Kehadiran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, telah mempersempit ruang bagi pelaku tender untuk melakukan praktek persekongkolan, seperti kecurangan dan melawan hukum sehingga dapat menghambat jalannya persaingan usaha yang dilakukan secara sehat. Larangan persekongkolan ini diatur dalam Pasal 22 UU 5 Tahun 1999 yang berbunyi;

“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”

Sedangkan pengertian mengenai tender diatur lebih lanjut pada Penjelasan Pasal 22 yang didefinisikan sebagai berikut:

Tender adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang, atau untuk menyediakan jasa.”

Pasal 22 menjadi dasar larangan mengenai persekongkolan tender, mengingat tiap pelaku usaha yang menjadi peserta tender memiliki kedudukan yang sama dalam mencapai tujuannya.  Merujuk Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) No. 2 Tahun 2010 tentang Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender menguraikan unsur-unsur persekongkolan tender sebagai berikut;

  1. Unsur Pelaku Usaha;
  2. Unsur Bersekongkol;
  3. Unsur Pihak Lain;
  4. Unsur Mengatur dan/atau Menentukan Pemenang Tender;
  5. Unsur Persaingan Usaha Tidak Sehat. 

Kemudian pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu 2/2022) cluster Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat memperjelas pengaturan sanksi persekongkolan tender sebagaimana yang sebelumnya diatur pada UU 5 Tahun 1999. 

Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 47 ayat (2) huruf c Perppu 2 Tahun 2022 yang menyatakan sebagai berikut;

  • Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang ini. 
  • Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  • Penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; 
  • Perintah kepada Pelaku Usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; 
  • Perintah kepada Pelaku Usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli, menyebabkan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dan/atau merugikan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 2O, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26, dan Pasal 27; 
  • Perintah kepada Pelaku Usaha untuk menghentikan penyalahgunaan Posisi Dominan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25; 
  • Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; 
  • Penetapan pembayaran ganti rugi; dan/atau 
  • Pengenaan denda paling sedikit Rp 1.0O0.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (21 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sedangkan, ketentuan mengenai jenis sanksi diatur pada Pasal 6 ayat (1) dan (2) huruf g Peraturan Pemerintah (PP) No. 44 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha sebagai berikut;

  • Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
  • Penetapan pembatalan Perjanjian ; 
  • Perintah kepada Pelaku Usaha untuk menghentikan integrasi vertikal;
  • Perintah kepada Pelaku Usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek Monopoli, menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, dan/atau merugikan masyarakat; 
  • Perintah kepada Pelaku untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; 
  • Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham;
  • Penetapan pembayaran ganti rugi; dan/atau
  • Pengenaan denda, paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), dengan memperhatikan ketentuan mengenai besaran denda sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.

Proses peradilan dalam penanganan perkara persekongkolan tender di Indonesia diatur secara khusus dalam UU 5 Tahun 1999.  Salah satu yang membedakan hukum acara persaingan usaha dengan hukum acara perdata umum adalah mengenai alat bukti yang digunakan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 UU 5 Tahun 1999 diantaranya terdiri dari; 

Alat-alat bukti pemeriksaan Komisi berupa: 

  1. Keterangan saksi;
  2. Keterangan ahli;
  3. Surat dan atau dokumen;
  4. Petunjuk;
  5. Keterangan pelaku usaha

Adapun Majelis Komisi dalam memutuskan perkara, sekurang-kurangnya harus menggunakan 2 (dua) alat bukti sebagaimana telah disebutkan di atas serta keyakinan Majelis Komisi terhadap dugaan pelanggaran yang telah dilakukan oleh Terlapor. Dalam hukum acara persaingan usaha dikenal 2 (dua) alat bukti, yang umumnya digunakan oleh Majelis Komisi dalam menyelesaikan perkara diantaranya sebagai berikut;

  1. Alat bukti langsung (Direct Evidence

Direct Evidence merupakan alat bukti yang diajukan secara fisik dalam persidangan seperti alat bukti surat elektronik, rekaman percakapan telepon, dan fax. Pihak yang berperkara dapat menyerahkan alat bukti yang diperlukan ke dalam persidangan dan apabila alat bukti belum mencapai batas minimum, maka dapat dibantu dengan menghadirkan saksi dalam persidangan untuk memberikan keterangan yang diperlukan. Direct evidence disebut sebagai alat bukti dikarenakan memiliki fisik dan bentuk yang nyata dan dapat dipertunjukkan secara konkrit dalam persidangan.

  1. Alat bukti tidak langsung (Indirect Evidence)

Indirect Evidence adalah bukti yang tidak dapat menunjukkan terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan hukum secara langsung sebagaimana yang disebutkan dalam undang-undang. Ketentuan Pasal 57 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender atau Perkom 2 Tahun 2010. 

Perkom Persaingan Usaha mengatur indirect evidence yang diantaranya sebagai berikut:

BuktiPenjelasanDasar Hukum
PetunjukAlat bukti petunjuk merupakan suatu perbuatan, kejadian atau keadaan yang memiliki kaitan atau hubungan dengan perjanjian dan/atau kegiatan yang dilarang dan/atau penyalahgunaan posisi dominan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang sehingga sebagai penanda (petunjuk) bahwa suatu perjanjian dan/atau kegiatan yang dilarang dan/atau penyalahgunaan posisi dominan telah dilakukan. Pada persaingan usaha, bukti petunjuk dapat dibagi menjadi bukti ekonomi dan bukti komunikasi.Pasal 57 ayat (1) dan (2) Perkom 2/2010
EkonomiBukti ekonomi diartikan sebagai analisis ilmu-ilmu ekonomi baik yang diperoleh melalui metode analisis data kuantitatif dan/atau kualitatif maupun pendapat Ahli, dipergunakan untuk memecahkan indikasi terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.Pasal 57 ayat (3) Perkom 2/2010
KomunikasiBukti komunikasi adalah data dan/atau dokumen yang memperlihatkan adanya pertukaran informasi antara para pihak yang diyakini melakukan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.Pasal 57 ayat (4) Perkom 2/2010

Tabel. Pengaturan Indirect Evidence di Indonesia

Sumber: Pasal 57 Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2019

Dapat disimpulkan bahwa bukti tidak langsung (indirect evidence) merupakan bukti petunjuk yang tidak secara langsung menunjukkan adanya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, umumnya berbentuk perjanjian atau kesepakatan yang tidak tertulis. Bukti tidak langsung ini terdapat dua bentuk, yaitu bukti komunikasi yang tidak secara langsung menyatakan adanya kesepakatan seperti;

  1. Adanya rekaman pembicaraan melalui telepon atau pesan teks antara para pelaku usaha yang bersaing dalam tender, catatan perjalanan ke tujuan yang sama atau partisipasi dalam suatu pertemuan.
  2. Bukti lain yang menunjukkan adanya komunikasi antara para pelaku usaha seperti berita acara atau catatan pertemuan yang mengarah pada pembahasan mengenai harga, permintaan, dokumen internal perusahaan, strategi penetapan harga, dan lain sebagainya.

Adapun bukti ekonomi yang juga termasuk sebagai indirect evidence dapat diklasifikasikan sebagai berikut;

  1. Perilaku pelaku usaha, yaitu berupa peningkatan harga yang bersamaan, pola penawaran yang tidak bersaing dan mencurigakan, perilaku yang memfasilitasi persekongkolan tender;
  2. Struktur pasar yang ditentukan oleh berbagai faktor seperti jumlah penjual dan pembeli, pangsa pasar, tingkat penguasaan teknologi, elastisitas permintaan terhadap suatu produk, lokasi, hambatan masuk pasar (entry barrier), tingkat efisiensi serta beberapa faktor lainnya; dan 
  3. Praktik fasilitasi dapat berupa pertukaran informasi antara pelaku usaha, price signaling, dan pemerataan pengiriman.

Pada praktiknya, tim dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha akan melakukan pemeriksaan terhadap direct evidence dan alat bukti yang secara eksplisit menunjukan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (indirect evidence). Namun pada faktanya, penggunaan direct evidence jauh lebih memudahkan proses pembuktian karena tidak memerlukan penafsiran dan penelusuran secara mendalam untuk menduga terjadinya persekongkolan. 

Akan tetapi, seringkali keberadaan bukti langsung tersebut sulit untuk didapatkan mengingat terdapat kasus yang tidak ditemukan dalam perjanjian tertulisnya. Adanya pihak yang merahasiakan atau adanya tindakan terselubung yang sulit untuk dideteksi menyebabkan kasus persekongkolan tender tidak mudah untuk dibuktikan, sehingga muncul upaya mengimplementasikan indirect evidence untuk memecahkan indikasi terjadinya kasus persekongkolan tender. Oleh sebab itu, dengan adanya penerapan Indirect Evidence dalam pelanggaran persekongkolan tender, dapat memberikan kemudahan dalam pengungkapan pembuktian pada persidangan persaingan usaha.

Baca Juga: Upaya Pihak Ketiga dan Penyitaan Aset Perkara Hukum Pidana