Perkembangan teknologi digital yang kian pesat telah membawa perubahan besar dalam berbagai sektor, termasuk pada sektor perbankan. Salah satu inovasi yang semakin mendapatkan perhatian adalah penggunaan smart contact, yaitu kontrak digital yang dieksekusi secara otomatis berdasarkan kode pemrograman.
Smart contract dinilai dapat meningkatkan efisiensi, transparansi, dan keamanan transaksi, khususnya dalam sektor keuangan dan perbankan. Smart contact mampu mengurangi risiko kesalahan manusia dalam eksekusi kontrak. Namun, penggunaannya juga menimbulkan tantangan dalam aspek kepatuhan hukum dan perlindungan konsumen.
Pengertian Smart Contract dan Manfaatnya Terhadap Keamanan Transaksi
Smart contract merupakan program komputer yang secara otomatis mengeksekusi ketentuan kontrak ketika kondisi yang telah ditentukan sebelumnya terpenuhi. Teknologi ini biasanya berbasis blockchain, sehingga transaksi yang dilakukan melalui smart contract bersifat transparan dan tidak dapat diubah. Kontrak ini dijalankan di atas jaringan blockchain, yang bersifat desentralistik, transparan, dan tidak dapat diubah secara sepihak.
Keamanan menjadi salah satu nilai utama dalam penggunaan smart contract. Dengan sistem blockchain, setiap transaksi yang dicatat tidak dapat diubah tanpa persetujuan jaringan. Ini mengurangi risiko manipulasi data atau penipuan dalam perjanjian digital. Tujuan utama dari smart contract adalah untuk memenuhi ketentuan kontrak umum, seperti persyaratan pembayaran, kerahasian, dan bahkan penegakan.
Smart contact berbeda dari kontrak konvensional yang ditandatangani para pihak. Smart contract menggunakan kode kriptografi dalam menetapkan hubungan para pihak. Secara sederhana, smart contract ditulis dalam kode dan dijalankan sendiri sebagai pernyataan if-then yang kompleks, yakni dijalankan apabila syarat tertentu yang ditetapkan telah terpenuhi. Kontrak ini bersifat digital dengan bentuk klausula baku yang dapat dieksekusi sendiri, artinya tetap harus memiliki perlindungan hukum, apalagi saat ini banyak digunakan dalam sektor ekonomi dan perbankan.
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) bahwa, “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah”.
Demikian pula dalam Pasal 5 ayat (3) UU ITE yang menyatakan:
“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini”.
Aspek Kepatuhan Hukum Smart Contract
Dalam sistem hukum perdata di Indonesia, keabsahan suatu kontrak diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) yang menetapkan 4 (empat) syarat sah perjanjian, di antaranya:
- Kesepakatan para pihak. Semua pihak yang terlibat harus menyetujui isi kontrak tanpa adanya paksaan atau penipuan.
- Kecakapan hukum. Pihak yang membuat kontrak harus memiliki kapasitas hukum untuk bertindak.
- Suatu hal tertentu. Kontrak harus memiliki objek yang dapat ditentukan secara spesifik. Objek perjanjian dalam smart contract harus jelas, seperti nominal transaksi, syarat pembayaran, atau imbal hasil.
- Sebab yang halal. Kontrak tidak boleh bertentangan dengan hukum atau norma yang berlaku.
Smart contract dalam perbankan harus memenuhi keempat syarat ini agar dapat dianggap sah secara hukum. Meskipun eksekusi kontrak dilakukan secara otomatis oleh sistem, kesepakatan awal antara para pihak tetap menjadi dasar hukum yang sah. Oleh karena itu, sebelum diterapkan, smart contract harus dirancang dengan mempertimbangkan aspek hukum yang berlaku.
Baca juga: Penyitaan Aset Kripto Sebagai Barang Bukti Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang
Perlindungan Konsumen dalam Pembuatan Kontrak
Dalam transaksi elektronik, perlindungan konsumen menjadi aspek penting yang harus diperhatikan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”) memberikan jaminan hukum bagi konsumen dalam transaksi digital, termasuk yang menggunakan smart contract. Dalam UU tersebut, diatur terkait dengan sejumlah hak konsumen yang diatur dalam Pasal 4. Beberapa prinsip utama perlindungan konsumen dalam transaksi elektronik meliputi:
- Hak atas informasi yang jelas. Konsumen berhak mendapatkan informasi yang lengkap mengenai produk atau layanan yang ditawarkan.
- Keamanan data pribadi. Penyedia layanan wajib melindungi data pribadi konsumen dari penyalahgunaan.
- Mekanisme penyelesaian sengketa. Konsumen memiliki hak untuk mengajukan keluhan dan mendapatkan penyelesaian sengketa secara adil.
Smart contract menawarkan berbagai keuntungan bagi sektor perbankan, terutama dalam hal efisiensi dan keamanan transaksi. Namun, penerapannya harus memperhatikan aspek hukum yang berlaku, termasuk kepatuhan terhadap UU yang berlaku. Selain itu, perlindungan konsumen dalam transaksi elektronik harus menjadi prioritas agar hak-hak konsumen tetap terjaga.
Baca juga: Jenis Pelanggaran dan Kewenangan Bursa Kripto
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”).
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”).
Referensi:
- Poernomo, S. L. (2019). Standar Kontrak dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 19(1), 109. https://doi.org/10.30641/dejure.2019.v19.109-120. (Diakses pada 10 April 2025 pukul 10.04 WIB).