Kehilangan pekerjaan merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan kredit macet bagi debitur. Hal ini dapat terjadi pada siapa saja, baik akibat fluktuasi ekonomi, restrukturisasi perusahaan, maupun krisis global seperti pandemi. Dalam kondisi ini, debitur mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban pembayaran kredit yang akhirnya berdampak pada stabilitas keuangan pribadi, serta hubungan dengan lembaga perbankan.
Dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (“UU 4/2023”) yang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (“UU Perbankan”) menyebut bahwa, “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Kredit macet bukan hanya berdampak pada debitur, tetapi juga dapat mengganggu neraca keuangan bank. Oleh karena itu, dibutuhkan solusi hukum yang mampu melindungi kedua belah pihak secara adil.
Aturan Kredit Macet Akibat Kehilangan Pekerjaan dalam Sistem Perbankan di Indonesia
Menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum (“POJK 40/2019”) kredit macet atau kredit bermasalah dikategorikan sebagai kredit dengan kualitas “macet” (kolektibilitas 5), yaitu kondisi di mana debitur tidak mampu memenuhi kewajibannya lebih dari 180 hari. Namun dalam praktiknya, kondisi sulit bisa mulai terasa bahkan sejak keterlambatan awal selama 30 hari.
Kredit macet yang disebabkan oleh kehilangan pekerjaan bukan hanya menjadi masalah individu, melainkan juga berdampak sistemik terhadap stabilitas lembaga keuangan. Oleh karena itu, penting untuk memahami berbagai solusi hukum yang dapat diambil, baik oleh debitur maupun kreditur, dalam menangani kredit macet yang timbul karena kondisi ketenagakerjaan.
Kehilangan pekerjaan menempatkan debitur dalam situasi rentan terhadap wanprestasi (cedera janji) atas kewajiban membayar cicilan kredit. Dalam hukum perjanjian yang diatur dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), wanprestasi terjadi bila pihak tidak memenuhi prestasinya sebagaimana disepakati dalam kontrak.
Namun dalam kasus kehilangan pekerjaan, kondisi tersebut seringkali tidak disengaja atau termasuk dalam kategori force majeure (tidak dapat diprediksi atau dicegah). Meski demikian, banyak bank tidak mengklasifikasikan kehilangan pekerjaan sebagai force majeure kecuali dapat dibuktikan terjadi secara massal, seperti PHK besar-besaran akibat krisis ekonomi atau pandemi).
Baca juga: Penyebab dan Pengendalian Kredit Macet
Solusi dan Alternatif Penyelesaian Kredit Macet Akibat Kehilangan Pekerjaan
Dalam menghadapi situasi kredit macet akibat kehilangan pekerjaan, terdapat sejumlah solusi hukum yang dapat dijadikan landasan bagi debitur maupun pihak bank untuk menyelesaikan kewajiban kredit secara adil dan proporsional. Salah satu langkah yang kerap ditempuh adalah restrukturisasi kredit.
Restrukturisasi kredit merupakan upaya penyesuaian kembali persyaratan kredit yang telah disepakati antara bank dan debitur. Kebijakan ini memungkinkan bank untuk memberikan berbagai bentuk keringanan bagi debitur. Selain restrukturisasi, terdapat beberapa bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh pihak perbankan terhadap nasabah bank yang mengalami kredit macet, seperti rescheduling dan recondinditioning.
- Rescheduling adalah upaya yang dilakukan dengan memperpanjang periode kredit, baik terkait waktu pelunasan maupun jadwal angsuran, sehingga memberikan fleksibilitas tambahan bagi nasabah dalam memenuhi kewajibannya.
- Reconditioning adalah langkah yang diambil oleh perbankan untuk menyesuaikan berbagai ketentuan kredit, termasuk mengkonversi bunga menjadi bagian dari pokok utang, menunda pembayaran bunga hingga batas waktu tertentu, menurunkan suku bunga berdasarkan pertimbangan tertentu, serta membebaskan bunga guna meringankan beban debitur.
Apabila telah melalui 3 (tiga) upaya tersebut namun tidak menyelesaikan kredit macet tersebut, maka pihak bank berhak melakukan penyitaan kepada jaminan yang dijaminkan oleh pihak nasabah. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1155 KUHPer, Pasal 15 ayat (3) jo. Pasal 29 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dan Pasal 6 jo. Pasal 20 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
Di masa pandemi COVID-19, restrukturisasi kredit merupakan kebijakan yang diterapkan Otoritas Jasa Keuangan. Selama masa pandemi yang membatasi ruang gerak dan membuat adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal, restrukturisasi utang menjadi kebijakan penting yang diterapkan untuk meringankan beban masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan mengalami kesulitan finansial. Kebijakan ini diterapkan pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta individu yang terdampak pandemi. Namun, setelah pandemi berakhir, OJK mengumumkan kebijakan stimulus restrukturisasi kredit pun secara resmi berakhir pada 31 Maret 2024.
Baca juga: Perlindungan Hukum Kreditor Berdasarkan UU Kepailitan
Upaya Pengendalian Kredit
Untuk mencegah terjadinya kredit macet, diperlukan sistem pengendalian yang efektif. Pengendalian kredit yang mengalami kendala mencakup penerapan berbagai prosedur guna meminimalkan risiko gagal bayar. Bank menggunakan dua pendekatan utama dalam mengelola kredit bermasalah, yaitu pengendalian preventif dan pengendalian represif.
- Pengendalian Preventif
Pendekatan preventif bertujuan untuk menghindari terjadinya kredit macet sejak awal. Bank menerapkan seleksi ketat terhadap calon debitur dengan memeriksa kelengkapan persyaratan kredit serta melakukan penilaian berdasarkan prinsip 6C:
- Character (karakter),
- Capacity (kapasitas finansial),
- Capital (modal),
- Collateral (jaminan),
- Condition of economy (kondisi ekonomi), dan
- Constraint (kendala).
Dengan evaluasi menyeluruh terhadap aspek-aspek ini, bank dapat memastikan bahwa hanya debitur yang memiliki kemampuan dan karakteristik yang sesuai yang menerima fasilitas kredit.
- Pengendalian Represif
Pendekatan represif digunakan ketika kredit sudah mengalami kendala pembayaran. Berbagai strategi diterapkan untuk menangani kredit macet, di antaranya:
- Melakukan negosiasi dengan debitur, termasuk pengambilalihan sebagian atau seluruh hasil usaha atau menyewakan barang jaminan jika pembayaran belum lancar.
- Mengirimkan surat tagihan saat jatuh tempo, mengingatkan debitur mengenai kewajiban pembayaran pokok serta bunga sesuai kesepakatan.
- Menyerahkan hak penagihan piutang kepada instansi resmi seperti Pengadilan Negeri atau Kejaksaan untuk penyelesaian hukum.
- Jika debitur dinyatakan pailit akibat insolvency, proses penagihan dilakukan melalui Balai Harta Peninggalan (BHP). Bank sebagai kreditur preferen berhak melakukan penjualan agunan melalui lelang. Jika hasil lelang melebihi jumlah utang, kelebihan dana diserahkan ke BHP. Sebaliknya, jika hasil lelang tidak mencukupi, debitur tetap memiliki kewajiban melunasi sisa utangnya.
Kredit macet akibat kehilangan pekerjaan merupakan tantangan besar bagi debitur dan perbankan. Peran hukum perbankan dalam mengatur dan menjembatani hubungan ini sangat krusial. Perlindungan hukum yang memadai juga menjamin hak debitur untuk tetap mendapat keadilan, sekaligus menjaga kepercayaan terhadap sistem perbankan nasional.***
Baca juga: Jenis dan Dasar Hukum Perjanjian Kredit
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (“UU 4/2023”).
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (“UU Perbankan”).
- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum (“POJK 40/2019”).
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).
Referensi: