Di Indonesia, pemilihan umum atau pemilu pernah diterapkan dengan sistem proporsional tertutup dan sistem proporsional terbuka. Namun, hingga saat ini penerapan kedua sistem pemilu ideal tersebut masih kerap menimbulkan perdebatan. Sistem proporsional atau perwakilan berimbang mengacu pada bentuk pemilihan umum legislatif yang digelar untuk memperebutkan kursi wakil rakyat berdasarkan perolehan suara dari suatu wilayah pemilihan. Dengan demikian, pengertian sistem pemilu proporsional adalah sistem pemilu yang menetapkan proporsi kursi yang diraih partai politik di suatu daerah pemilihan secara berimbang dengan perolehan suaranya di wilayah tersebut.

Sejak pemilu pertama pada 1955, Indonesia telah menganut sistem proporsional. Pada pemilu 1955, dilakukan pemilihan anggota konstituante dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dikutip dari laman Kompaspedia, dengan sistem pemilu proporsional ini, setiap daerah pemilihan mendapatkan sejumlah kursi berdasarkan jumlah penduduknya. Pada pemilu 1977, sistem pemilu yang dianut adalah sistem proporsional tertutup, yakni para pemilih hanya memilih salah satu partai yang tersedia, bukan memilih kandidat. SIstem proporsional tertutup pun bertahan hingga tahun 1999, sebelum akhirnya berganti menjadi sistem proporsional terbuka sejak 2004 sampai saat ini.

Antara sistem proporsional terbuka dan tertutup memiliki perbedaan, yakni pada sistem proporsional tertutup, rakyat diarahkan untuk memilih partai politik peserta pemilu alih-alih kandidat wakilnya di parlemen. Mengenai pemilihan nama wakil rakyat yang duduk di parlemen menjadi hak penuh partai politik yang memenangkan kursi. Sementara itu, sistem proporsional terbuka merupakan sistem pemilu yang memberikan kepada rakyat agar memilih partai sekaligus kandidat wakilnya di parlemen. Dengan kata lain, rakyat memiliki kendali penuh dan penentu kandidat yang duduk di kursi wakil rakyat. Prinsip proporsional terbuka mulai dirintis penerapannya dalam pemilu 2004 dan baru benar-benar diberlakukan di pemilu 2009.

Pilihan terhadap sistem pemilihan umum proporsional terbuka sebenarnya upaya untuk membuka partisipasi rakyat sebagai pemilih untuk turut menentukan siapa wakil rakyat yang dikehendaki. Hal ini diatur dalam Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU Pemilu”)  bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Penerapan pemilu dengan sistem proporsional terbuka ini meningkatkan persaingan antar caleg yang relatif terbuka dan cenderung bebas. Para caleg justru tak hanya bersaing dengan caleg dari parpol berbeda, namun juga berkontestasi dengan caleg yang berasal dari parpol yang sama. Hal ini dikarenakan caleg terpilih tetap ditentukan berdasarkan jumlah suara yang diperoleh.

Fenomena persaingan yang relatif terbuka inilah yang kemudian membuka ruang bagi hadirnya praktik politik uang yang lebih masif. Sistem proporsional terbuka yang mulanya bertujuan menghilangkan jarak pemilih dan kandidat wakil rakyat, ternyata juga memunculkan jarak antara pemilih dan kandidat wakil rakyat yang melemahkan posisi partai politik. Partai politik tidak lagi fokus mengejar fungsi asasinya sebagai sarana penyalur pendidikan dan partisipasi politik yang sesuai. Berlakunya Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu secara langsung telah mereduksi kedudukan partai politik dari posisinya selaku kontestan pemilu.

Itulah mengapa, ketentuan sistem pemilu proporsional terbuka ini kembali diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi dengan perkara nomor 114/PUU-XX/2022 ihwal pengujian materiil Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu. Permohonan pengujian UU Pemilu ini diajukan oleh pengurus partai PDI-Perjuangan, Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Pergeseran hak untuk menempatkan kandidat dari partai politik kepada kuantitas suara terbanyak ini jelas bertentangan konsep kedaulatan rakyat yang diatur oleh Pasal 1 ayat (2), (3),  Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (2), (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia 1945. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan kedaulatan yang berada di tangan rakyat itu tidaklah dilaksanakan oleh seluruh rakyat Indonesia melainkan dilakukan menurut cara yang ditentukan oleh UUD 1945 yakni oleh ketentuan Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dilakukan oleh partai politik melalui kepesertaannya di pemilu untuk memilih DPR, DPRD dan Presiden serta Wakil Presiden.

Baca Juga: Mengenal Meknisme Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu

Namun, antara sistem pemilu proporsional terbuka maupun tertutup sama-sama memiliki kelemahan dan kelebihan, di antaranya:

Kelebihan sistem proporsional terbuka

  1. Mendorong kandidat bersaing dalam memobilisasi dukungan massa untuk kemenangan;
  2. Terbangunnya kedekatan antara pemilih dengan kandidat;
  3. Pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung kepada kandidat yang dikehendakinya;
  4. Partisipasi dan kendali masyarakat meningkat, sehingga mendorong peningkatan kinerja partai dan parlemen.

Kelebihan sistem proporsional tertutup

  1. Memudahkan pemenuhan kuota perempuan dan kelompok etnis minoritas, karena partai politik yang menentukan calon legislatifnya;
  2. Mampu meminimalisir praktik politik uang;
  3. Meningkatkan peran partai politik dalam kaderisasi sistem perwakilan dan mendorong institusionalisasi partai politik.

Berikut adalah kelemahan sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup:

Kelemahan sistem proporsional terbuka

  1. Persaingan antar kandidat di internal partai politik;
  2. Muncul potensi mereduksi peran partai politik;
  3. Sulitnya menegakkan kuota gender dan etnis;
  4. Memunculkan potensi politik uang.

Kekurangan sistem proporsional tertutup

  1. Pemilih tidak memiliki peran dalam menentukan siapa kandidat caleg yang dicalonkan partai politik;
  2. Adanya jarak antara pemilih dan wakil rakyat pasca pemilu;
  3. Potensi menguatnya oligarki di internal partai politik.

Baca Juga: Pilkada Serentak 27 November 2024, Ini Tahapan dan Persiapannya

 Daftar Hukum:

Referensi: