Hadirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UUPPLH”) telah menjadikannya sebagai dasar hukum bagi pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Namun, masalah pencemaran lingkungan masih menjadi fenomena yang tidak kunjung tuntas. Terlebih, permasalahan pencemaran lingkungan di kawasan perairan semakin menjadi sorotan. Pencemaran perairan yang disebabkan dari limbah industri, terutama yang bersifat berbahaya dan beracun (B3), tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengancam kesehatan manusia dan keberlangsungan kehidupan.
Dalam Pasal 54 ayat (2) UUPLH, telah menguraikan tahapan pemulihan lingkungan yang telah tercemar salah satu tahapannya adalah dengan melakukan remediasi. Remediasi diartikan sebagai upaya pemulihan pencemaran lingkungan dengan tujuan memperbaiki mutu lingkungan hidup. Proses remediasi dilakukan dengan menggunakan mikroorganisme untuk mengurangi kontaminasi limbah pencemar lingkungan, khususnya di kawasan wilayah perairan.
Apa Itu Bioremediasi?
Bioremediasi dapat diartikan sebagai pemanfaatan organisme hidup, seperti mikroba dan bakteri, dalam proses menghilangkan kontaminan, polutan, dan racun yang mencemari tanah, air, dan aspek lingkungan lainnya. Berbagai jenis mikroorganisme, seperti bakteri Pseudomonas dan Alcaligenes, serta jamur Phanerochaete chrysosporium, diketahui efektif dalam mendegradasi polutan berbahaya seperti hidrokarbon, logam berat (seperti timbal, merkuri, dan kromium), pestisida, pelarut organik, bahkan zat radioaktif.
Dalam Pasal 124 ayat (2) huruf b Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 6 Tahun 2021 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (“Permen LHK 6/2021”), mencantumkan bioremediasi sebagai salah satu cara untuk melakukan pengolahan limbah dan dalam Pasal 140 Permen LHK 6/2021, telah menguraikan tata cara pengelolaan limbah menggunakan metode bioremediasi. Umumnya bioremediasi terbagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
- Biostimulasi
Merupakan metode yang dilakukan dengan menambahkan nutrisi dan oksigen ke lingkungan yang tercemar dengan tujuan untuk merangsang pertumbuhan mikroorganisme yang dapat memecah polutan.
- Bioaugmentasi
Proses penambahan mikroorganisme pada lingkungan yang tercemar, dengan tujuan mempercepat proses degradasi dalam mengendalikan pencemaran. - Bioremediasi Alami
Proses pemulihan lingkungan yang berlangsung secara alami tanpa campur tangan langsung, meskipun tetap memerlukan pemantauan untuk memastikan bahwa kontaminan benar-benar terurai dan tidak membahayakan ekosistem.
Di samping itu, teknologi bioremediasi telah mengalami perkembangan secara signifikan. Berikut perkembangn yang telah terjadi dalam proses bioremediasi sebagai pengurai polutan, meliputi:
- Evolusi Mikroorganisme
Jenis mikroorganisme yang digunakan dalam proses bioremediasi terus berkembang. Awalnya hanya beberapa jenis mikroba yang dimanfaatkan, namun kini ribuan spesies bakteri, jamur, dan alga telah berhasil diidentifikasi dan dikembangkan secara global untuk mendukung proses bioremediasi.
- Peran Teknologi Genetika
Rekayasa genetika telah memberikan kontribusi besar terhadap efektivitas bioremediasi. Di banyak negara, teknik ini digunakan untuk menciptakan mikroorganisme yang lebih efisien dalam mendegradasi zat kimia berbahaya.
- Penerapan Teknik In Situ
Metode in situ memungkinkan pengolahan langsung terhadap tanah atau air yang terkontaminasi tanpa harus memindahkannya dari lokasi. Teknik ini mencakup penyuntikan mikroorganisme ke dalam tanah atau air serta pemompaan udara ke dalam tanah guna mengaktifkan mikroba alami yang sudah ada.
- Penggunaan Teknologi Remote Sensing
Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dimanfaatkan untuk mendeteksi pencemaran di daerah yang sulit dijangkau. Inovasi ini membantu dalam mengidentifikasi lokasi kontaminasi tersembunyi dan mempercepat proses pembersihan melalui bioremediasi.
- Keterlibatan Tanaman dalam Bioremediasi
Tanaman juga berperan dalam proses pembersihan lingkungan melalui metode yang dikenal sebagai fitoremediasi. Jenis tanaman tertentu mampu menyerap logam berat dan senyawa organik dari tanah, air, bahkan udara. - Penggunaan Sumber Daya Terbarukan
Bahan-bahan dari limbah pertanian dan industri, seperti cangkang kerang, kini digunakan sebagai media dalam proses bioremediasi, terutama di area bekas tambang. Pemanfaatan sumber daya terbarukan ini mendukung pendekatan yang lebih berkelanjutan dalam mengatasi pencemaran lingkungan.
Penguraian Limbah dengan Bioremediasi
Masalah pencemaran air yang terjadi akibat aktivitas manusia khususnya di sektor industri, pertanian, dan kawasan perkotaan menjadi kontributor utama pencemaran. Pembuangan limbah dari kegiatan industri dan pertanian ke perairan tanpa pengelolaan yang memadai menyebabkan meningkatnya konsentrasi zat pencemar, seperti logam berat, senyawa organik berbahaya, serta kelebihan nutrisi dalam air, sehingga menyebabkan terjadinya degradasi kualitas air yang berdampak pada lingkungan dan kesehatan manusia.
Untuk mengatasi pencemaran air yang disebabkan oleh sampah plastik dan menyebabkan munculnya limbah yang bersifat toksik karsinogen, pemanfaatan bioremediasi dalam menguraikan limbah toksik dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan bakteri indigenous, sebagai pengurai serat guna mengurai limbah. Menurut Melati Ferianita Fachrul dan Astri Rinanti dalam Prosiding Seminar Nasional Kota Berkelanjutan 2018 yang dikutip dari Kompasiana, menjelaskan bahwa mikroorganisme dalam bioremediasi yang berfungsi sebagai pengurai plastik dapat berpotensi membantu mengurangi pencemaran mikroplastik pada ekosistem perairan.
Tidak hanya berfungsi sebagai pengurai limbah toksik yang disebabkan oleh plastik, bioremediasi juga dapat berperan mengatasi pencemaran limbah, seperti, mengatasi pencemaran yang disebabkan oleh minyak, membersihkan air limbah dari senyawa kimia berbahaya seperti pestisida dan logam berat, serta menguraikan limbah petrokimia seperti bahan bakar diesel dan minyak bakar. Dengan menguraikan menggunakan bakteri, seperti Pseudomonas dan Bacillus dapat membantu mengurai minyak mentah dengan menjadikan senyawa yang lebih sederhana dan tidak berbahaya.
Penggunaan teknik bioremediasi yang memanfaatkan mikroorganisme alami memiliki keunggulan karena tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan mampu menguraikan berbagai jenis limbah, serta dapat diterapkan langsung di lokasi pencemaran tanpa menghambat aktivitas manusia. Meski demikian, metode ini juga memiliki keterbatasan, seperti ketergantungannya pada kondisi lingkungan yang mendukung serta waktu proses yang cenderung lebih lama dibandingkan dengan metode remediasi lainnya.
Baca juga: Pengembangan Bioteknologi dalam Ekonomi Biru
Tantangan Penggunaan Bioremediasi sebagai Pengelola Limbah
Meskipun bioremediasi dikenal sebagai metode yang ramah lingkungan dan efektif untuk menangani kontaminasi, pelaksanaannya tidak terlepas dari berbagai tantangan teknis maupun administratif yang perlu diperhatikan secara cermat. Keberhasilan proses bioremediasi sangat bergantung pada kondisi lingkungan di lokasi yang tercemar. Faktor-faktor seperti jenis dan tekstur tanah, tingkat keasaman (pH), suhu, ketersediaan oksigen, dan keberadaan senyawa penghambat seperti logam berat atau bahan kimia toksik dapat mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan polutan.
Lingkungan yang tidak mendukung dapat memperlambat bahkan menghentikan proses degradasi biologis yang diharapkan. Jika dibandingkan dengan metode remediasi kimia atau fisik, bioremediasi seringkali memerlukan waktu yang lebih lama untuk menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini menjadi pertimbangan penting, terutama pada lokasi yang sangat terkontaminasi atau bersifat kompleks, seperti area bekas industri berat, lahan tambang, atau tumpahan minyak besar. Dalam konteks tersebut, kombinasi antara pendekatan bioremediasi dan teknologi lain mungkin diperlukan untuk mencapai hasil yang optimal. Selain itu, penerapan bioremediasi umumnya memerlukan izin dari otoritas terkait, sehingga proses ini harus melalui tahapan evaluasi dan pemantauan secara menyeluruh.
Dengan demikian, metode bioremediasi telah diatur dalam Permen LHK 6/2021 sebagai bagian dari tata cara pengolahan limbah B3. Meskipun, efektivitas bioremediasi sangat bergantung pada kondisi lingkungan seperti pH, suhu, dan kandungan toksik, serta prosesnya cenderung memakan waktu lebih lama dibanding metode kimia atau fisik, tetapi juga memiliki keunggulan, karena menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan mampu menguraikan berbagai jenis limbah, serta dapat diterapkan langsung di lokasi pencemaran tanpa menghambat aktivitas manusia. Di sisi lain, tantangan administratif seperti perizinan dan pemantauan ketat juga menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan untuk menjamin keberhasilan penerapan bioremediasi secara optimal.***
Baca juga: Jenis dan Aturan Hukum Limbah Medis
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UUPPLH”).
- Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 6 Tahun 2021 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (“Permen LHK 6/2021”).
Referensi:
- Analisis Peraturan dan Kebijakan Terkait Bioremediasi di Indonesia. Indonesia Legal Network. (Diakses pada tanggal 06 Agustus 2025 pukul 13.44 WIB).
- Mengenal Bioremediasi dan Manfaatnya Bagi Lingkungan. Megah Anugrah Energi. (Diakses pada tanggal 08 Agustus 2025 pukul 10.02 WIB).
- Bersih-Bersih Alam Pakai Mikroba: Kenali Teknologi Bioremediasi. Binus University. (Diakses pada tanggal 08 Agustus 2025 pukul 10.33 WIB).
- Pengertian Bioremediasi Adalah. Pertamina. (Diakses pada tanggal 08 Agustus 2025 pukul 10.12 WIB).
- Duckweed (Lemna Minor): Tanaman Kecil dengan Peran Besar dalam Bioremediasi. Bali Ekbis. (Diakses pada tanggal 07 Agustus 2025 pukul 11.23 WIB).
- Bioremediasi untuk Mengatasi Pencemaran Sampah Plastik di Ekosistem Perairan. Kompasiana. (Diakses pada tanggal 08 Agustus 2025 pukul 14.00 WIB).
- Bioremediasi sebagai Sebuah Solusi untuk Lingkungan Terkontaminasi. Kompasiana. (Diakses pada tanggal 08 Agustus 2025 pukul 14.15 WIB).