Dalam praktik ekspor-impor yang semakin kompleks dan dinamis, sengketa kepabeanan menjadi tantangan yang kerap dihadapi oleh pelaku usaha lintas sektor. Ketika barang melintasi batas negara, proses penetapan klasifikasi, penilaian nilai pabean, dan pengenaan tarif bea masuk kerap kali menimbulkan perbedaan persepsi antara importir atau eksportir dengan otoritas kepabeanan. Perbedaan ini bukan sekadar teknis, melainkan menyangkut interpretasi atas karakteristik barang, asal-usulnya, hingga tujuan penggunaannya. Akibatnya, sengketa dapat muncul dalam bentuk koreksi atas dokumen pemberitahuan, penetapan ulang tarif, atau pengenaan sanksi administrasi yang dianggap tidak sesuai oleh pelaku usaha.

Dampak dari sengketa kepabeanan tidak hanya terasa pada aspek operasional, seperti tertundanya pengeluaran barang atau meningkatnya biaya logistik, melainkan juga menyentuh dimensi hukum dan ekonomi yang lebih luas. Ketidakpastian dalam penetapan bea masuk dapat mengganggu perencanaan bisnis, merusak hubungan dagang, dan menurunkan daya saing produk di pasar global. Di sisi lain, sengketa yang tidak terselesaikan secara adil berpotensi menurunkan kepercayaan terhadap sistem kepabeanan itu sendiri. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam mengenai akar permasalahan dan mekanisme penyelesaian sengketa menjadi kebutuhan mendesak bagi para pelaku usaha.

Lalu, Apa Sebetulnya Akar Permasalahan Sengketa Kepabeanan?

Sengketa kepabeanan pada dasarnya merupakan cerminan dari kompleksitas hubungan antara pelaku usaha dan otoritas kepabeanan dalam mengelola arus barang lintas negara. Di tengah sistem perdagangan global yang semakin cepat dan digital, proses penetapan tarif, klasifikasi barang, dan nilai pabean tidak selalu berjalan mulus. Ketika importir atau eksportir menyampaikan dokumen pemberitahuan, mereka mengandalkan pemahaman teknis dan komersial atas barang yang dikirim. Namun, otoritas kepabeanan memiliki kewenangan untuk melakukan koreksi berdasarkan ketentuan hukum dan data pembanding yang dimilikinya. Ketidaksesuaian antara dua sudut pandang inilah yang sering kali memicu sengketa.

Sengketa kepabeanan umumnya berawal dari penetapan yang dilakukan oleh pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) terhadap tarif, nilai pabean, atau sanksi administrasi. Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136/PMK.04/2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 51/PMK.04/2017 tentang Keberatan di Bidang Kepabeanan dan Cukai (PMK 136/2022) mengatur bahwa orang dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal atas penetapan yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai mengenai:

  1. Tarif dan/atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk yang mengakibatkan kekurangan pembayaran;
  2. Selain tarif dan/atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk;
  3. Pengenaan sanksi administrasi berupa denda; atau
  4. Pengenaan bea keluar.

Sementara itu, sengketa kepabeanan yang sering diajukan ke Pengadilan Pajak antara lain sengketa terkait penetapan nilai kena pajak, penetapan tarif impor, penghitungan bea keluar, penggunaan fasilitas, dan penetapan sanksi administrasi. Penetapan tersebut dituangkan dalam dokumen resmi, seperti: Surat Penetapan Tarif dan Nilai Pabean (SPTNP), Surat Penetapan Pembayaran Bea Masuk Cukai (SPPBMCP), dan Surat Penetapan Pabean (SPP). Ketidaksepakatan atas isi surat ini menjadi titik awal sengketa antara pengguna jasa dan DJBC.

Penyelesaian Sengketa Melalui Upaya Administratif

Tahapan pertama dalam penyelesaian sengketa kepabeanan adalah pengajuan keberatan secara administratif. Berdasarkan Pasal 93A Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (UU Kepabeanan) keberatan dapat diajukan terhadap penetapan selain tarif dan nilai pabean, seperti sanksi administrasi atau pencabutan fasilitas. Pasal 93A ayat (1) UU Kepabeanan menyatakan: 

“Orang yang berkeberatan terhadap penetapan pejabat bea dan cukai selain tarif dan/atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur Jenderal dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan.”

Sementara itu, Pasal 4 ayat (3) PMK 136/2022 menetapkan bahwa surat keberatan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  • Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
  • Diajukan oleh Orang yang berhak yaitu:
    • Orang perseorangan; atau
    • Orang yang namanya tercantum dalam akta perusahaan atau surat pernyataan pendirian/dokumen pendirian, dalam hal diajukan oleh badan hukum;
  • Dilampiri bukti penerimaan jaminan sebesar tagihan yang harus dibayar; dan 
  • Dilampiri salinan penetapan Pejabat Bea dan Cukai yang diajukan keberatan. 

Selain keberatan atas penetapan tarif dan nilai pabean, individu atau badan hukum yang dikenai sanksi administrasi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) juga memiliki hak untuk mengajukan keberatan secara resmi. Hal ini diatur dalam Pasal 94 UU Kepabeanan yang memperluas ruang lingkup keberatan terhadap keputusan yang berdampak langsung pada pengguna jasa kepabeanan. Mekanisme ini menjadi bagian penting dari sistem kontrol dan akuntabilitas dalam proses penegakan hukum kepabeanan. Dengan adanya jalur keberatan ini, pelaku usaha memiliki kesempatan untuk menyampaikan argumen, klarifikasi, dan bukti pendukung sebelum sanksi tersebut diberlakukan secara final. Ini mencerminkan prinsip keadilan prosedural dan perlindungan hak-hak pengguna jasa dalam sistem kepabeanan Indonesia.

DJBC diberikan tenggat waktu selama 60 (enam puluh) hari untuk menelaah dan memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan oleh pemohon. Dalam kurun waktu tersebut, DJBC akan melakukan evaluasi terhadap dokumen, argumen, dan bukti pendukung yang disampaikan, serta mempertimbangkan aspek teknis dan hukum yang relevan. Proses yang sangat penting dalam penyelesaian sengketa adalah proses pembuktian untuk membuktikan kasusnya meyakinkan pengambil keputusan. 

Keputusan yang dihasilkan bisa berupa penerimaan sebagian atau seluruh keberatan, atau penolakan secara keseluruhan. Namun, apabila hasil keputusan tersebut dinilai tidak memuaskan oleh pemohon, baik karena tidak sesuai dengan fakta lapangan, tidak mencerminkan nilai transaksi yang sebenarnya, atau dianggap merugikan secara hukum dan finansial, maka pemohon memiliki hak penuh untuk melanjutkan proses melalui jalur hukum melalui Pengadilan Pajak. 

Baca juga: Ini Jenis-Jenis Barang Kena Cukai di Indonesia

Upaya Hukum Lanjutan: Banding ke Pengadilan Pajak

Jika keberatan ditolak atau tidak memberikan hasil yang diharapkan, pemohon dapat menempuh upaya hukum lanjutan berupa banding ke Pengadilan Pajak. Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak).

Hal di atas juga turut  diatur dalam Pasal 95 UU Kepabeanan yang menyatakan bahwa:

“Orang yang berkeberatan terhadap penetapan Direktur Jenderal atas tarif dan nilai pabean dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan atau tanggal keputusan, setelah pungutan yang terutang dilunasi.”

Banding diajukan dalam jangka waktu paling lama 60 hari sejak tanggal diterimanya keputusan keberatan. Pemohon wajib menyusun Surat Banding yang memuat alasan-alasan yang jelas, dilampiri salinan keputusan keberatan, dan disampaikan kepada Pengadilan Pajak dalam Bahasa Indonesia. 

Dalam proses banding, penyusunan argumentasi hukum yang sistematis dan mudah dipahami oleh Majelis Hakim menjadi kunci utama. Kuasa hukum atau pemohon banding perlu memahami secara menyeluruh karakteristik barang, kronologi penetapan nilai pabean, serta celah hukum yang dapat dijadikan dasar pembelaan. Hal ini penting karena sengketa kepabeanan berbeda dengan sengketa pajak pada umumnya, baik dari segi waktu koreksi, jenis dokumen, maupun pendekatan audit. 

Di kepabeanan, koreksi atas deklarasi barang dapat dilakukan dalam 2 (dua) kondisi: dalam waktu 30 hari sejak pemberitahuan disampaikan oleh Kantor Pelayanan Bea Cukai, atau dalam jangka waktu dua tahun melalui penelitian ulang atau audit oleh DJBC. Jika putusan masih dianggap tidak adil, pemohon dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung dalam kurun waktu paling lambat tiga bulan setelah diketahuinya kekeliruan dalam putusan, sebagaimana diatur dalam Pasal 92 UU Pengadilan Pajak. 

Penyelesaian sengketa kepabeanan tidak hanya menyangkut aspek hukum, tetapi juga berdampak pada operasional bisnis. Penundaan pengeluaran barang, pembekuan fasilitas, atau denda yang tidak proporsional dapat mengganggu arus kas dan reputasi perusahaan. Oleh karena itu, penting bagi pelaku usaha untuk memahami prosedur keberatan dan banding, serta menyiapkan dokumen pendukung yang kuat.***

Baca juga: Aturan Pabean dan Cukai di ASEAN

Daftar Hukum:

  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136/PMK.04/2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 51/PMK.04/2017 tentang Keberatan di Bidang Kepabeanan dan Cukai (PMK 136/2022).
  • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (UU Kepabeanan).
  • Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak).

Referensi: