Dalam rangka meningkatkan daya saing industri, Indonesia telah melakukan perjanjian perdagangan bebas atau Free Trade Agreement (FTA) dengan sejumlah negara. Melalui perjanjian perdagangan tersebut, memungkinkan Indonesia untuk memperoleh manfaat dari pemberlakuan tarif preferensi yang berguna untuk menekan biaya produksi. Dikutip dari laman resmi Bea Cukai Indonesia, tarif preferensi ialah tarif bea masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional yang besarnya ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai penetapan tarif bea masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional. Untuk mendapatkan manfaat dari tarif preferensi, barang yang diimpor harus memenuhi Rules of Origin atau Ketentuan Asal Barang yang dibuktikan dengan Certificate of Origin (COO) atau yang dikenal dengan Surat Keterangan Asal (SKA).

Dalam Permendag Nomor 34 Tahun 2023 (“Permendag 34/2023”) disebutkan bahwa Ketentuan Asal Barang Indonesia (Rules of origin of Indonesia) adalah peraturan perundang-undangan dan ketentuan administratif yang bersifat umum yang diterapkan untuk menentukan asal barang Indonesia. Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) yang selanjutnya disingkat SKA adalah dokumen yang membuktikan bahwa barang ekspor Indonesia telah memenuhi Ketentuan Asal Barang Indonesia (Rules of Origin of Indonesia). Sementara dalam Pasal 1 angka 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penyerahan Surat Keterangan Asal dan/atau Deklarasi Asal Barang dalam Rangka Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Perjanjian atau Kesepakatan Internasional (“PMK 35/2023”) dijelaskan bahwa Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) yang selanjutnya disingkat SKA adalah bukti asal barang yang diterbitkan oleh instansi penerbit SKA yang akan digunakan sebagai dasar pemberian tarif preferensi.

COO/SKA merupakan dokumen pelengkap pabean yang diterbitkan melalui Instansi Penerbit SKA (IPSKA) yang menyatakan bahwa barang yang tercantum dalam SKA yang dimaksud dapat diberikan tarif preferensi. COO/SKA didasarkan pada kesepakatan bilateral, regional, multilateral, unilateral, atau karena ketentuan sepihak dari suatu negara pengimpor atau tujuan yang mewajibkan penyertaan COO/SKA pada barang ekspor Indonesia. Hal ini untuk membuktikan bahwa barang tersebut berasal, dihasilkan, atau diolah di Indonesia. Terdapat 2 (dua) jenis COO/SKA, yakni:

  1. SKA Preferensi, yakni jenis COO/SKA sebagai persyaratan dalam memperoleh preferensi yang disertakan pada barang ekspor tertentu untuk memperoleh fasilitas berupa pembebasan seluruh atau sebagian bea masuk yang diberikan oleh suatu negara/kelompok negara tujuan;
  2. SKA Non-preferensi atau jenis dokumen SKA yang berfungsi sebagai dokumen pengawasan dan/atau dokumen penyerta asal barang ekspor untuk dapat memasuki suatu wilayah negara tertentu. 

Baca juga: Aturan Barang Bebas Bea Masuk dalam Undang-Undang Kepabeanan

Pengajuan dan penerbitan COO/SKA dapat dilakukan secara daring melalui sistem elektronik SKA yang selanjutnya disebut e-SKA. Dalam Pasal 1 angka 18 PMK 35/2023 disebutkan bahwa SKA elektronik (e-Form) adalah SKA yang disusun sesuai dengan Process Specification and Message Implementation Guideline dan dikirim secara elektronik antar negara anggota. Sistem penerbitan e-SKA secara elektronik dibangun oleh Kementerian Perdagangan untuk seluruh instansi penerbit SKA. Manfaat dari penggunaan sistem e-SKA yakni untuk menghubungkan stakeholder penerbit SKA, dalam hal ini adalah eksportir, IPSKA, dan Kementerian Perdagangan dengan data yang dapat tersedia secara elektronik, tersimpannya data penerbitan SKA milik perusahaan, serta tersedianya fasilitas pelaporan untuk pengawasan di masing-masing IPSKA. 

Untuk melakukan pengajuan COO/SKA, pihak yang melakukan kegiatan ekspor harus mendaftar ke Kementerian Perdagangan dengan melampirkan beberapa persyaratan, di antaranya:

  1. Melampirkan invoice yang diterbitkan perusahaan eksportir;
  2. Melampirkan Surat Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang diterbitkan oleh Kantor Bea dan Cukai;
  3. Melampirkan Bill of Lading (BL)/Airway Bill (AWB) yang diterbitkan oleh perusahaan ekspedisi/EMKL/Penerbangan Udara;
  4. Ketiga dokumen tersebut pun dilampirkan atau dipindai saat pengajuan melalui e-SKA untuk diverifikasi saat penandatanganan oleh petugas IPSKA.

Baca juga: Dokumen yang Diperlukan Untuk Ekspor Produk Makanan

Sementara itu, langkah-langkah untuk mendapatkan e-SKA yakni sebagai berikut:

  1. Eksportir mengajukan permohonan melalui laman https://ska.kemendag.go.id/ 
  2. Petugas mengecek permohonan yang diajukan eksportir. Setelah dokumen sesuai dengan yang ditentukan, petugas menyetujui permohonan persetujuan melalui aplikasi SKA Kemendag
  3. Setelah disetujui oleh petugas IPSKA, eksportir dapat mencetak dokumen SKA yang telah disetujui untuk ditandatangani dan distempel oleh Pimpinan/Perwakilan Perusahaan
  4. Dokumen yang telah ditandatangani Pimpinan Perusahaan dibawa ke kantor IPSKA dengan melampirkan dokumen asli Surat Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), invoice, dan  Bill of Lading (BL) untuk ditandatangani oleh penandatangan IPSKA dan diberi stempel
  5. Dokumen yang telah lengkap selanjutnya dipindai dan diubah statusnya menjadi diterima dan diterbitkan.

Certificate of Origin atau SKA wajib diberikan hanya setelah eksportir meminta penerbitannya. Manfaat dari kepemilikan COO/SKA yakni dapat dijadikan sebagai upaya untuk menurunkan biaya tarif bea, sehingga menghemat pengiriman. Penyertaan SKA pada barang yang dikirim pun akan memperlancar kegiatan ekspor ke negara tertentu.

Baca juga: Pengaruh Kurs Terhadap Kegiatan Ekspor-Impor

 Daftar Hukum:

  • Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 34 Tahun 2023 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2018 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Asal untuk Barang Asal Indonesia (“Permendag 34/2023”).
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penyerahan Surat Keterangan Asal dan/atau Deklarasi Asal Barang dalam Rangka Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Perjanjian atau Kesepakatan Internasional (“PMK 35/2023”).

Referensi: