Krisis energi global semakin menjadi perhatian utama di berbagai negara, termasuk Indonesia. Ketergantungan akan bahan bakar fosil yang semakin menipis, serta dampak lingkungan yang ditimbulkan pun mendorong perlunya transisi menuju energi baru dan terbarukan (EBT). Indonesia tak bisa lagi menunda transisi energi, sebab percepatan ke energi terbarukan adalah langkah strategis, bukan hanya sekadar isu lingkungan. 

Pada tahun 2022-2023, krisis energi mengguncang dunia untuk pertama kalinya. Hal ini dikarenakan pasokan gas alam dan dipangkasnya produksi minyak bumi di tengah permintaan energi yang meningkat menjadi penyebab utama terjadinya krisis energi global. Sejak tahun 2016, kebutuhan energi di Indonesia senantiasa meningkat setiap tahunnya, dengan pengecualian pada tahun 2020 di mana pandemi COVID-19 melanda. Data dari Neraca Arus Energi Indonesia yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan bahwa penggunaan energi domestik neto di Indonesia sebesar 9.163 PJ. 

Indonesia sebagai negara dengan kekayaan alam melimpah memiliki potensi besar dalam pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmennya dalam mengatasi krisis energi dengan mendorong diversifikasi energi dan pengembangan energi baru melalui berbagai kebijakan strategis. 

Peran Energi Baru Terbarukan dalam Mengatasi Krisis Energi

Krisis energi didefinisikan sebagai kondisi kekurangan energi, sementara darurat energi merupakan kondisi terganggunya pasokan energi akibat terputusnya sarana dan prasarana energi, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (“UU Energi”). 

Dalam hal ini, energi baru terbarukan (EBT) yang bersumber dari alam dan tidak dapat habis dalam jangka pendek, seperti surya, angin, panas bumi, bioenergi, serta tenaga air skala kecil, memainkan peran strategis dalam menjawab tantangan ketahanan energi nasional. Dalam kondisi krisis energi, EBT bukan hanya sekadar alternatif, melainkan solusi struktural yang dapat menurunkan ketergantungan terhadap energi fosil dan mengurangi kerentanan terhadap fluktuasi harga energi global.

Pemanfaatan energi baru memberikan beberapa keuntungan. Pertama, sumber energi baru dan terbarukan tersedia secara lokal dan dapat dikembangkan di daerah-daerah terpencil yang belum terjangkau jaringan listrik nasional. Kedua, teknologi EBT semakin terjangkau dan efisien sehingga menjadikan transisi energi sebagai langkah yang rasional secara ekonomi. Ketiga, penggunaan EBT secara luas mampu menciptakan lapangan kerja baru di sektor riset, manufaktur, instalasi, dan pemeliharaan energi bersih.

Indonesia menghadapi tantangan dalam memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan industri. Dengan konsumsi energi yang meningkat sekitar 7% (tujuh persen) per tahun, maka tanpa diversifikasi sumber energi, Indonesia berisiko mengalami defisit pasokan energi. Maka, dalam hal ini pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (“PP 79/2014”) menargetkan penggunaan energi baru dan terbarukan minimal 23% (dua puluh tiga persen) di tahun 2025 dan 31% (tiga puluh satu persen) di tahun 2050. 

Regulasi dan Kebijakan Terkait dengan EBT sebagai Antisipasi Krisis Energi di Indonesia

Sebagai langkah serius dalam menangani persoalan energi di dalam negeri, Presiden membentuk Dewan Energi Nasional (DEN) sebagai lembaga strategis untuk merancang dan merumuskan kebijakan energi nasional, termasuk pengembangan EBT sebagai solusi menghadapi krisis energi. Diamanatkan dalam Pasal 12 ayat (2) UU Energi, bahwa Dewan Energi Nasional bertugas:

  1. Merancang dan merumuskan kebijakan energi nasional untuk ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2);
  2. Menetapkan rencana umum energi nasional;
  3. Menetapkan langkah-langkah penanggulangan kondisi krisis dan darurat energi; serta
  4. Mengawasi pelaksanaan kebijakan di bidang energi yang bersifat lintas sektoral.

Selain itu, UU Energi juga mengamanatkan penyusunan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) sampai dengan 2050 demi mendukung implementasi kebijakan energi nasional. Dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (“Perpres 22/2017”), RUEN menjadi kebijakan EBT dan penjabatan rencana pelaksanaan KEN yang sifatnya lintas sektor demi mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi dalam mendukung pembangunan nasional secara berkelanjutan. 

RUEN juga memuat langkah-langkah konkret untuk pengembangan teknologi energi baru, seperti pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), panas bumi, dan bioenergi. Penyusunan kebijakan ini menempatkan energi baru sebagai strategi utama dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan ketahanan energi.

Baca juga: Kerangka Hukum Energi Baru di Indonesia

Inisiatif Proyek EBT di Indonesia

Komitmen Indonesia terhadap pengembangan EBT dapat dilihat dari berbagai inisiatif dan proyek besar yang mencerminkan transisi menuju energi bersih. Beberapa proyek yang telah tercanangkan di antaranya:

1. Proyek Listrik Tenaga Surya (PLTS)

PLTS menjadi prioritas utama karena potensi sinar matahari Indonesia yang sangat tinggi, mencapai 4,8 kWh/m² per hari. Beberapa proyek besar di antaranya:

    1. PLTS Terapung Cirata (Jawa Barat), proyek kerjasama antara PLN dan konsorsium internasional, yang diproyeksikan menjadi PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 145 MW.
    2. Program Solar Rooftop, yang mendorong penggunaan panel surya di rumah tangga dan gedung-gedung pemerintahan, didukung dengan insentif Net Metering oleh PLN.

2. Pengembangan Energi Panas Bumi (Geothermal)

Indonesia adalah negara dengan cadangan panas bumi terbesar kedua di dunia. Pemerintah telah menetapkan target pemanfaatan sebesar 7.241 MW pada tahun 2025. Beberapa proyek penting:

    1. Proyek Panas Bumi Sarulla (Sumatera Utara) dengan kapasitas 330 MW dan menjadi proyek energi panas bumi terbesar di dunia.
    2. PLTP Wayang Windu dan Kamojang (Jawa Barat) sebagai pionir dalam pengembangan geothermal.

3. Bioenergi dan Energi dari Limbah

Program bioenergi berkembang dengan pendekatan circular economy, menggunakan limbah sawit, sampah organik, dan biomassa untuk pembangkit listrik, contohnya:

    1. Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Surakarta dan Bekasi yang memanfaatkan sampah kota untuk menghasilkan listrik dan mengurangi beban TPA.
    2. Penggunaan biodiesel (B35 dan B40) dalam sektor transportasi untuk mengurangi impor BBM fosil.

Energi baru memiliki peran krusial dalam mengatasi krisis energi dengan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, menekan emisi karbon, dan meningkatkan ketahanan energi nasional. Regulasi yang telah ditetapkan, seperti UU Energi dan RUEN, memberikan landasan hukum yang kuat bagi pengembangan energi terbarukan. Selain itu, berbagai proyek energi baru di Indonesia menunjukkan komitmen negara dalam mempercepat transisi energi.***

Baca juga: Peran Swasta dalam Pengembangan Energi Baru

Daftar Hukum:

Referensi:

  • Percepatan Transisi Energi Lindungi RI dari Dampak Gejolak Geopolitik. Lestari Kompas. (Diakses pada 8 Mei 2025 pukul 15.02 WIB).
  • Menaklik Ancaman Krisis Energi di Indonesia. detik.com. (Diakses pada 8 Mei 2025 pukul 15.05 WIB).
  • Outlook 2023: Krisis Energi di Tengah Ancaman Resesi Global. Katadata. (Diakses pada 8 Mei 2025 pukul 15.10 WIB).
  • Energi Baru dan Terbarukan. Kementerian Pertahanan.  (Diakses pada 8 Mei 2025 pukul 15.12 WIB).
  • Mengenal PLTP Sarulla, Proyek Energi Panas Bumi Terbesar di Dunia. GNFI. (Diakses pada 8 Mei 2025 pukul 15.14 WIB).