Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XII/2024 (“Putusan MK 62/2024”) yang menguji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU Pemilu”) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI 1945”), maka terdapat perubahan terkait ambang batas suara (presidential threshold) untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik. Adapun permohonan ini diajukan 23 Februari 2024, di mana para pemohon menguraikan dalil alasan-alasan permohonan sebagai berikut:
- Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 karena melanggar batasan open legal policy (moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable)
- Pelanggaran Moralitas, adanya upaya menggerus moralitas demokrasi dengan cara agregasi partai politik yang mengakibatkan tidak berjalannya fungsi partai politik sebagaimana Pasal 11 ayat (1) huruf c UU 10/2008. Hal ini mengakibatkan partai dengan suara kecil tidak bisa mengusung calon presiden dan/atau wakil presiden dikarenakan adanya presidential threshold pada Pasal 222 UU Pemilu yang seharusnya demokrasi menghendaki terbukanya peluang partisipasi masyarakat secara inklusif;
- Pelanggaran Rasionalitas, di beberapa negara yang tidak menerapkan sistem presidential threshold maka tidak mengakibatkan negara-negara tersebut mengalami ketidakstabilan politik, bahkan negara seperti Uruguay, Chili, dan Amerika Serikat justru tetap dapat menjamin stabilitas pemerintahannya. Sementara di Indonesia, dengan adanya Pasal 222 UU Pemilu terkait presidential threshold yang tinggi mengakibatkan tidak adanya ruang bagi partai kecil untuk berkompetisi, hal ini mengakibatkan pemilihan presiden hanya berkutat pada kandidat yang sama dari partai besar;
- Pelanggaran Ketidakadilan yang Intolerable, adanya ketentuan presidential threshold pada Pasal 222 UU Pemilu berimplikasi pada timbulnya ketidakadilan yang intolerable karena memaksa rakyat Indonesia memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusung oleh partai politik yang telah memenuhi kriteria jumlah suara sebagaimana pada Pasal 222 UU Pemilu. Hal ini tentunya merugikan masyarakat Indonesia sebab hak untuk memilih merupakan hak asasi yang fundamental dan setiap individu memiliki kesempatan untuk memilih preferensi pemimpin masing-masing.
- Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 karena melanggar asas pemilu periodik dan menyebabkan distorsi representasi
Bahwa Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 menjelaskan bahwasannya pemilihan umum dilaksanakan setiap lima tahun sekali, di mana hal ini memiliki arti bahwa segala hal yang berkaitan dengan pemilihan umum seharusnya terikat dalam batasan asas periodik, termasuk suara pemilih. Maka dari itu pemilihan umum pada esensinya adalah memberikan kesempatan kepada pemilih untuk menjatuhkan pilihan politiknya berdasarkan preferensi politik saat pemilihan umum diselenggarakan dan bukan berdasarkan hasil pemilihan umum 5 tahun sebelumnya, sebab belum tentu relevan dengan aspirasi dan kondisi terbaru.
Maka dari itu prinsip dari “one man one vote one value” menjadi menyimpang dikarenakan adanya presidential threshold. Hal ini disebabkan nilai suara digunakan untuk dua periode pemilihan umum yang dapat mengarah pada distorsi representasi dalam sistem demokrasi. Maka dari itu dengan adanya presidential threshold menyebabkan ketidakseimbangan pada prinsip periodik, di mana nilai suara seharusnya mengikuti setiap periode pemilihan umum secara proporsional. Lebih lanjut presidential threshold dengan minimal kursi dan suara sah pemilihan umum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan hal yang tidak logis sebab pemilihan umum untuk presiden dan wakil presiden didasarkan pada perhitungan pemilihan umum DPR lima tahun sebelumnya.
- Ketentuan a quo yang melanggar batasan open legal policy dan asas pemilu periodik menyebabkan terlanggarnya hak-hak warga negara sebagai pemilih untuk mengembangkan diri secara kolektif dan hak atas kepastian hukum
Bahwa seharusnya segala aktivitas negara demokrasi harus didasarkan pada rakyat, di mana rakyat ditempatkan sebagai subjek dalam demokrasi. Maka, menempatkan rakyat sebagai objek dalam negara demokrasi merupakan hal yang bertentangan dengan moral demokrasi. Namun pada kenyataannya, ketentuan presidential threshold justru cenderung menjadikan rakyat sebagai objek dan bukan sebagai subjek dalam demokrasi. Adapun bukti tersebut adalah dengan adanya permohonan judicial review mengenai presidential threshold sebanyak 33 kali.
Seharusnya terhadap fakta tersebut, pembentuk Undang-Undang menangkap aspirasi konstitusional warga negara untuk mempertimbangkan ulang terkait open legal policy mengenai presidential threshold. Namun sampai saat ini tidak ada itikad baik dari pembentuk Undang-Undang untuk melaksanakan atau setidaknya mempertimbangkan aspirasi konstitusional warga negara yang mengajukan permohonan terkait judicial review atas presidential threshold. Maka dari itu, seharusnya Mahkamah Konstitusi dapat melangkah lebih jauh untuk menjaga moralitas demokrasi tersebut.
Baca juga: Perubahan Paradigma Ketenagakerjaan: Implikasi Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023
Lebih lanjut para pemohon dalam petitumnya maka diajukan sebagai berikut
- Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya;
- Menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
- Memerintahkan pembuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Adapun terhadap dalil dan petitum dari para pemohon, maka Mahkamah Konstitusi memutuskan sebagai berikut:
- Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya;
- Menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
- Memerintahkan pembuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Namun terhadap Putusan MK 62/2024 terdapat Dissenting Opinion dari 2 orang hakim konstitusi, yakni Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh. Adapun alasan-alasan dari Dissenting Opinion di antaranya adalah sebagai berikut:
- Permohonan atas pengujian norma Pasal 222 UU Pemilu atas UUD NRI 1945 yang dimohonkan, sudah dilakukan pengujian sebanyak 33 kali dan Mahkamah Konstitusi selalu menegaskan bahwa pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 222 UU Pemilu atas UUD NRI 1945 adalah sebagai berikut:
- Partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum; dan
- Perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan.
- Alasan selanjutnya adalah Mahkamah Konstitusi perlu melakukan pengendalian diri dari kecenderungan untuk menilai kembali konstitusionalitas norma jika norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang, terlebih jika kebijakan tersebut tidak melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable.
Melalui Putusan MK 62/2024 ini memberikan dampak hukum berupa penghapusan ambang batas pencalonan, sehingga setiap partai politik mendapatkan kesempatan hak yang sama untuk mencalonkan calon presiden dan wakil presiden.
Baca juga: Tugas, Fungsi, dan Tanggung Jawab Mahkamah Konstitusi
Daftar Hukum:
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XII/2024 (“Putusan MK 62/2024”).
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU Pemilu”).
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI 1945”).