Teknologi informasi yang semakin canggih tidak lagi membatasi antara satu orang dengan yang lainnya. Begitu pula hal ini dapat dimanfaatkan dalam bidang medis. Saat ini, pasien dapat melakukan interaksi dengan dokter secara daring hanya melalui perantara alat komunikasi yang tersambung dengan internet dan telah mengunduh platform kesehatan online.

Hal tersebut tentu memberikan kemudahan bagi kedua belah pihak. Akan tetapi, adanya kemudahan tersebut tidak dapat mengenyampingkan potensi risiko terjadi malpraktik telemedis berupa kesalahan diagnosa yang justru cenderung merugikan pasien. Oleh karena itu, pada artikel ini SIP Law Firm akan membahas lebih lanjut mengenai Pertanggungjawaban Hukum atas Malpraktik Telemedis berupa Kesalahan Diagnosa pada Platform Kesehatan Online.

 

Jenis Malapraktik Telemedis

 

Temedisin merupakan kata serapan dari bahasa inggris, yakni “telemedicine”. Menurut Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”), yang dimaksud dengan telemedisin adalah pemberian dan fasilitas layanan klinis melalui telekomunikasi dan teknologi komunikasi digital. Kemudian, dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan (“Permenkes 20/2019”) menjelaskan bahwa layanan kesehatan yang dapat diselenggarakan melalui telemedisin terdiri dari:

  1. Teleradiologi
  2. Teleelektrokardiografi
  3. Teleultrasonografi
  4. Telekonsultasi klinis
  5. Pelayanan konsultasi telemedisin lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

Tindakan telemedis hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan yang memiliki surat izin praktik (SIP) dan apabila platform kesehatan online telah terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional. Kemudian, dalam Pasal 172 ayat (3) UU Kesehatan telah menyatakan bahwa layanan yang dapat diberikan melalui telemedisin meliputi:

  1. Antar-fasilitas pelayanan kesehatan
  2. Antara fasilitas pelayanan kesehatan dan masyarakat

Ketika memberikan layanan kesehatan, dokter akan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas dan profesinya. Akan tetapi, pada pelaksanaan pemberian layanan kesehatan, risiko medis tentu tidak dapat dihindari. Adapun jenis-jenis risiko medis yang kerap terjadi, sehingga menyebabkan terjadinya malpraktik telemedis adalah sebagai berikut:

  • Kesalahan Diagnosa

Kesalahan melakukan diagnosa dapat disebabkan atas kealpaan dokter ataupun  karena ketidakjujuran pasien dalam memberikan informasi terkait penyakitnya kepada dokter yang bersangkutan. 

  • Kelalaian Menjaga Data Pribadi Pasien

Pada Pasal 36 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (“UU PDP”) telah menyatakan bahwa data pribadi wajib dilindungi kerahasiaannya. Dengan ini, apabila data pribadi pasien gagal dijaga kerahasiaannya, maka hal tersebut termasuk ke dalam tindakan malpraktik. 

  • Salah Memberikan Resep 

Kesalahan dokter dalam memberikan resep kepada pasien tentu mempengaruhi kondisi pasien, seperti kondisi yang semakin memburuk hingga menempatkan posisi pasien berada di posisi yang bahaya.

  • Masalah Akibat Kegagalan Teknologi

Pada masa kini, penggunaan teknologi telah banyak digunakan, salah satunya dalam bidang medis. Penggunaan teknologi sebagai alat tertentu berguna untuk mempermudah dokter dalam melakukan tugasnya tetap memiliki risiko kegagalan teknologi.

  • Pelanggaran Standar Profesi

Tindakan medis yang tidak sesuai dengan standar profesi termasuk ke dalam penyimpangan kode etik. Sebagai contohnya adalah ketika dokter umum menangani bedah jantung pada pasien, padahal yang seharusnya memberikan layanan tersebut berupa dokter spesialis jantung yang memiliki keahlian khusus jantung sesuai dengan spesialisasinya. Ketidaksesuaian kemampuan tersebut berisiko menimbulkan malpraktik yang dapat membahayakan. 

 

Perlindungan Hukum Bagi Pasien atas Malpraktik Telemedis berupa Kesalahan Diagnosa pada Platform Kesehatan Online

 

Pada Pasal 4 ayat (1) huruf k UU Kesehatan menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelindungan dari risiko kesehatan. Hal tersebut pun selaras sebagaimana tertera dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”) yang mengatur terkait hak-hak konsumen yang mana salah satunya adalah berhak mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Pada praktik layanan kesehatan, dokter dan platform kesehatan online bertindak sebagai pihak yang memberikan jasa dalam bentuk layanan kesehatan. 

Jarak yang tercipta antara dokter dengan pasien mampu menimbulkan celah, sehingga berpotensi menciptakan terjadinya kesalahan diagnosa yang berasal dari dokter. Celah tersebut dapat berasal dari ketidaklengkapan pasien dalam memberitahukan keluhan yang diderita ataupun kekurangan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh dokter dalam melakukan diagnosa penyakit. Kondisi tersebut tentu tidak diinginkan para pihak, namun pada kenyataannya di lapangan, kedua faktor tersebut sangat mempengaruhi keberhasilan maupun kegagalan pemberian layanan kesehatan karena kondisi dan pemahaman timbal balik menjadi kunci utama pada proses penyembuhan. Dalam hal ini, apabila komunikasi antara pasien dan dokter tidak berjalan secara efektif, maka informasi medis yang seharusnya lengkap dan akurat menjadi terdistorsi, sehingga berdampak pada pengambil keputusan medis yang dilakukan oleh dokter. 

