Pengawasan hukum terhadap peredaran obat palsu di Indonesia merupakan salah satu aspek krusial dalam menjaga kesehatan masyarakat dan memastikan keamanan obat-obatan yang beredar di pasaran. Pemerintah Indonesia, melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengatur secara ketat peredaran obat untuk melindungi masyarakat dari risiko penggunaan obat palsu yang dapat membahayakan kesehatan. BPOM sebagai otoritas pengawasan obat memegang peranan penting dalam memastikan bahwa obat yang beredar di pasaran telah memenuhi standar keamanan, khasiat, dan mutu.
Dalam melaksanakan tugas pengawasan obat dan makanan, BPOM mempunyai kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan (“Perpres 80/2017”) yakni:
- Menerbitkan izin edar produk dan sertifikat sesuai dengan standar dan persyaratan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu, serta pengujian obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- Melakukan intelijen dan penyidikan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
- Pemberian sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Untuk dapat mengendalikan peredaran obat dan mencegah beredarnya obat palsu, pemerintah menetapkan berbagai standar dan persyaratan. Hal ini dilakukan agar masyarakat terlindungi dari penggunaan obat, obat tradisional, kosmetika, suplemen makanan, dan makanan yang secara ilmiah tidak memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan manfaat. Untuk itu, setiap obat yang diedarkan di wilayah Indonesia wajib untuk mengantongi izin edar.
Diatur dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 28 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan ke dalam Wilayah Indonesia (“PerBPOM 28/2023”) disebutkan bahwa izin edar adalah bentuk persetujuan registrasi Obat, Obat Bahan Alam, Obat Kuasi, Suplemen Kesehatan dan Pangan Olahan atau bentuk persetujuan berupa pemberitahuan Kosmetik telah dinotifikasi, pemenuhan komitmen Pangan Olahan dan persetujuan Pangan Olahan untuk dapat diedarkan di wilayah Indonesia.
Terkait dengan obat yang mendapat izin edar harus memenuhi kriteria yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Kepala BPOM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat (“PerBPOM 24/2017”) yakni:
- Khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai dibuktikan melalui uji nonklinik dan uji klinik atau bukti-bukti lain sesuai dengan status perkembangan ilmu pengetahuan;
- Mutu yang memenuhi syarat sesuai dengan standar yang ditetapkan, termasuk proses produksi sesuai dengan CPOB dan dilengkapi dengan bukti yang sahih; dan
- Informasi produk dan label berisi informasi lengkap, objektif dan tidak menyesatkan yang dapat menjamin penggunaan obat secara tepat, rasional, dan aman.
Baca juga: Peran Hukum dalam Penyebaran Vaksinasi Komplet di Indonesia
Pengawasan terhadap peredaran obat palsu dilakukan melalui berbagai mekanisme, mulai dari evaluasi pra-pasar, pemantauan pasca-pasar, hingga penegakan hukum terhadap pelanggaran. Dalam Pasal 3 ayat (2) Perpres 80/2017 dijelaskan bahwa pengawasan sebelum beredar yakni pengawasan obat dan makanan sebelum beredar sebagai tindakan pencegahan untuk menjamin obat dan makanan yang beredar memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu produk yang ditetapkan. Sementara pengawasan selama beredar adalah pengawasan untuk memastikan obat dan makanan yang beredar memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu produk yang ditetapkan serta tindakan penegakan hukum.
Di sisi lain, pada era digital ini peredaran obat palsu melalui platform dan pasar digital kian meningkat. Untuk itu, BPOM melalui Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 14 Tahun 2024 tentang Pengawasan Obat dan Makanan yang Diedarkan Secara Daring (“PerBPOM 14/2024”) mengatur secara ketat terkait dengan pengawasan terhadap peredaran obat palsu di internet dan pentingnya kerja sama semua pihak dalam menjaga kesehatan masyarakat.
Dalam Pasal 7 ayat (6) PerBPOM 14/2024 dijelaskan bahwa sistem elektronik yang digunakan dalam peredaran obat dan makanan secara daring kepada masyarakat wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Menginformasikan secara benar mengenai:
- Nama dan alamat atau identitas pelaku usaha dengan jelas dan mampu telusur; dan
- Data dan/atau informasi yang dicantumkan pada label/penandaan produk berupa keterangan tertulis dan/atau gambar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Menayangkan informasi nomor izin edar obat dan makanan.
c. Memiliki mekanisme pencatatan/pendokumentasian transaksi elektronik yang mampu telusur dan dapat memberikan akses kepada setiap pengguna sistem elektronik dan pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, pengawasan hukum terhadap peredaran obat palsu di Indonesia telah dilakukan secara signifikan melalui berbagai regulasi BPOM yang memegang otoritas. Hal ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari risiko obat yang tidak terjamin keamanan, khasiat, dan mutu. Izin edar obat menjadi salah satu mekanisme penting dalam pengawasan guna menyeleksi sejumlah obat yang memang sesuai standar persyaratan dan obat-obat palsu.
Baca juga: Perspektif Hukum Terkait Transplantasi Organ Tubuh Pada Mayat
Daftar Hukum:
- Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan (“Perpres 80/2017”).
- Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 28 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan ke dalam Wilayah Indonesia (“PerBPOM 28/2023”).
- Peraturan Kepala BPOM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat (“PerBPOM 24/2017”).
- Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 14 Tahun 2024 tentang Pengawasan Obat dan Makanan yang Diedarkan Secara Daring (“PerBPOM 14/2024”).