Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan pesat ekonomi digital dan e-commerce di Indonesia telah membawa transformasi besar bagi cara orang memproduksi, menjual, serta mendistribusikan barang dan jasa. Transaksi yang dulu hanya berlangsung secara fisik, kini bergeser ke ranah daring atau online melalui marketplace, platform layanan digital, dan sistem elektronik lainnya. Pergeseran ini bukan hanya membawa peluang besar bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), tetapi juga menuntut adaptasi regulasi perpajakan agar tetap relevan.
Pemerintah merespons perubahan ini dengan memperkuat kerangka hukum pajak digital: menetapkan ketentuan yang mewajibkan pelaku usaha online untuk mengukuhkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), memungut dan menyetor Pajak Pertambahan Nilai (PPN) maupun pajak atas transaksi digital tertentu, serta melakukan pelaporan sesuai mekanisme yang diatur. Kepatuhan terhadap regulasi ini bukan opsional, melainkan bagian dari tanggung jawab hukum setiap pelaku usaha digital.
Status PKP bagi Pelaku Usaha Digital dan E-Commerce
Salah satu aspek kunci dalam perpajakan usaha online adalah pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Baru-baru ini, dalam upaya menyederhanakan administrasi dan menyesuaikan dengan realitas bisnis modern, diterbitkan aturan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Peraturan DJP Nomor PER-7/PJ/2025 tentang Petunjuk Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengusaha Kena Pajak, Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Serta Perincian Jenis, Dokumen, dan Saluran Untuk Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (“PER-7/PJ/2025”) yang memperbarui ketentuan mengenai pengukuhan PKP, termasuk bagi pengusaha yang memanfaatkan kantor virtual (virtual office) dan co-working space.
Menurut Pasal 51 PER-7/PJ/2025, perusahaan/badan yang menggunakan kantor virtual dapat dikukuhkan sebagai PKP apabila memenuhi syarat tertentu: alamat kedudukan dan kegiatan usaha di kantor virtual, serta hanya memiliki satu tempat kegiatan usaha (yaitu kantor virtual tersebut). Jika pengusaha memiliki beberapa lokasi usaha, maka wajib menetapkan salah satu lokasi sebagai alamat utama PKP.
Sederhananya, penyesuaian dengan PER-7/PJ/2025 memungkinkan pelaku usaha digital yang sering beroperasi secara daring tanpa toko fisik tetap untuk secara sah menjadi PKP, selama memenuhi persyaratan yang diatur. Ini relevan bagi banyak pelaku e-commerce, layanan digital, maupun start-up yang memakai kantor virtual untuk keperluan administratif.
Secara legislatif, dasar pemberian kewenangan tersebut adalah Undang‑Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (“UU HPP”), khususnya penambahan pasal baru yang mengakomodasi realitas ekonomi digital. Hal ini dapat dilihat melalui Pasal 32A ayat (1) dan (2) yang menyebutkan bahwa:
- Menteri Keuangan menunjuk pihak lain untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pihak yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi.
Dalam ekosistem ekonomi digital, pihak yang paling memenuhi kriteria tersebut adalah platform marketplace, karena merekalah yang menyediakan infrastruktur elektronik yang memungkinkan transaksi berlangsung, mulai dari katalog produk, keranjang belanja, sistem pembayaran, hingga pengiriman bukti transaksi. Dengan peran sentral ini, marketplace menjadi entitas yang memiliki akses dan kontrol terhadap data transaksi secara lengkap, sehingga secara fungsional tepat untuk diberi mandat pemungutan pajak.
Sebagai pihak yang memfasilitasi transaksi, marketplace, seperti Tokopedia, Shopee, Bukalapak, Lazada, dan platform sejenis bukan hanya tempat jual beli, tetapi penyelenggara sistem yang menghubungkan penjual dan pembeli, menyediakan sistem pembayaran, memverifikasi transaksi, dan menghasilkan invoice. Dikarenakan kemampuan sistem mereka memungkinkan pemungutan PPN dilakukan secara otomatis, akurat, dan tercatat, maka pemerintah memanfaatkan mekanisme ini untuk meningkatkan efektivitas pengawasan pajak digital. Oleh sebab itu, marketplace termasuk dalam kategori “pihak lain” sebagaimana dimaksud Pasal 32A, sehingga dapat ditunjuk sebagai Pemungut PPN PMSE untuk memastikan kepatuhan perpajakan di sektor ekonomi digital.
Kewajiban Pemungutan dan Pelaporan PPN atas Perdagangan melalui Sistem Elektronik
Salah satu mekanisme utama pajak digital di Indonesia adalah pengenaan PPN atas transaksi melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Pemerintah menugaskan pelaku usaha PMSE, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atas transaksi kepada konsumen di Indonesia.
Menurut informasi resmi dari DJP, seorang pelaku usaha PMSE akan ditunjuk sebagai pemungut PPN apabila memenuhi kriteria berikut: nilai transaksi dengan pembeli di Indonesia lebih dari Rp600.000.000 per tahun atau Rp50.000.000 per bulan; dan/atau traffic pengakses dari Indonesia melebihi 12.000 per tahun atau 1.000 per bulan.
Setelah ditunjuk, pelaku usaha PMSE akan memperoleh surat keputusan penunjukan, serta menerima NPWP (jika luar negeri) atau status Pemungut PPN PMSE (jika dalam negeri). PPN yang wajib dipungut adalah sebesar 12% atas dasar pengenaan berupa 11/12 dari nilai uang yang dibayar konsumen (tidak termasuk PPN yang dipungut). Para pemungut wajib membuat bukti pemungutan, seperti commercial invoice, billing, order receipt, atau dokumen sejenis yang menyebut nilai PPN sebagai bagian dari transparansi dan pelaporan.
Regulasi ini bertujuan menciptakan “level playing field” antara pelaku usaha konvensional (toko fisik) dan pelaku usaha digital, sehingga beban pajak diperlakukan secara adil. Selama ini banyak pelaku e-commerce terutama yang beroperasi di platform besar dinilai belum memenuhi kewajiban perpajakan secara optimal. Di sisi lain, pedagang konvensional yang memiliki toko fisik telah lama terbebani oleh berbagai kewajiban perpajakan, mulai dari pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), hingga pajak dan retribusi daerah.
Untuk itu, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 tentang Penunjukan Pihak Lain Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak Lain Atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (“PMK 37/2025”) hadir sebagai respons atas kondisi ini.
Aturan baru ini mengatur beberapa hal penting, termasuk kewajiban pemungutan pajak oleh penyelenggara perdagangan elektronik (marketplace), perluasan subjek pajak bagi pelaku usaha digital, serta mekanisme pelaporan yang lebih transparan. Dengan demikian, diharapkan terjadi pemerataan beban pajak antara pedagang e-commerce dan penjual konvensional. Namun, implementasinya tidak semudah membalik telapak tangan. Salah satu tantangannya adalah kesadaran pajak di kalangan pelaku usaha digital perlu ditingkatkan, terutama pedagang kecil dan menengah. Banyak yang beroperasi tanpa memahami kewajiban perpajakan mereka.
Baca juga: Pajak Kripto sebagai Kewajiban Hukum bagi Investor Kripto
Lalu, Apa Risiko Jika Pelaku Usaha Digital Tak Patuh Pajak?
Pelaku usaha digital yang tidak mengukuhkan diri sebagai PKP padahal memenuhi kriteria, atau pelaku PMSE yang tidak memungut/setor PPN serta tidak melaporkan dengan benar, menghadapi beberapa risiko:
- Sanksi administratif dan penonaktifan status PKP: Berdasarkan ketentuan administrasi, apabila pengukuhan PKP dilakukan secara tidak benar, misalnya menggunakan alamat kantor virtual tanpa memenuhi syarat, maka akses untuk membuat Faktur Pajak dapat ditangguhkan (suspend).
- Kewajiban untuk membayar pajak yang seharusnya dipungut: Jika PMSE tidak memungut PPN, DJP berpotensi menagih pajak beserta denda dan bunga. Ketentuan pemungutan oleh pihak ketiga (marketplace/platform) memudahkan DJP melakukan penagihan bila terjadi penyalahgunaan. Hal ini didasarkan pada wewenang yang diberikan Pasal 32A UU HPP.
- Risiko reputasi dan pengawasan hukum: Ketidakpatuhan bisa memunculkan pemeriksaan pajak (audit), pengenaan denda, serta potensi pengenaan sanksi, terutama jika dianggap sengaja menghindari pajak.
Kepatuhan bukan hanya soal mematuhi regulasi, tetapi juga soal menjaga legitimasi usaha dan menghindari risiko hukum. Bagi pelaku usaha digital, ini adalah momen penting untuk berbenah: memastikan status PKP, memahami kewajiban PPN, mendokumentasikan transaksi dengan benar, dan melaporkan sesuai ketentuan. Dengan demikian, regulasi pajak digital bukan semata beban tambahan, melainkan bagian dari tata kelola usaha yang sehat, modern, dan berkelanjutan.***
Baca juga: Pemberlakuan Pajak Karbon bagi Pelaku Usaha Industri Transportasi Energi Tak Terbarukan
Daftar Hukum:
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-7/PJ/2025 tentang Petunjuk Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengusaha Kena Pajak, Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan Serta Perincian Jenis, Dokumen, Dan Saluran Untuk Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (“PER-7/PJ 2025”).
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (“UU HPP”).
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 tentang Penunjukan Pihak Lain Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak Lain Atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (“PMK 37/2025”).
Referensi:
- Perpajakan Kantor Virtual, Simak Aturan Terbarunya. Pajak.go.id. (Diakses pada 11 Desember 2025 pukul 08.01 WIB)
- Pasal 32A UU HPP Jadi Landasan Hukum Tarik PPN Perusahaan Digital. HukumOnline. (Diakses pada 11 Desember 2025 pukul 08.13 WIB)
- PPN atas Produk dan Jasa Digital melalui Transaksi Elektronik. Pajak.go.id. (Diakses pada 11 Desember 2025 pukul 08.22 WIB)
- Upaya Menciptakan Level Field Perpajakan antara Pedagang e-Commerce dan Pedagang Konvensional. Stats Pajak. (Diakses pada 11 Desember 2025 pukul 09.12 WIB)