Pada umumnya dikenal 2 (dua) istilah pertanggungjawaban hukum, yakni melalui upaya preventif (pencegahan) dan represif (pemulihan). Pada upaya preventif, tindakan dokter dapat dilakukan dengan membangun komunikasi secara lancar dengan pasien, mencatat rekam medis pasien, melaksanakan informed consent, serta tidak memberikan janji kesembuhan. Adapun upaya preventif yang dapat dilakukan oleh pasien adalah menjalin komunikasi secara efektif dengan dokter melalui pemberian seluruh informasi secara jelas kepada dokter terkait penyakitnya, memastikan terpenuhinya informed consent, serta mengajukan pertanyaan apabila dirasa ada hal yang belum dipahami atau tidak jelas terkait informasi yang telah diberikan oleh dokter.

Kemudian pada tahap represif, pasien atau keluarganya dapat mengajukan aduan kepada Majelis Disiplin Profesi (MDP) sebagaimana telah diatur dalam Pasal 305 ayat (1) UU Kesehatan apabila merasa dirugikan atas tindakan yang telah diberikan oleh dokter.  Apabila benar terjadi dan terbukti bahwa telah terjadi malpraktik yang dilakukan atas tindakan dokter yang bersangkutan, dalam Pasal 440 UU Kesehatan telah menjelaskan mengenai sanksi pidana yang dapat diterapkan sebagaimana berbunyi:

(1) Setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kealpaan yang mengakibatkan pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah.

(2) Jika kealpaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (liam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Akan tetapi, sebelum dikenakan sanksi pidana, dokter yang bersangkutan harus mendapatkan rekomendasi dari MDP terlebih dahulu sebagaimana telah diatur dalam Pasal 308 ayat (1) UU Kesehatan yang menyatakan:

“Tenaga Medis atau tenaga kesehatan yang diduga melakukan perbuatan yang melanggar hukum dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan yang dapat dikenai sanksi pidana, terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304.”

Oleh karena itu, apabila benar terjadi malpraktik medis berupa kesalahan diagnosa pada platform kesehatan online, maka isu utama yang harus diperhatikan adalah terkait perlindungan hukum bagi pasien sebagai pihak yang dirugikan akibat kesalahan diagnosa tersebut. Pada hakikatnya, hubungan antara dokter dengan pasien tetap tunduk pada prinsip-prinsip hukum kesehatan yang berlaku, termasuk manfaat, etika dan profesionalisme, serta pelindungan dan keselamatan dalam memberikan pelayanan medis, meskipun diselenggarakan melalui daring.

Baca juga: Mengenal Malpraktik Medis

 

Pertanggungjawaban Platform Kesehatan Online atas Malpraktik Telemedis berupa Kesalahan Diagnosa 

 

Pada Pasal 1 angka 6a Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) mengenal definisi penyelenggara sistem elektronik, yakni setiap orang, penyelenggara negara, badan usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, ataupun mengoperasikan sistem elektronik. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa platform kesehatan online termasuk ke dalam penyelenggara sistem elektronik. 

Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam bidang kesehatan melalui telemedisin telah diatur dalam Pasal 550 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan  Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“PP Kesehatan”). Lebih lanjut, penyelenggaraan telemedisin dapat dilakukan melalui aplikasi yang menggunakan sistem keamanan dan keselamatan data sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana tertera dalam Pasal 555 PP Kesehatan.

UU ITE telah dijadikan sebagai payung hukum terhadap segala hal yang berkaitan dengan isu teknologi informasi dan komunikasi. Hal tersebut pun berlaku bagi platform kesehatan online yang terintegrasi dengan internet sebagai media dalam memberikan layanan kesehatan. Jika dikaitkan dengan kerugian atas malpraktik medis yang dilakukan dokter melalui platform kesehatan online, maka pasien tersebut dapat mengajukan gugatan sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE 2008”) yang menyatakan bahwa:

“Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan sistem elektronik dan/atau menggunakan teknologi informasi yang menimbulkan kerugian.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU ITE 2008, maka dapat diketahui bahwa tidak hanya seorang dokter yang wajib mempertanggungjawabkan tindakannya, namun platform kesehatan online pun turut berperan andil dalam mempertanggungjawabkan atas segala kerugian yang diterima oleh pasien. 

Dengan demikian, malpraktik telemedis berupa kesalahan diagnosis pada platform kesehatan online tidak hanya menitikberatkan pada faktor kesalahan dari dokter, melainkan hal tersebut juga mencakup pertanggung jawaban secara sistemik dari penyelenggara layanan digital. Oleh karena itu, baik pertanggungjawaban hukum dari dokter atau platform kesehatan  online, maupun perlindungan hukum bagi pasien bergantung pada sinergi antara pengawasan pemerintah, kepatuhan peneyelnggara, serta kesadaran hukum dari masyarakat dalam memanfaatkan layanan kesehatan digital.***

Baca juga: Prosedur Pelaporan Dugaan Malpraktik

 

Daftar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”).
  • Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (“UU PDP”).
  • Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”).
  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE 2008”).
  • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”).
  • Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“PP Kesehatan”).
  • Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan (“Permenkes 20/2019”).