Pemilu di era digital tidak lagi semata-mata berlangsung di ruang publik konvensional seperti baliho, rapat umum, atau iklan media massa. Transformasi teknologi informasi telah melahirkan ruang politik baru yang bersifat cair, personal, dan masif melalui media sosial. Di ruang inilah wacana politik dibentuk, opini digiring, dan preferensi pemilih dipengaruhi, sering kali tanpa jejak formal sebagai aktivitas kampanye. Fenomena ini semakin menantang kerangka hukum administrasi negara yang selama ini mengandalkan definisi kampanye yang bersifat eksplisit dan terstruktur.
Menjelang Pemilu 2029, muncul kekhawatiran serius terkait praktik shadow campaigning atau kampanye terselubung, yakni aktivitas politik yang secara substansi bertujuan mempengaruhi pemilih, namun secara formal tidak dikategorikan sebagai kampanye menurut peraturan perundang-undangan. Praktik ini menimbulkan pertanyaan fundamental: sejauh mana hukum administrasi pemilu mampu menjangkau aktivitas politik digital yang tidak menyebut nama calon, tidak menggunakan atribut resmi, tetapi efektif membentuk persepsi publik? Artikel ini akan membahas konsep shadow campaigning, kesenjangan regulasi yang ada, tantangan penegakan hukum oleh penyelenggara pemilu, serta urgensi reformasi regulasi pemilu menghadapi kompleksitas Pemilu 2029.
Memahami Shadow Campaigning dan Tantangan Penegakan Hukum oleh Bawaslu dan KPU
Istilah shadow campaigning merujuk pada aktivitas politik yang dirancang untuk memengaruhi opini dan perilaku pemilih tanpa secara terang-terangan diklasifikasikan sebagai kampanye resmi. Dalam politik di era digital, shadow campaigning sering dilakukan melalui unggahan media sosial, video pendek, meme politik, influencer marketing, buzzer, akun anonim, atau narasi isu publik tertentu yang secara implisit menguntungkan atau merugikan kandidat tertentu.
Berbeda dengan kampanye formal yang tunduk pada batasan waktu, metode, dan pelaporan dana, shadow campaigning beroperasi di wilayah yang “abu-abu regulasi”. Aktivitas ini tidak selalu mencantumkan nama calon, nomor urut, atau ajakan memilih secara eksplisit, sehingga sulit dikualifikasikan sebagai kampanye menurut definisi hukum positif yang berlaku. Padahal, secara sosiologis dan politis, dampaknya terhadap penentuan preferensi pemilih seringkali lebih signifikan dibandingkan kampanye resmi.
Kesenjangan regulasi ini berakar pada desain norma kampanye dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU Pemilu”). Pasal 1 ayat (35) UU Pemilu mendefinisikan kampanye sebagai kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri peserta pemilu. Definisi ini secara implisit mensyaratkan adanya subjek yang jelas (peserta pemilu atau pihak yang ditunjuk), serta konten yang eksplisit.
Namun dalam praktik shadow campaigning, subjek seringkali tidak terafiliasi secara formal dengan peserta pemilu, sementara konten politik disamarkan sebagai opini pribadi, kritik kebijakan, atau diskursus sosial. Akibatnya, hukum administrasi pemilu menghadapi kesulitan dalam menarik garis tegas antara ekspresi kebebasan berpendapat dan aktivitas kampanye terselubung. Situasi ini pun akhirnya memperlihatkan keterlambatan hukum dalam merespons dinamika politik digital yang bergerak cepat dan adaptif.
Sebagai lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu, KPU dan Bawaslu berada di garis depan penegakan hukum administrasi pemilu. Namun, dalam shadow campaigning, keduanya menghadapi tantangan struktural yang serius, terutama terkait ambiguitas norma kampanye dalam UU Pemilu.
Pasal 275 UU Pemilu mengatur metode kampanye yang diperbolehkan, antara lain melalui pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga, iklan media massa dan media sosial, rapat umum, debat, serta kegiatan lain. Meski media sosial telah diakui sebagai sarana kampanye, pengaturannya masih berfokus pada akun resmi yang didaftarkan oleh peserta pemilu kepada KPU. Hal ini menimbulkan celah besar ketika pesan politik disebarkan melalui akun non-resmi, akun anonim, atau pihak ketiga yang tidak terdaftar.
Bawaslu kerap dihadapkan pada pertanyaan normatif yang krusial, apakah pesan politik di media sosial yang tidak menyebut nama calon, tidak memuat ajakan memilih, dan tidak menggunakan atribut kampanye dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran kampanye? Dalam banyak kasus, pendekatan legal-formal membuat Bawaslu kesulitan membuktikan unsur kampanye sebagaimana dipersyaratkan dalam Undang-Undang.
Dari perspektif hukum administrasi negara, kondisi ini mencerminkan lemahnya asas kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam regulasi pemilu. Aparat pengawas tidak memiliki instrumen normatif yang cukup jelas untuk melakukan penindakan administratif terhadap praktik shadow campaigning. Akibatnya, penegakan hukum cenderung bersifat reaktif, selektif, dan bergantung pada interpretasi subjektif, yang berpotensi menimbulkan tuduhan ketidakadilan atau keberpihakan.
