Setiap tanggal 9 Desember diperingati sebagai Hari Pemberantasan Korupsi Sedunia. Hari ini diciptakan untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya korupsi bagi kehidupan masyarakat dan negara serta menggalakkan upaya pemberantasan korupsi di seluruh dunia. Tindak Pidana Korupsi diatur pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”), korupsi merupakan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan  keuangan negara  atau  perekonomian negara. Pasal 3 menyatakan korupsi adalah perbuatan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan   kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 

Korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 diatur dalam 13 pasal, sementara di Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang merupakan perubahan dari undang-undang sebelumnya, jenis tindak pidana korupsi disederhanakan. Jika pada undang-undang sebelumnya dirumuskan 30 jenis korupsi, pada undang-undang 20/2001 disederhanakan menjadi 6 jenis tindak pidana korupsi. 

Jenis-Jenis Korupsi 

Pada UU 20/2001, korupsi merupakan tindakan pidana yang menimbulkan kerugian keuangan negara, termasuk perbuatan suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. 

  1. Suap-menyuap 

Ini merupakan tindakan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada PNS atau penyelenggara negara dengan tujuan untuk mempercepat proses urusan, meskipun hal tersebut melanggar prosedur yang berlaku. Suap-menyuap dapat melibatkan PNS, hakim, maupun advokat, dan dapat terjadi baik antar pegawai maupun antara pegawai dengan pihak eksternal. 

Suap-menyuap diatur dalam beberapa pasal, yaitu: 

  • Pasal 5 UU 20/2001;
  • Pasal 6 UU 20/2001;
  • Pasal 11 UU 20/2001;
  • Pasal 12 huruf a, b, c, dan d UU 20/2001;
  • Pasal 13 UU 31/1999.
  1. Penggelapan dalam Jabatan

Merupakan tindakan dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga, melakukan pemalsuan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi, merobek dan menghancurkan barang bukti suap untuk melindungi pemberi suap, dan lain-lain. Perbuatan ini diatur dalam Pasal 8 UU 20/2001, Pasal 9 UU 20/2001 serta Pasal 10 huruf a, b dan c UU 20/2001.

  1. Pemerasan

Pemerasan merupakan tindakan di mana petugas layanan secara aktif menawarkan jasa atau meminta imbalan dari pengguna jasa untuk mempercepat proses layanan, meskipun hal tersebut melanggar prosedur yang berlaku. Tindakan ini mengandung unsur janji atau bertujuan untuk memperoleh sesuatu dari imbalan yang diberikan. Pemerasan diatur dalam Pasal 12 huruf e, f, dan g UU 20/2001.

  1. Perbuatan Curang

Perbuatan curang dalam korupsi adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan pribadi dan dapat membahayakan orang lain, sebagaimana diatur pada Pasal 7 ayat (1) UU 20/2001.. Perbuatan curang dapat dilakukan oleh berbagai pihak, seperti pemborong, ahli bangunan, penjual bahan bangunan, pengawas proyek, atau orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan TNI/Polri.

  1. Benturan Kepentingan dalam Pengadaan

Berdasarkan Pasal 12 huruf i UU 20/2001, benturan kepentingan dapat dimaknai Ketika PNS atau penyelenggara negara secara langsung atau tidak langsung, dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan. Contoh, seorang pegawai pemerintahan menyertakan perusahaan keluarganya untuk terlibat proses tender pengadaan alat tulis kantor dan mengupayakan agar perusahaan itu menang. 

  1. Gratifikasi 

Gratifikasi secara luas dapat diartikan sebagai pemberian berupa uang, barang, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, dan sebagainya. Namun gratifikasi yang dilarang jika berhubungan dengan jabatan seperti PNS atau penyelenggara negara. Perbuatan ini dilarang karena bertentangan dengan kode etik, memiliki konflik kepentingan, dan perbuatan yang tidak patut atau tidak wajar, sebagaimana diatur pada Pasal 12 huruf b UU 20/2001. 

Baca juga: Inilah Perbedaan Hukum Pidana dan Hukum Perdata yang Harus Anda Ketahui

Dampak dari Perbuatan Korupsi

Korupsi merupakan tindakan yang memiliki dampak Merugikan Keuangan Negara berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31/1999, dan dampak buruk terhadap masyarakat, yang mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik dan berpotensi menghambat pembangunan ekonomi  dan sosial. Korupsi juga menjadi penyebab utama terjadinya kebocoran anggaran negara dan memiliki pengaruh terhadap investasi. 

Hal yang harus menjadi perhatian adalah korupsi bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi suatu negara, menurunnya investasi terutama investasi langsung dari luar negeri (FDI) serta menurunkan pendapatan negara dari sektor pajak. Dari sisi pelayanan publik, perbuatan korupsi dapat menurunkan kualitas barang dan jasa kepada masyarakat, akibatnya pelayanan kepada masyarakat jadi tidak maksimal lantaran rendahnya kualitas barang dan jasa publik. 

Bahkan yang lebih memprihatinkan korupsi dapat meningkatkan kemiskinan, ketimpangan pendapatan, serta dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap pemerintah. Korupsi juga dapat menghambat pembangunan dan menciderai hak-hak sosial ekonomi masyarakat

Ada sejumlah upaya pemberantasan korupsi dan kebijakan agar masalah korupsi di Indonesia dapat diberantas, salah satunya dengan pengembalian uang negara. Diharapkan dengan pengembalian uang negara dapat meminimalisir kerugian uang negara yang telah diselewengkan oleh pelakunya. 

Baca juga: Pencegahan Pelanggaran Hukum di Perusahaan

Pengembalian Uang Negara 

Menurut UU 20/2001 tentang perubahan atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 18 telah mengatur pengembalian uang negara baik yang dilakukan oleh individu maupun korporasi. Pasal 18 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa pembayaran uang pengganti jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. 

Selain itu, ada beberapa upaya pemberantasan korupsi dalam ketentuan lain dalam UU Tipikor yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, diantaranya pembuktian terbalik atas harta kekayaan yang diduga diperoleh dari korupsi (Pasal 37A ayat (1) UU 20/2001). 

Pengembalian kerugian keuangan juga negara dapat dilakukan melalui penyitaan dan perampasan aset atau harta kekayaan yang dimiliki oleh pelaku yang diduga diperoleh dari hasil korupsi. Apabila pelaku tidak membayar uang pengganti dalam waktu 1 bulan setelah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka Kejaksaan dapat menyita harta bendanya dan melelangnya untuk menutupi uang pengganti. Jika terpidana tidak memiliki harta benda yang cukup untuk membayar uang pengganti, maka dapat dijatuhi pidana penjara dengan masa hukuman selama 2 tahun. 

Hakim dapat memutuskan perampasan barang-barang yang telah disita jika terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi. Apalagi terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta bendanya bukan merupakan hasil tindak pidana, dalam hal ini hakim berwenang untuk memutuskan merampas seluruh atau sebagian harta benda tersebut untuk Negara.

Baca juga: Memperkuat Edukasi Hukum melalui Pemanfaatan Media Sosial

Kesimpulan

Korupsi adalah tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh individu atau pejabat publik untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara berdasarkan Pasal 2 UU 31/1999. Terdapat berbagai bentuk dan jenis korupsi berdasarkan UU Tipikor, yaitu suap-menyuap, penggelapan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan, dan gratifikasi. Seluruh perbuatan itu memiliki dampak yang signifikan bagi negara dan masyarakat. Upaya pemberantasan korupsi melalui pengembalian uang negara dan penyitaan aset adalah langkah penting untuk meminimalisir kerugian yang diakibatkan oleh tindakan korupsi.

Selain berdampak negatif terhadap masalah sosial dan masyarakat, korupsi juga bisa berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi, penurunan produktivitas, rendahnya kualitas barang dan jasa publik, menurunnya pendapatan negara dari sektor pajak dan meningkatnya utang pemerintah. 

Baca juga: Laporan Keuangan Tahunan Kunci Menjaga Kepercayaan Investor

Sumber Hukum: 

Referensi: 

Author / Contributor:

Ferro Alano has been working as a Associate for SIP Law Firm on 2018. On average, Ferro Alano works for one company for 4 years 1 month.Ferro Alano, S.H

Contact:

Mail       : @siplawfirm.id

Phone    : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975