Oleh: Safitri Hariyani Saptogino, S.H., M.H.

Era krisis moneter (selanjutnya disebut krismon) tahun 1998 membawa pembaharuan hukum kepailitan di berbagai negara dengan sistem hukum common law seperti Amerika Serikat, Inggris, dan tidak terkecuali negara Indonesia dengan sistem hukum civil law. Ramainya pinjaman pihak swasta dengan mata uang asing untuk mendanai kegiatan bisnis di Indonesia menjadi bumerang yang merontokkan banyak perusahaan karena beban hutang melonjak berkali lipat. Keadaan ini menimbulkan pinjaman-pinjaman yang dikucurkan oleh perbankan menjadi macet, sehingga bank juga dihadapkan dengan masalah likuiditas. Bahkan tercatat lebih dari 10 bank yang dilikuidasi pada masa krismon. Hal ini juga berdampak secara psikologis kepada masyarakat yang memilih menarik seluruh uangnya karena khawatir banknya akan ikut dilikuidasi.

Urgensi hukum kepalitan mulai mendapat perhatian yang serius setelah terjadinya peristiwa krisis moneter (krismon) tahun 1998. Pemerintah Republik Indonesia membuat kesepakatan dengan International Monetary Fund (IMF) yang dituangkan dalam Appendix VII of Letter of Intent guna memperoleh suntikan dana untuk keluar dari kondisi krismon. Pemerintah diharuskan untuk melakukan reformasi hukum dan peradilan dengan fokus utama pada hukum kepailitan, termasuk pembuatan undang-undang yang mengatur persaingan usaha dan pendirian pengadilan khusus niaga. Akhirnya pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan. Selanjutnya Perpu ini disahkan dan diundangankan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU 4/1998 tentang Kepailitan & PKPU). Pemberlakukan UU 4/1998 tentang Kepailitan & PKPU ini untuk menggantikan Failissements Verordening [1] yang sebelumnya mengatur kepailitan sejak zaman kolonial Belanda.

Berlakunya UU 4/1998 tentang Kepailitan & PKPU nyatanya masih mengandung multi tafsir dalam penerapannya. Persyaratan untuk dinyatakan pailit yang sederhana banyak disalahgunakan oleh kreditor kecil untuk mengancam debitor yang sebenarnya sehat secara finansial. Bahkan rentan untuk disalahgunakan oleh pelaku usaha dalam menghancurkan kompetitornya hanya karena tidak mau membayar utang bukan karena tidak mampu membayar. Sebagai contoh pada tahun 1999 Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan permohonan pailit terhadap PT Modern Land yang dimohonkan oleh dua orang konsumennya dengan jumlah hutang sebesar sembilan puluh tujuh juta Rupiah. Namun kemudian dibatalkan dengan Putusan Kasasi dimana Majelis Hakim Mahkamah Agung menyatakan perkara tersebut bukan ranah kepailitan, melainkan kewenangan hakim perdata pengadilan negeri karena terkait wanprestasi salah satu pihak.

Selama diberlakukan selama kurang lebih enam tahun, UU 4/1998 tentang Kepailitan & PKPU kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU 37/2004 tentang Kepailitan & PKPU).

Perbedaan yang mencolok dalam UU 37/2004 tentang Kepailitan & PKPU dengan UU 4/1998 adalah ketentuan Pasal 2 ayat (3), (4), dan (5) yang membatasi pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit terhadap entitas yang kegiatan usahanya menyangkut kepentingan masyarakat luas atau kegiatannya menggalang dana masyarakat seperti BUMN, perbankan, perusahaan asuransi, dll [2]. Namun ketentuan ini telah dicabut dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara Nomor: 071/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor: 001- 002/PUU-III/2005 terhadap uji materiil UU 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Putusan MK tersebut menyatakan Pasal 6 ayat (3) beserta Penjelasannya dan Pasal 224 ayat (6) sepanjang menyangkut kata “ayat (3)” UU 37/20014 tentang Kepailitan & PKPU tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat [3].

Ketentuan UU 37/2004 tentang Kepailitan & PKPU mengatur bahwa kondisi pailit merupakan sita umum atas seluruh kekayaan debitor pailit dengan syarat adanya dua atau lebih kreditor yang mana debitor tidak membayar lunas sedikitnya 1 (satu) dari utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih. Namun pernyataan pailit dalam putusan pengadilan niaga bukan merupakan pernyataan hukum bahwa debitor telah insolven (keadaan tidak mampu membayar). Justru untuk mengetahui debitor telah insolven, harus dinyatakan pailit terlebih dahulu.

Akibat hukum kepailitan adalah sita umum meliputi seluruh kekayaan debitor sejak saat putusan pailit. Debitor pailit demi hukum kehilangan kewenangan untuk mengelola harta pailit. Kewenangan pengurusan dan/atau pemberesannya harta pailit selanjutnya diberikan kepada Kurator atau Balai Harta Peninggalan (BHP) yang ditunjuk dalam putusan pailit [4].

Keadaan insolven tidak menjadi kewenangan dari pengadilan untuk memutuskannya, melainkan terkait rencana perdamaian atau proposal perdamaian dari debitor pailit kepada para kreditornya. Proposal perdamaian harus sudah diajukan oleh debitor pailit paling lambat 8 (delapan) hari sebelum rapat verifikasi utang diselenggarakan [5]. Proposal perdamaian juga dapat diajukan pada saat kritis yaitu pada saat atau sebelum rapat pencocokan utang berakhir [6]. Jika hingga menit terakhir rapat pencocokan utang debitor pailit tidak mengajukan proposal perdamaian, maka dipastikan harta pailit dalam keadaan insolven terhitung sejak rapat pencocokan utang berakhir. Adapun jika proposal perdamaian yang diajukan disetujui, maka keadaan insolven tidak terjadi dan kepailitan berakhir, sebaliknya jika tidak disetujui maka harta pailit inoslven dan pengurusannya akan diserahkan kepada Kurator.

Berbeda dengan konsep hukum kepailitan dalam sistem hukum common law yang mendefinisikan pailit adalah suatu keadaan dimana debitor tidak mampu membayar atau insolven. Bahkan praktik peradilan di negara sistem common law seperti Amerika Serikat menerapkan insolvency test untuk memastikan keadaan tidak mampu membayar sehingga suatu entitas dapat dinyatakan pailit.

Para pelaku usaha di Indonesia khususnya perusahaan asing yang berasal dari sistem hukum common law hendaknya memahami ketentuan kepailitan yang berlaku. Persyaratan kepailitan yang diatur dalam UU 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU dapat dikatakan cukup sederhana hanya dengan dua kreditor atau lebih dan satu utang yang sudah jatuh tempo. Batas minimum jumlah utang juga tidak diatur dalam mengajukan permohonan pailit. Sehingga diharapkan para pelaku usaha dapat memperhatikan akibat hukum yang mungkin terjadi dalam setiap langkah yang diambil terkait utang-piutang guna menghindari kepailitan.

 

 

 Referensi:

[1] Failissements Verordening (Staatsblad 1905:217 jo Staatsblad 1906:348) merupakan undang-undang yang mengatur tentang kepailitan di Hindia Belanda bagi semua orang tanpa membedakan pedagang atau non-pedagang, berlaku sejak tanggal 1 November 1906.

[2] lihat Pasal 2 UU 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU.

[3] Pasal 6 ayat (3) UU No. 37/2004 tentang Kepailitan & PKPU: “Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut”. Pasal 224 ayat (6) UU No. 37/2004 tentang Kepailitan & PKPU: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) berlaku mutatis mutandis sebagai tata cara pengajuan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

[4] Pasal 24 ayat (1) UU No. 37/2004 tentang Kepailitan & PKPU: “Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan”.

[5] lihat Pasal 145 ayat (1) UU No. 37/2004 tentang Kepailitan & PKPU.

[6] lihat Pasal 178 ayat (1) tentang Kepailitan & PKPU.

Referensi Peraturan:

  1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
  2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.