Agar dapat tercatat sebagai penduduk di suatu negara, data seseorang harus tercatat secara resmi. Di sinilah peran dari akta kelahiran, yakni sebagai salah satu media pencatatan kelahiran penduduk. Akta kelahiran lebih khusus berfungsi sebagai bukti kelayakan seseorang secara konkret terkait kewarganegaraan, yaitu untuk membuktikan negara tempat dilahirkan, usia, serta identitas orang tua. Kepemilikan akta kelahiran sangat penting sebagai identitas anak sebagai penduduk. Tanpa pencatatan akta kelahiran, anak akan kesulitan mendapatkan hak-haknya, terutama dalam mengakses layanan dasar. Dalam Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) disebutkan bahwa identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya. Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.
Di banyak negara, akta kelahiran dibutuhkan untuk mendapat akses ke layanan dasar, serta untuk memperoleh hak asasi manusia sebagai penduduk suatu negara. Jika tidak adanya akta kelahiran, keberadaan anak akan transparan bagi negara yang akhirnya membuat orang tersebut sulit mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, pekerjaan, atau pun perlindungan hukum.
Di Indonesia, aturan mengenai pencatatan kelahiran diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU 24/2013”). Pada pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) dijelaskan bahwa setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh penduduk kepada Instansi Pelaksana setempat paling lambat 60 hari sejak kelahiran. Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran. Penerbitan Kutipan Akta Kelahiran tanpa dipungut biaya sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan.
Jika pelaporan kelahiran melampaui batas waktu 60 hari sejak kelahiran, maka pencatatan dilaksanakan oleh Pejabat Pencatatan Sipil setelah mendapat keputusan kepala instansi pelaksana setempat. Pencatatan pengesahan anak bagi penduduk WNI di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 50 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (“Perpres 96/2018”), di antaranya:
- Kutipan akta kelahiran;
- Kutipan akta perkawinan yang menerangkan terjadinya peristiwa perkawinan agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa terjadi sebelum kelahiran anak;
- Kartu Keluarga orang tua; dan
- Kartu Tanda Penduduk-elektronik (KTP-el).
Pelaporan kelahiran oleh penduduk dilaksanakan di Instansi Pelaksana tempat penduduk berdomisili. Penulisan tempat lahir di dalam akta kelahiran tetap menunjuk pada tempat terjadinya kelahiran. Jika terdapat kesalahan dan memerlukan perubahan, maka penduduk dapat melakukan perbaikan dengan melampirkan beberapa persyaratan yang tertera dalam Pasal 53 Perpres 96/2018 yakni dengan melampirkan:
- Salinan penetapan pengadilan negeri;
- Kutipan akta pencatatan sipil;
- Kartu Keluarga;
- Kartu Tanpa Penduduk-elektronik (KTP-el).
Baca Juga: Surat Keterangan Berstatus Lajang Jadi Syarat Nikah Beda Kewarganegaraan
Namun, jika seseorang dengan sengaja memalsukan beberapa informasi terkait kelahiran anak seperti tempat kelahiran dan tahun kelahiran, maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan memasukan sebuah keterangan yang tidak benar atau palsu kedalam akta otentik. Perbuatan tersebut apabila menimbulkan kerugian maka dapat diancam dengan ancaman pidana Pasal 266 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
- Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Selain itu, perbuatan pemalsuan terhadap informasi dalam akta kelahiran juga dapat dikenakan ancaman pidana seperti yang tertera dalam Pasal 93 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) bahwa setiap penduduk yang dengan sengaja memalsukan surat dan/atau dokumen kepada Instansi Pelaksana dalam melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50 juta.
Baca Juga: Memahami Tata Cara Mewariskan Harta Menurut KUH Perdata
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”).
- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU 24/2013”).
- Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (“Perpres 96/2018”).
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”).
Referensi:
- Yang Terabaikan karena Tak Tercatat. Kompas.id. (Diakses pada 12 Agustus 2024 pukul 09.55).