Oleh: Safitri Hariyani Saptogino, S.H., M.H.

 

Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut sebagai perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseorang Terbatas (UU PT) serta peraturan pelaksanaannya (Pasal 1 angka [1] UU PT). Sedangkan direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuannya, termasuk mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai ketentuan anggaran dasarnya.

Setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab dalam menjalankan tugasnya guna kepentingan perseroan. Hal ini membawa konsekuensi hukum kepada setiap anggota direksi untuk bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya (Pasal 97 ayat [3] UU PT).

Direksi memiliki peran sentral dan kewenangan yang cukup besar dalam menjalankan kegiatan usaha perseroan. Namun kewenangan ini tidak mutlak melainkan ada batasan-batasan sebagaimana diatur dalam UU PT maupun anggaran dasar dari perseroan. Salah satu batasan wewenang direksi yang diatur dalam UU PT adalah terkait pengalihan kekayaan perseroan maupun jaminan utang kekayaan perseroan yang melebihi 50% harus mendapat persetujuan RUPS (Pasal 102 ayat [1] UU PT).

Apabila terjadi kepailitan terhadap perseroan, perlu diperhatikan apakah direksi telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar perseroan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Ketentuan dalam UU PT juga menyebutkan bahwa setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan maskud dan tujuan perseroan.

Terjadinya kepailitan dalam perseroan membawa akibat hukum bagi direksi yang tidak lagi berwenang melakukan pengurusan harta kekayaan perseroan. Kewenangan untuk mengurus harta perseroan pailit langsung dilimpahkan oleh pengadilan kepada kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sejak tanggal putusan pailit diucapkan, meskipun diajukan upaya hukum kasasi atau peninjauan kembali.

Selama kepailitan berlangsung, pada dasarnya debitor pailit tidak berhak dan berwenang lagi membuat perjanjian yang mengikat harta kekayaannya. Setiap perjanjian yang dibuat oleh debitor pailit selama kepailitan berlangsung tidak mengikat harta pailit. Namun ketentuan ini dikecualikan terhadap perikatan debitor yang terbit sesudah putusan pernyataan pailit menguntungkan harta pailit (Pasal 25 UU Kepailitan).

Debitor pailit juga tidak dapat lagi melakukan perbuatan hukum yang bertujuan untuk mengalihkan, baik sebagian maupun seluruh harta kekayaannya, yang pada akhirnya akan merugikan kepentingan kreditor konkuren. Adapun apabila direksi perseroan pailit melakukan perbuatan yang merugikan harta pailit, maka beban kerugian dalam hal ini dipikulkan kepadanya. Ketentuan ini memberi kepastian dan perlindungan hukum bagi para kreditor konkuren.

Setiap anggota direksi harus bertanggung jawab atas seluruh kewajiban perseroan, dalam hal kepailitan disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian direksi dalam menjalankan tugasnya. Tanggung jawab atas tindakan direksi tersebut harus dinyatakan dalam putusan pengadilan yang menyatakan pailitnya perusahaan diakibatkan oleh tindakan direksi, ataupun putusan yang menolak gugatan kepailitan dari kreditor terhadap sebuah perseroan karena terbukti tindakan yang menyebabkan hal itu karena direksi dari debitor lalai atau melakukan kesalahan. Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi, maka harta pribadi direksi ikut disita untuk dilakukan pemberesan guna pembayaran bagi pihak ketiga atau kreditor.

Contoh perkara gugatan kepailitan yang pernah ditolak karena Majelis Hakim melihat direksi melakukan perbuatan hukum di luar kewenangannya sebagaimana diatur dalam anggaran dasar perseroan, adalah Permohonan No. 51/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst. Dalam perkara ini Majelis Hakim menolak permohonan pailit dari kreditor karena termohon memiliki dalil yang kuat bahwa direksinya melakukan tindakan yang tidak sesuai anggaran dasar. Tindakan direksi termohon pailit tidak sesuai dengan ketentuan dalam Anggaran Dasar termohon, yang mensyaratkan adanya persetujuan dewan komisaris dalam menerbitkan surat sanggup. Pada tingkat pertama, Majelis Hakim mengabulkan permohonan pailit ini, namun kemudian diajukan upaya hukum kasasi oleh termohon pailit. Pemohon kasasi (dulunya termohon pailit) mendalilkan bahwa Anggaran Dasarnya telah diumumkan dalam Berita Negara guna memenuhi asas publisitas sehingga ketentuan-ketentuan di dalamnya dianggap diketahui oleh dan/atau mengikat terhadap semua pihak (internal maupun luar). Atas dasar ini Majels Hakim Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan sebelumnya, dan menyatakan permohonan pailit ditolak, serta menyatakan bahwa surat sanggup tidak mengikat termohon pailit, melainkan hanya mengikat pribadi direksi termohon pailit.

Perkara di atas juga dapat merujuk pada ketentuan dalam Pasal 117 ayat (2) UU PT, bahwa perbuatan hukum yang dilakukan direksi tanpa persetujuan dewan komisaris, padahal hal tersebut disyaratkan dalam Anggaran Dasar perseroan, tetap mengikat perseroan kecuali dapat dibuktikan pihak lainnya tidak beritikad baik. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal dapat mengakibatkan tanggung jawab pribadi anggota direksi.

Tanggung jawab direksi dalam kepailitan juga dapat dibebankan kepada mantan anggota direksi, terhitung dalam jangka waktu masa jabatan 5 (lima) tahun sebelum putusan pailit terhadap perseroan, yang dinyatakan bersalah atau lalai. Namun sepanjang direksi dapat membuktikan telah melakukan pengurusan perseroan dengan penuh tanggung jawab dan beritikad baik sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar perseroan, maka direksi tidak dapat dimintai pertanggung jawaban terhadap kepailitan. Dalam Pasal 104 ayat (4) UU PT disebutkan anggota direksi tidak bertanggungjawab atas kepailitan perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila dapat membuktikan:

  1. Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
  2. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggungjawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
  3. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan
  4. Telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan.

Pada dasarnya tanggung jawab direksi dalam kepailitan apabila terbukti lalai atau melakukan kesalahan dalam menjalankan perseroan. Sebaliknya, jika direksi telah melakukan tugasnya dengan itikad baik, maka akan lepas dari segala bentuk tanggung jawab pribadi. Pembuktian akan hal ini dilakukan dalam proses peradilan untuk melihat konteks penyebab terjadinya kepailitan.

Baca Juga beberapa artikel dibawah ini tentang kepailitan:

 

DISCLAIMER:

Any information contained in this Article  is provided for informational purposes only and should not be construed as legal advice on any subject matter.  You should not act or refrain from acting on the basis of any content included in this Legal Update without seeking legal or other professional advice.  This document is copyright protected. No part of this document may be disclosed, distributed, reproduced or transmitted in any form or by any means, including photocopying and recording or stored in retrieval system of any nature without the prior written consent of SIP Law Firm.

Setiap informasi yang terkandung dalam Artikel ini disediakan hanya untuk tujuan informasi dan tidak boleh ditafsirkan sebagai nasihat hukum tentang masalah apa pun. Anda tidak boleh bertindak atau menahan diri dari bertindak berdasarkan konten apa pun yang termasuk dalam Update Hukum ini tanpa mencari nasihat hukum atau profesional lainnya. Dokumen ini dilindungi hak cipta. Tidak ada bagian dari dokumen ini yang dapat diungkapkan, didistribusikan, direproduksi atau dikirim dalam bentuk apa pun atau dengan cara apa pun, termasuk fotokopi dan rekaman atau disimpan dalam sistem pengambilan apa pun tanpa persetujuan tertulis sebelumnya dari Firma Hukum SIP.