Lebih jauh, keterbatasan kewenangan administratif juga menjadi hambatan. Sanksi administratif kampanye dalam UU Pemilu pada umumnya ditujukan kepada peserta pemilu, bukan aktor non-formal yang bergerak di ruang digital. Padahal, dalam shadow campaigning, aktor utama justru sering berada di luar struktur resmi tim kampanye. Hal ini memperlihatkan ketidaksesuaian antara subjek hukum yang diatur dengan realitas aktor politik digital.
Dilema Kebebasan Berekspresi dan Pengawasan Kampanye Digital
Salah satu tantangan paling kompleks dalam pengaturan shadow campaigning adalah menjaga keseimbangan antara pengawasan kampanye dan perlindungan kebebasan berekspresi. Media sosial merupakan ruang publik baru yang memungkinkan warga negara menyampaikan pandangan politiknya secara bebas, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”).
Namun, kebebasan berekspresi tidak dapat dijadikan tameng bagi manipulasi politik yang sistematis dan terorganisasi. Dalam praktik shadow campaigning, ekspresi individu sering kali merupakan bagian dari orkestrasi politik yang dirancang secara profesional, termasuk melalui buzzers, paid influencers, dan jaringan akun terkoordinasi. Tantangannya adalah membedakan antara ekspresi politik autentik dan aktivitas kampanye terselubung yang melanggar prinsip keadilan pemilu.
Dalam konteks ini, hukum administrasi negara dituntut untuk mengembangkan pendekatan berbasis substansi (substance over form). Penilaian terhadap kampanye tidak semata-mata didasarkan pada unsur formal seperti penyebutan nama calon, tetapi juga pada tujuan, pola penyebaran, dan dampak pesan politik tersebut. Sayangnya, pendekatan ini belum terakomodasi secara memadai dalam regulasi pemilu saat ini.
Baca juga: Sistem Pemilu Ideal Untuk Indonesia, Proporsional Terbuka atau Tertutup?
Urgensi Reformasi Regulasi Pemilu Menuju Pemilu 2029 Mendatang
Para pakar hukum pemilu menekankan perlunya revisi UU Pemilu agar lebih adaptif terhadap era digital. Titi Anggraini dari ahli hukum pemilu FH UI menyarankan desain sistem pemilu yang lebih representatif dan regulasi yang menutup celah politik uang serta kampanye terselubung. Urgensi reformasi regulasi mencakup:
- Revisi definisi kampanye: Memasukkan aktivitas digital implisit sebagai bagian dari kampanye.
- Pengaturan iklan politik digital: Transparansi sumber dana dan algoritma distribusi konten.
- Penguatan kewenangan Bawaslu: Memberikan instrumen hukum yang jelas untuk menindak kampanye terselubung.
- Kolaborasi dengan platform digital: Mewajibkan media sosial melaporkan iklan politik dan narasi terselubung.
Fenomena shadow campaigning merupakan tantangan nyata bagi hukum administrasi negara dalam menjaga integritas pemilu di era digital. Kesenjangan regulasi, ambiguitas definisi kampanye, dan keterbatasan kewenangan penegakan hukum menunjukkan bahwa kerangka hukum pemilu Indonesia belum sepenuhnya siap menghadapi kompleksitas politik digital.
Menjelang Pemilu 2029, reformasi regulasi pemilu tidak lagi dapat ditunda. Pembaruan hukum harus mampu menjangkau realitas politik digital tanpa mengorbankan prinsip demokrasi dan kebebasan berekspresi. Dalam konteks inilah, hukum administrasi negara dituntut untuk bertransformasi—tidak hanya sebagai penjaga prosedur, tetapi juga sebagai instrumen keadilan substantif dalam demokrasi elektoral modern.***
Baca juga: Efek Putusan MK perihal Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah pada tahun 2029
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU Pemilu”).
Referensi:
- Kampanye Terselubung Politik Medsos yang Tak Terlihat tapi Menggerakkan. Kumparan. (Diakses pada 24 Desember 2025 pukul 09.15 WIB).
- Kampanye Politik: Antara Rayuan Persuasif dan Serangan Black Campaign. Himso. (Diakses pada 24 Desember 2025 pukul 09.32 WIB).
- KPU: Kampanya Pemilu di Era Digital Perlu Mitigasi dan Literasi Publik. Kepri Raya. (Diakses pada 24 Desember 2025 pukul 10.27 WIB).
- Urgensi Regulasi Kampanye Digital. Kompasiana. (Diakses pada 24 Desember 2025 pukul 10.33 WIB).
- Regulasi Kampanye Digital Diperlukan. Kompas.id. (Diakses pada 24 Desember 2025 pukul 10.36 WIB).
- Pakar dari UI Kasih 6 Saran Buat Revisi UU Pemilu, Begini Isinya. detik. (Diakses pada 24 Desember 2025 pukul 11.02 WIB).
