Beberapa waktu lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil Pasal 32 juncto Pasal 48 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang diajukan oleh dua orang karyawan swasta, Rosiana Simon dan Kok An. MK menilai permohonan pemohon agar menyatakan ketentuan Pasal 32 juncto Pasal 48 dalam UU ITE inkonstitusional, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum serta tidak memberikan pelindungan hukum kepada setiap orang. Hal ini sesuai dengan penjelasan pada Pasal 28B Ayat 1 dan Pasal 28D Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Apa sebetulnya yang dimaksud dengan uji materiil?
Uji materiil (juridical review) adalah proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Uji materiil merupakan kewenangan dari lembaga yudikatif untuk melakukan pengujian terhadap norma yang tertera dalam peraturan perundang-undangan dengan cara menilai apakah peraturan tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau tidak.
Berdasarkan konsep trias politica, lembaga yudikatif di Indonesia terdiri atas Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Ketiga lembaga yudikatif ini bersifat independen atau terbebas dari pengaruh maupun kehendak lembaga lain, serta tidak dapat diintervensi dari pihak atau lembaga manapun. Namun demikian hanya MA dan MK yang memiliki kewenangan melakukan uji materiil. Hal ini tertera dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.”
Terdapat perbedaan pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh MA dan MK yang diatur oleh Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945). Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, sementara itu pada Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 tertera bahwa MK berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
Sementara itu, berdasarkan Pasal 20 ayat (3) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman), putusan terkait tidak sahnya peraturan perundang-undangan diambil berdasarkan pemeriksaan di tingkat kasasi atau berdasarkan permohonan langsung ke MA.
Kemudian, sebagaimana dijelaskan pada Pasal 29 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, MK memiliki wewenang dalam melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 di tingkat pertama dan terakhir pada putusan yang bersifat final. Selanjutnya, dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, hasil dari pengujian peraturan perundang-undangan tersebut disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan MA.
Lalu apa saja landasan hukum dari uji materiil?
- Undang-undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945)
- Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 berbunyi “Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
- Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung.”
- Pasal 20 ayat (3) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dikatakan, “Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung.”
- Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menjelaskan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
- menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- memutus pembubaran partai politik;
- memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
- kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.”
- Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan, “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.”
Baca Juga: Emban Fungsi Legislasi, Anggaran, dan Pengawasan, Ini Tugas DPR
Perbandingan Sistem Uji Materil UU di Beberapa Negara
Indonesia | Amerika Serikat | Jerman | |
Objek | Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 | Undang-undang dan berbagai peraturan (administrative act, undang-undang negara bagian, dan konstitusi negara bagian), melalui gugatan atas kasus konkret yang dianggap bertentangan dengan Konstitusi Federal | Undang-undang |
Tempat Lembaga Peradilan | Mahkamah Konstitusi | Mahkamah Agung dan dapat dilakukan oleh semua pengadilan biasa (termasuk pengadilan negara bagian) melalui prosedur pengujian terdesentralisasi atau pengujian tersebar. | Mahkamah Konstitusi Federal Jerman |
Pihak Pemohon | WNI secara perseorangan, kesatuan masyarakat hukum adat, dan badan hukum publik atau privat | Perseorangan atau badan hukum yang terkena dampak atas putusan atau perintah dari dewan, komisi, atau pengadilan federal dalam jangka waktu 30 hari setelah putusan atau perintah tersebut diberikan ke pemohon. | Pengujian Norma Abstrak: Hanya bisa diajukan oleh organ-organ negara (Pemerintah Federal, Pemerintah Negara Bagian, dan Pengujian Norma Konkret: Organ – organ negara dan individu perorangan (melalui mekanisme constitutional complaint). |
Sistem Pengujian | Pengajuan permohonan uji materiil UU terhadap UUD 1945 diajukan ke Mahkamah Konstitusi | Berdasarkan praktik melalui kasus konkret | Pengajuan pengujian undang-undang diajukan secara langsung ke Mahkamah Konstitusi Federal Jerman atau melalui kasus konkret |
Ada beberapa kasus uji materiil yang menonjol dan berpengaruh pada sistem hukum di Indonesia, salah satunya uji materiil Undang-undang Pemilu No 7 Tahun 2017 yang berpotensi mengubah sistem pemilu selanjutnya. Hasil dari permohonan uji materiil UU Pemilu tersebut, permohonan agar Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup ditolak. Salah satu hakim memiliki perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang menyatakan, permohonan sistem proporsional terbuka Pemilu dapat dikabulkan untuk pelaksanaan Pemilu selanjutnya, yakni pada Pemilu 2029. Oleh karena itu, tahapan Pemilu tahun 2024 tetap berjalan sebagaimana mestinya dengan menggunakan sistem proporsional terbuka.
Uji materiil bisa diajukan oleh siapa saja, Warga Negara Indonesia baik perorangan maupun kelompok. Selain itu, badan hukum publik atau privat dan lembaga negara juga bisa mengajukan permohonan uji materiil undang-undang. Sistem hukum di Indonesia memberikan peluang bagi seluruh lapisan masyarakat untuk memberikan kritik bahkan terhadap undang-undang yang telah berlaku dengan harapan adanya check and balances dari lembaga negara yang ada.
Baca Juga: Mantan Terpidana Bisa Jadi Calon Kepala Daerah
Sumber:
- Undang-undang Dasar Tahun 1945: Website MKRI
- Undang-undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003: Website Mahkamah Konstitusi
- Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: Website BPK
- Postingan Instagram MK
- Kasus Uji Materiil UU Pemilu: Website MKRI
Referensi:
MK Nyatakan Pasal Pencemaran Nama Baik di KUHP Inkonstitusional Bersyarat (kompas.com) diakses pada 10 Mei 2024 pukul 15:30 WIB