Perlawanan pihak ketiga (derden verzet) merupakan upaya hukum yang dilakukan oleh seseorang untuk mempertahankan haknya atas suatu objek yang dirampas dengan cara disita, dijual, atau dilelang. Upaya ini dilakukan untuk mempertahankan aset/barang miliknya yang disita dalam suatu perkara perdata. Umumnya perlawanan pihak ketiga ini dilakukan terhadap putusan pengadilan, dimana pemilik objek bukanlah sebagai pihak dalam perkara hukum pidana tersebut.
Muncul pertanyaan, bagaimana jika hak seseorang atas suatu objek disita dalam putusan perkara hukum pidana yang telah berkekuatan hukum tetap?.
Apabila terdapat suatu putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap, dimana Majelis Hakim mengeluarkan penetapan menyita suatu objek dan ternyata objek tersebut milik pihak di luar perkara yang tidak ada kaitannya dengan putusan, pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan perlawanan pihak ketiga melalui Pengadilan Negeri. Upaya ini merupakan bentuk perlindungan hukum agar pihak tersebut dapat memperoleh kembali miliknya yang dirampas.
Secara hukum upaya perlawanan pihak ketiga ini sudah diatur Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan Reglement of de Rechtsvordering (Rv), khususnya Pasal 195 ayat 6 HIR, Pasal 378 Rv, 379 Rv dan Pasal 382 Rv. Ketentuan Pasal 195 ayat 6 HIR, Pasal 378 Rv, 379 Rv dan Pasal 382 Rv dapat dipergunakan oleh pihak ketiga sebagai dasar hukum untuk mengajukan perlawanan terhadap pelaksanaan sita eksekusi dalam perkara pidana.
Pasal 195 ayat (6) HIR:
“Perlawanan terhadap keputusan, juga dari orang lain yang menyatakan bahwa barang yang disita miliknya, dihadapkan serta diadili seperti segala perselisihan tentang upaya paksa yang diperintahkan oleh pengadilan negeri, yang dalam daerah hukumnya terjadi penjalaran keputusan itu”
Pasal 378 Rv:
“Apabila hak-hak pihak ketiga dirugikan oleh suatu putusan, maka ia dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut”
Pasal 379 Rv:
“Perlawanan ini diajukan kepada hakim yang menjatuhkan putusan yang dilawan itu dengan menggugat para pihak yang bersangkutan dengan cara biasa”
Pasal 382 Rv:
“Pihak ketiga yang hendak mengajukan perlawanan terhadap suatu putusan tidak cukup hanya mempunyai kepentingan saja, tetapi harus nyata-nyata telah dirugikan haknya, apabila perlawanannya itu dikabulkan maka putusan yang dilawan itu diperbaiki sepanjang merugikan pihak ketiga”
Berdasarkan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No.185/Pdt.Plw/
2010/Pn.Slmn, dimana dalam putusannya dalam upaya hukum perlawanan di Indonesia, Mahkamah Agung menegaskan:
“Bahwa berdasarkan pasal 378 Rv dan pasal 379 Rv, untuk dapat dikabulkannya Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet) diperlukan terpenuhinya 2 (dua) unsur, yaitu: adanya kepentingan dari pihak ketiga; dan, secara nyata hak pihak ketiga dirugikan”
Dengan demikian, sangatlah jelas Pasal 195 ayat 6 HIR, Pasal 378 Rv, 379 Rv dan Pasal 382 Rv memberikan peluang bagi pihak ketiga sebagai pemilik barang yang asetnya telah disita/dirampas dalam suatu perkara, dapat mengajukan upaya perlawanan terhadap aset yang telah dilakukan sita pada pengadilan negeri dimana hakim menjatuhkan putusan sita aset tersebut berada.
Upaya hukum berupa perlawanan pihak ketiga (derden verzet) merupakan alternatif kebijakan yang digunakan sebagai instrumen perlindungan bagi pihak ketiga yang memiliki hak atas barang bukti yang dirampas, sehingga sering dipertimbangkan dalam setiap perumusan peraturan perundang-undangan, khususnya yang mengatur dan mengamanatkan tindakan perampasan aset hasil tindak pidana.
Namun, yang menjadi pertanyaan selanjutnya, siapa saja para pihak dalam upaya hukum perlawanan pihak ketiga (derden verzet) terhadap aset yang telah dilakukan sita pidana?
Pihak Pelawan dalam perkara perlawanan tentu saja pihak ketiga atau pihak yang haknya dirampas, guna memperoleh kembali barang miliknya yang disita. Sedangkan pihak Terlawan dalam perkara perlawanan adalah Jaksa Penuntut Umum dalam perkara pidana dimana barang milik pihak ketiga disita. Adapun yang menjadi dasar hukum bagi Pelawan menarik Terlawan sebagai pihak dalam perkara a quo adalah karena Terlawan sebagai pihak yang menguasai objek dalam perkara a quo. Hal ini selaras dengan putusan MA-RI No. 1072. K/Sip/1982, yang berbunyi sebagai berikut:
“Gugatan cukup ditujukan kepada pihak yang secara feltelijk menguasai barang-barang sengketa” sehingga Perlawanan yang diajukan oleh Pelawan sudah sesuai dengan prosedur dan ketentuan hukum yang berlaku.”
Sebagaimana yang telah disampaikan di atas, pihak ketiga dapat mengajukan upaya hukum perlawanan terhadap Jaksa Penuntut Umum pada pengadilan negeri dimana barang milik pihak ketiga telah dinyatakan disita dalam suatu putusan perkara pidana.
Hal ini dipandang sebagai bentuk perlindungan hukum bagi pihak ketiga untuk memperoleh kembali barang-barang miliknya yang telah dirampas atau disita berdasarkan suatu putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap, walaupun sampai saat ini secara yuridis belum terdapat aturan yang mengatur secara khusus dalam ketentuan formil mengenai proses peradilan pidana di Indonesia.
Baca Juga: Teori dan Pemahaman Pidana Penyertaan Pasal 55 KUHPidana