Undang-undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 Pasal 308 ayat 1 menegaskan, tenaga medis atau tenaga kesehatan yang diduga melakukan perbuatan yang melanggar hukum dalam pelaksanaan Pelayanan Kesehatan yang dapat dikenai sanksi pidana, terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi dari majelis. Pasal ini menjadi penting bagi dokter dan nakes seiring banyak kasus dugaan terjadinya malpraktik belakangan ini.

Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) menjadi pedoman bagi dokter Indonesia dalam melaksanakan praktik kedokteran sebagaimana penjelasan Pasal 8 huruf f UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran jo Pasal 24 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Penegakan etika profesi kedokteran dilaksanakan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 3 Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia.

MKEK sebagai salah satu badan otonom Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dibentuk secara khusus di tingkat Pusat, Wilayah dan Cabang untuk menjalankan tugas kemahkamahan profesi, pembinaan etika profesi dan atau tugas kelembagaan dan ad hoc lainnya dalam tingkatannya masing-masing. MKEK berwenang menentukan ada atau tidak kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksinya.

Dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,  tak ada satu pasal pun yang menyebutkan karena kelalaian seorang tenaga kesehatan termasuk dokter, mereka  bisa dipidana.

Majelis Kehormatan Etik Kedokteran

Pasal 24 Undang-undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan menyebutkan, tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik agar tidak melakukan malpraktik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional. Pasal ini juga menjelaskan, ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi. Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Menurut ketentuan, ada beberapa upaya yang dapat ditempuh jika terjadi dugaan malpraktik oleh tenaga kesehatan yaitu,  melaporkan kepada MKEK/MKDKI, melakukan mediasi, dan menggugat secara perdata. Jika ternyata ada kesengajaan dalam tindakan tenaga kesehatan tersebut, maka dapat dilakukan upaya pelaporan secara pidana.

Terkait pelaporan secara pidana, Undang-undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 Pasal 308 ayat 3 menerangkan, rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah Penyidik Pegawai Negeri Sipil atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia mengajukan permohonan secara tertulis.

Sementara itu, dalam Pasal 308 ayat 5 disebutkan, rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa rekomendasi dapat atau tidak dapat dilakukan penyidikan karena pelaksanaan praktik keprofesian yang dilakukan oleh Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan sesuai atau tidak sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional. Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa rekomendasi pelaksanaan praktik keprofesian yang dilakukan oleh Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan sesuai atau tidak sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional yang diberikan waktu selama 14 hari.

Saat ini pemerintah tengah menyusun aturan turunan dari Undang-undang Nomor 19 tahun 2023 tentang  Kesehatan, dan bentuk dari majelis ini kemungkinan besar akan menjadi salah satu organ kerja dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) untuk tenaga kesehatan non-dokter. Nantinya, majelis tidak hanya diisi oleh dokter, namun juga tokoh masyarakat untuk menjaga independensi dalam membuat rekomendasi.

Baca Juga: UU Kesehatan Perkuat Layanan Kesehatan Bagi Masyarakat