Properti syariah semakin populer dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia. Properti syariah atau yang umum disebut KPR Syariah merupakan cara kepemilikan rumah yang berlandaskan prinsip-prinsip syariah dan melarang unsur riba (bunga) dan transaksi spekulatif yang bersifat merugikan salah satu pihak. Saat ini KPR Syariah juga sudah diterapkan dalam kepemilikan apartemen (KPA).
KPR syariah dan KPR konvensional memiliki perbedaan dalam beberapa aspek. Aspek properti syariah, prosesnya hanya melibatkan konsumen dan pihak pengembang. Transaksinya pun tidak menerapkan sistem bunga dan denda karena dianggap mengandung unsur riba yang dilarang oleh ajaran agama Islam. Proses pembangunan pada properti syariah dilakukan setelah konsumen membayar uang booking fee, DP, dan cicilan. Sementara itu, proses pembangunan pada KPR konvensional menerapkan sistem inden atau ready stock.
Keuntungan properti syariah yang dapat dirasakan oleh konsumen adalah cicilan tetap yang tak akan berubah meski suku bunga Bank Indonesia (BI) fluktuatif, ini karena dalam sistem syariah tidak mengenal adanya riba.
Pembiayaan Properti Syariah
Pembiayaan KPR Syariah yang biasanya dilaksanakan oleh industri perbankan mengacu pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (“UU Perbankan”). Pembiayaan syariah juga harus mengikuti sejumlah aturan yang ditetapkan berdasarkan fatwa dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dalam proses pembelian, biasanya pihak pengembang atau developer menggunakan akad ‘istishna’. Dikutip dari laman Otoritas Jasa Keuangan (OJK), istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan yang disepakati antara pemesan dan penjual rumah secara syariah
Kegiatan usaha yang dilakukan perusahaan pembiayaan syariah di Indonesia adalah pembiayaan jual beli, pembiayaan investasi, dan pembiayaan jasa yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 10/POJK.05/2019. Peraturan ini mengatur tentang penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan syariah dan unit usaha syariah di Indonesia, termasuk jenis-jenis pembiayaan yang dapat mereka tawarkan.
Jenis akad yang umum digunakan dalam pembiayaan kepemilikan rumah dan apartemen di Indonesia meliputi:
- Akad Jual Beli atau Akad Murabahah
Murabahah adalah perjanjian jual beli antara bank dan nasabah di mana bank syariah membeli properti/apartemen yang dibutuhkan, kemudian menjualnya kepada nasabah dengan harga perolehan ditambah margin keuntungan yang disepakati. Nasabah kemudian memiliki properti tersebut melalui pembayaran cicilan.
Pasal 19 huruf d Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (“UU Perbankan Syariah”) menjelaskan bahwa murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga beli kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga lebih sebagai keuntungan yang disepakati. Dalam akad murabahah, bank tidak mengenakan bunga atas cicilan yang dibayarkan nasabah, melainkan mengambil margin atau keuntungan dari penjualan rumah yang sudah ditetapkan sejak awal. Besaran cicilan tetap sepanjang jangka waktu yang disepakati.
- Akad Musyarakah Mutanaqishah (Kerjasama–Sewa)
Musyarakah mutanaqisah adalah akad antara dua pihak atau lebih yang berserikat dalam suatu barang, di mana salah satu pihak secara bertahap membeli bagian pihak lainnya.
Akad ini diatur oleh fatwa DSN-MUI No. 73/DSN-MUI/XI/2008, yang mendefinisikan musyarakah mutanaqisah sebagai akad di mana kepemilikan aset (barang) atau modal salah satu pihak berkurang akibat pembelian bertahap oleh pihak lainnya.
Dalam skema ini, bank dan nasabah bersama-sama membeli rumah atau apartemen dengan porsi kepemilikan yang disepakati (misalnya: bank 80 persen, nasabah 20 persen). Nasabah kemudian membeli bagian kepemilikan bank melalui pembayaran angsuran, hingga seluruh aset kepemilikan berpindah tangan ke nasabah. Besar cicilan dalam skema ini ditentukan berdasarkan kesepakatan antara bank dan nasabah.
- Akad Istishna (Akad Pesan Bangun)
Akad selanjutnya yang umum hadir dalam skema pembiayaan KPR Syariah adalah akad istishna atau akad yang dilakukan dalam bentuk pesan bangun. Biasanya akad ini digunakan saat konsumen ingin membeli properti dalam kondisi inden. Akad istishna cukup jarang ditawarkan oleh pihak bank di Indonesia, meskipun sebenarnya akad ini cukup umum ditawarkan oleh pihak pengembang.
Spesifikasi dan harga barang pesanan dalam akad istishna disepakati oleh pembeli dan penjual pada awal akad. Pada dasarnya harga barang tidak dapat berubah selama jangka waktu akad, kecuali disepakati oleh kedua belah pihak. Barang pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati antara pembeli dan penjual. Jika barang pesanan salah atau cacat maka penjual harus bertanggung jawab atas kelalaiannya.
Baca Juga: Perbedaan Investasi Properti Residensial dan Komersial
Kesimpulan
Properti syariah semakin diminati di Indonesia, terutama karena prinsip-prinsipnya yang terhindar dari riba dan transaksi spekulatif. Pembiayaan KPR Syariah melibatkan berbagai akad seperti murabahah, musyarakah mutanaqisah, dan istishna sebagai alternatif kepemilikan properti. Pembiayaan syariah (KPR Syariah) berbeda dari KPR konvensional dalam hal proses dan penentuan biaya. Properti syariah menawarkan cicilan tetap tanpa pengaruh fluktuasi suku bunga,menjadikannya pilihan menarik bagi konsumen yang mencari kepastian dalam pembayaran.
Baca Juga: Berkomitmen Lindungi Investor Properti, Pemerintah Siapkan Aturan Hukum Komprehensif
Dasar Hukum:
Referensi: