Penerapan pajak karbon di Indonesia menjadi salah satu strategi utama pemerintah untuk mempercepat transisi menuju pembangunan rendah emisi. Kebijakan tersebut bukan hanya sebagai kebijakan fiskal, melainkan instrumen pengendalian lingkungan yang menginternalisasi biaya kerusakan akibat emisi gas rumah kaca.

Sektor transportasi, sebagai salah satu penyumbang emisi terbesar akibat ketergantungan pada bahan bakar fosil, menjadi penyumbang penting dalam implementasi pajak karbon. Oleh karena itu, pelaku usaha transportasi berbasis energi tak terbarukan harus memahami mekanisme, kewajiban, serta dampak ekonomi dan hukum yang timbul dari kebijakan ini.

 

Apa itu Pajak Karbon?

 

Pada 15 September 2025, Pemerintah Indonesia telah mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (“PP 40/2025”) yang mengatur secara khusus mengenai pembaharuan kebijakan energi nasional. Diundangkan regulasi tersebut menjadi tanda bahwa regulasi sebelumnya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 (“PP 79/2014”) telah dicabut karena sudah kurang relevan dengan kondisi masyarakat saat ini. 

Menurut Pasal 14 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (“PP 40/2025”), arah kebijakan energi nasional terdiri dari kebijakan utama dan kebijakan pendukung. Dalam hal ini, kebijakan utama dapat terselenggara dengan baik apabila didukung oleh kebijakan pendukung, salah satunya adalah pajak karbon dan insentif atau pembayaran berbasis kinerja dari upaya pengurangan emisi gas rumah kaca sektor energi. 

Pada hakikatnya, Pemerintah Pusat dapat mengenakan pajak karbon terhadap pemanfaatan energi tak terbarukan yang dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup sebagaimana telah diatur dalam Pasal 83 PP 40/2025. Berkaitan dengan hal tersebut, penyelenggaraan pengenaan pajak karbon dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pajak karbon pada dasarnya merupakan pungutan atas emisi karbon yang dihasilkan oleh kegiatan usaha atau konsumsi energi yang menghasilkan gas rumah kaca. Menurut HukumOnline, pajak karbon merupakan pajak yang dikenakan atas setiap produk yang menghasilkan emisi karbon, seperti bahan fosil. Lebih lanjut, dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (“UU HPP”) menyatakan bahwa pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.

 

Mekanisme Nilai Ekonomi Karbon (NEK) 

 

Nilai ekonomi karbon (NEK) merupakan salah satu instrumen dalam mewujudkan kewajiban pemerintah dalam berkontribusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui pemilihan aksi mitigasi dan adaptasi yang efisien, efektif, dan berkeadilan tanpa mengurangi capaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional sebagaimana hal ini telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah kaca dalam Pembangunan Nasional (“Perpres 98/2021”).

Menurut Pasal 1 angka 2 Perpres 98/2021 yang dimaksud dengan nilai ekonomi karbon (NEK) adalah nilai terhadap setiap unit emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan manusia dan kegiatan ekonomi. Kemudian, dalam Pasal 46 ayat (2) Perpres 98/2021 telah menyatakan bahwa penyelenggaraan NEK dapat dilaksanakan oleh kementerian/lembaga, pemerintah daerah, pelaku usaha, serta masyarakat.

Adapun pelaksanaan penyelenggaraan NEK dapat dilakukan melalui 4 (empat) mekanisme, yakni:

  • Perdagangan karbon

Mekanisme ini hanya dapat dilakukan melalui perdagangan dalam negeri dan/atau perdagangan luar negeri. Lebih lanjut, dalam Pasal 49 ayat (2) Perpres 98/2021 menyatakan bahwa perdagangan karbon dalam negeri dan luar negeri dilakukan melalui mekanisme perdagangan emisi dan offset emisi gas rumah kaca.

  • Pembayaran berbasis kinerja

Menurut Pasal 1 angka 20 Perpres 98/2021, Pembayaran Berbasis Kinerja (Result-Based Payment) adalah insentif atau pembayaran yang diperoleh dari hasil capaian pengurangan emisi gas rumah kaca yang telah diverifikasi dan/atau tersertifikasi dan manfaat selain karbon yang telah divalidasi. Dalam hal ini, pembayaran berbasis kinerja dilakukan terhadap kinerja/manfaat pengurangan Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan Pelaku Usaha yang didasari hasil verifikasi atas capaian pengurangan emisi gas rumah kaca dan/atau konservasi/peningkatan cadangan karbon yang dilakukan oleh usaha dan/atau kegiatan.

  • Pungutan atas karbon

Dalam Pasal 1 angka 24 Perpres 98/2021 telah menyatakan bahwa pungutan atas karbon adalah pungutan negara, baik pusat maupun daerah yang dikenakan terhadap barang dan/atau jasa yang memiliki potensi dan/atau kandungan karbon dan/atau usaha dan/atau kegiatan yang memiliki potensi emisi karbon dan/atau mengemisikan karbon yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan hidup dan/atau kinerja Aksi Mitigasi. Lebih lanjut, dalam Pasal 58 ayat (1) Perpres 98/2021 menyatakan bahwa pelaksanaan pungutan atas karbon dilakukan dalam bentuk pungutan di bidang perpajakan baik pusat dan daerah, kepabeanan dan cukai, serta pungutan negara lainnya, berdasarkan kandungan karbon dan/atau potensi emisi karbon dan/atau jumlah emisi karbon dan/atau kinerja Aksi Mitigasi Perubahan Iklim.

  • Mekanisme lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup

Pada mekanisme ini, pemerintah diberikan ruang dalam rangka menetapkan mekanisme penurunan emisi baru seiring munculnya inovasi teknologi canggih, sehingga memungkinkan pembaharuan regulasi terkait kebijakan karbon di Indonesia dengan tujuan agar peraturan yang berlaku di Indonesia, khususnya mengenai kebijakan karbon tidak tertinggal dari inovasi global.

Baca juga: Perdagangan Karbon Internasional Indonesia

 

Dampak Pemberlakuan Pajak Karbon bagi Pelaku Industri Transportasi Energi Tak Terbarukan

 

Pemberlakuan pajak karbon memberikan dampak positif, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada pelaku usaha di sektor transportasi yang masih bergantung pada bahan bakar fosil. Sektor tersebut akan menghadapi berbagai perubahan, khususnya terkait biaya dan kewajiban administratif yang berpotensi memengaruhi efisiensi operasional, serta strategi bisnis jangka panjang. Lebih lanjut, beberapa dampak pajak karbon yang dapat dirasakan oleh pelaku usaha industri transportasi energi tak terbarukan adalah sebagai berikut:

Pertama, peningkatan biaya operasional. Salah satu konsekuensi paling nyata dari kebijakan ini adalah naiknya biaya operasional akibat pajak yang dikenakan pada pembakaran bahan bakar fosil. Pelaku usaha di bidang angkutan barang, transportasi logistik, dan layanan penumpang akan merasakan lonjakan signifikan pada harga bensin dan solar, khususnya bagi armada dengan frekuensi perjalanan tinggi. Kenaikan beban biaya tersebut memaksa perusahaan untuk mempertimbangkan penyesuaian tarif layanan demi menjaga margin keuntungan. 

Kedua, kewajiban penyelenggaraan inventarisasi emisi. Dalam Perpres 98/2021 mewajibkan pelaku usaha untuk menyusun inventarisasi emisi gas rumah kaca. Untuk sektor transportasi, hal ini mencakup pengukuran jejak karbon armada berdasarkan data konsumsi bahan bakar, jarak tempuh, dan jenis kendaraan yang digunakan. Kewajiban administratif tersebut membutuhkan investasi dalam sistem pemantauan emisi, perangkat digital untuk pelacakan, serta pelatihan sumber daya manusia. Bagi pelaku usaha yang belum terbiasa dengan pelaporan lingkungan, maka tantangan dalam pengimplementasiannya bisa sangat besar.

Ketiga, dorongan transformasi ke energi rendah karbon. Meskipun membawa tambahan biaya, pajak karbon juga memberikan insentif bagi industri transportasi untuk beralih ke energi rendah emisi. Pemerintah telah menawarkan sejumlah insentif hijau untuk mendorong penggunaan kendaraan listrik, biofuel, dan teknologi ramah lingkungan lainnya. Perusahaan yang cepat beralih menuju armada rendah karbon akan meraih efisiensi biaya jangka panjang serta meningkatkan citra perusahaan di mata investor dan konsumen, terutama terkait dengan tuntutan Environmental, Social, Governance (ESG).

Keempat, pengaruh terhadap daya saing. Kebijakan pajak karbon akan menciptakan perbedaan yang jelas antara perusahaan-perusahaan yang sudah mengadopsi energi bersih dan mereka yang masih bergantung pada bahan bakar fosil. Perusahaan transportasi yang berhasil mengurangi emisi dapat menawarkan tarif lebih kompetitif karena beban pajaknya lebih ringan. Sebaliknya, perusahaan yang enggan melakukan transisi ke energi bersih mungkin akan kehilangan daya saing di pasar.

Kelima, risiko hukum dan kewajiban kepatuhan hukum. Pemberlakuan pajak karbon menuntut sektor transportasi untuk mematuhi regulasi lingkungan dengan lebih ketat. Perusahaan wajib melaporkan emisi mereka, membayar pajak terkait, serta memenuhi batas emisi sektor yang ditetapkan oleh pemerintah. Ketidakpatuhan terhadap kewajiban NEK bisa menyebabkan risiko hukum, seperti sanksi administratif berupa teguran tertulis hingga pencabutan sertifikat pengurangan emisi gas rumah kaca, sanksi perdata, maupun pidana. Oleh karena itu, kepatuhan terhadap pajak karbon bukan hanya sekadar tanggung jawab finansial, tetapi juga menjadi aspek strategis penting dalam menjaga keberlangsungan usaha.

Pemberlakuan pajak karbon menuntut sektor transportasi untuk mematuhi regulasi lingkungan dengan lebih ketat. Perusahaan wajib melaporkan emisi mereka, membayar pajak terkait, serta memenuhi batas emisi sektor yang ditetapkan oleh pemerintah. Ketidakpatuhan terhadap kewajiban NEK bisa menyebabkan risiko hukum, seperti sanksi administratif, perdata, ataupun pidana. Oleh karena itu, kepatuhan terhadap pajak karbon bukan hanya sekadar tanggung jawab finansial, tetapi juga menjadi aspek strategis penting dalam menjaga keberlangsungan usaha.***

Baca juga: Hukum Perdagangan Karbon di Indonesia

 

Daftar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (“UU HPP”)
  • Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (“PP 40/2025”).
  • Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 (“PP 79/2014”).
  • Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah kaca dalam Pembangunan Nasional (“Perpres 98/2021”).

Referensi:

  • Apa itu Pajak Karbon dan Bagaimana Penerapannya di Indonesia. Hukum Online. (Diakses pada 24 November 2025 Pukul 10.11 WIB). 
  • Pemerintah Tetapkan Mekanisme Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon. Ortax. (Diakses pada 24 November 2025 Pukul 10.34 WIB).
  • Peraturan Pemerintah Terbit! Prabowo Atur Skema Pajak Karbon dan Insentif Hijau. Kontan. (Diakses pada 24 November 2025 Pukul 11.06 WIB).
  • Pahami Apa itu Pajak Karbon dan Dampaknya pada Bisnis Anda. Kontrak Hukum. (Diakses pada 24 November 2025 Pukul 11.20 WIB).