonesia merupakan proses hukum dalam properti, di mana kepemilikan atau hak atas tanah berpindah dari satu pihak ke pihak lain. Proses ini melibatkan berbagai bentuk peralihan, seperti jual-beli, pewarisan, hibah, dan wakaf, yang semuanya harus dilakukan sesuai prosedur hukum yang berlaku. 

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UU Agraria) menjadi landasan hukum utama yang mengatur hak-hak atas tanah, seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai, dan lainnya. Setiap peralihan hak harus didaftarkan pada kantor pertanahan setempat dan dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Upaya ini dilakukan sebagai upaya melindungi hak-hak semua pihak yang terlibat dan mencegah sengketa hukum di kemudian hari. 

Baca juga: KPR Syariah Sebagai Alternatif Kepemilikan Properti Tanpa Riba

Sumber Hukum: 

Referensi: