Mendirikan yayasan merupakan langkah mulia untuk menyelenggarakan kegiatan sosial, keagamaan, kemanusiaan, pendidikan, atau kegiatan non-profitable lain yang menyentuh kepentingan publik. Namun dalam praktiknya, pendirian dan pengelolaan yayasan pun harus tunduk pada regulasi yang ketat agar lembaga tersebut memiliki kepastian hukum dan dapat dipercaya oleh publik dan pemangku kepentingan. Tanpa landasan hukum yang kuat, yayasan berisiko menghadapi konflik internal, peninjauan dari otoritas terkait, atau bahkan gugatan hukum.
Oleh karena itu, memahami aspek legalitas dan prosedur pendirian yayasan menjadi langkah krusial bagi siapa pun yang ingin berkontribusi melalui lembaga nirlaba ini. SIP Law Firm akan menyajikan panduan menyeluruh terkait aspek legalitas yayasan, mulai dari status badan hukum menurut Undang-Undang, persyaratan dan prosedur formal pendirian, hingga kewajiban operasional dan pertanggungjawaban yang harus dipenuhi.
Legalitas dan Status Badan Hukum Yayasan
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU Yayasan”) sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 (“UU 28/2004”), yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.
Agar yayasan mendapatkan status badan hukum, tidak cukup sekadar mendirikan akta, tetapi yayasan harus memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM (sekarang Menteri Hukum). Dengan demikian, pendirian yayasan melalui akta notaris baru efektif sebagai badan hukum apabila pengesahan itu telah diperoleh.
Meskipun yayasan diperuntukkan untuk bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, berdasarkan Pasal 3 ayat (1) UU Yayasan diatur bahwa yayasan juga dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuan dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha. Namun, dalam melaksanakan kegiatan usahanya ini, yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usahanya kepada pembina, pengurus, dan pengawas.
Dengan demikian, yayasan pada intinya dapat mendirikan badan usaha, akan tetapi penting untuk memastikan bahwa setiap kegiatan usaha yang dijalankan oleh badan usaha tersebut tetap sejalan dengan visi dan misi yayasan, serta tidak melanggar norma hukum, kesusilaan, maupun ketertiban umum yang berlaku. Jenis usaha yang dapat dijalankan oleh badan usaha milik yayasan pun cukup beragam, mencakup bidang-bidang seperti hak asasi manusia, seni dan budaya, olahraga, perlindungan konsumen, pendidikan, pelestarian lingkungan, layanan kesehatan, hingga pengembangan ilmu pengetahuan.
Selain itu, penamaan sebuah Yayasan pun tidak bisa sembarangan dan diatur oleh undang-undang, tepatnya dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) UU Yayasan yang memuat ketentuan bahwa nama yayasan tidak boleh menggunakan nama yang telah dipakai secara sah oleh yayasan lain, nama yayasan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan, serta nama yayasan harus didahului dengan kata “Yayasan”.
Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah duplikasi, konflik hukum, dan penyalahgunaan nama yang dapat menyesatkan publik atau merusak reputasi lembaga sosial. Oleh karena itu, sebelum menetapkan nama yayasan, pendiri wajib melakukan pengecekan nama melalui sistem administrasi hukum umum (AHU Online) Kementerian Hukum dan HAM, serta memastikan bahwa nama tersebut mencerminkan nilai-nilai yang sesuai dengan tujuan sosial yayasan.
Lalu, Bagaimana Syarat dan Prosedur Pendirian Yayasan di Indonesia?
Prosedur pendirian yayasan di Indonesia terdiri dari tiga tahap utama: pendirian, pengesahan, dan pengumuman. Dilansir dari HukumOnline, proses ini dimulai dengan pembuatan akta pendirian oleh notaris, yang memuat maksud dan tujuan yayasan, struktur organisasi, serta pemisahan kekayaan pendiri.
- Tahap Pendirian (Akta Notaris)
- Pendirian yayasan dilakukan dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia.
- Dalam akta pendirian diatur anggaran dasar yayasan yang memuat sekurang-kurangnya tujuan yayasan, organ yayasan (pembina, pengurus, pengawas), cara pengangkatan dan pemberhentian, susunan kekayaan awal dan mekanisme pengelolaan, sebagaimana lengkapnya diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UU Yayasan.
- Pendirian dapat dilakukan oleh satu orang atau lebih yang memisahkan sebagian kekayaannya sebagai modal awal yayasan.
- Yayasan juga dapat dibentuk berdasarkan surat wasiat (jika pendirinya menyatakan demikian).
- Tahap Pengesahan oleh Menteri
- Setelah akta pendirian ditandatangani, notaris wajib menyampaikan permohonan pengesahan ke Menteri Hukum dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak penandatanganan akta.
- Permohonan pengesahan dilakukan melalui notaris dan harus diajukan secara tertulis ke Menteri.
- Menteri memiliki batas waktu untuk menolak atau menyetujui permohonan pengesahan, yakni paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan lengkap diterima. Dalam hal perlu meminta pertimbangan instansi terkait, pengesahan atau penolakan dapat dilakukan dalam waktu tambahan maksimal 14 (empat belas) hari setelah jawaban instansi terkait diterima.
- Instansi terkait yang diminta pertimbangan wajib menyampaikan jawaban paling lambat 14 (empat belas) hari sejak penerimaan diterima.
- Tahap Pengumuman/Publikasi
- Setelah akta pendirian disahkan, yayasan diwajibkan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara) paling lambat 14 (empat belas) hari setelah pengesahan.
- Selain itu, ketentuan lebih lanjut mengenai biaya pendaftaran dan pengumuman diatur dalam Peraturan Pemerintah serta Undang-Undang terkait.
Baca juga: Tata Cara dan Prosedur Pendirian Koperasi
Kewajiban yang Perlu Dipahami dalam Pendirian dan Operasional Yayasan
Setelah yayasan berdiri (dan memperoleh badan hukum), terdapat sejumlah kewajiban dan pembatasan yang harus ditaati agar yayasan tetap taat hukum dan menjalankan fungsinya secara akuntabel.
- Pemisahan Kekayaan
Salah satu prinsip utama dalam pendirian yayasan adalah pemisahan kekayaan. Pasal 5 ayat (1) UU 28/2004 menyatakan bahwa:
“Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-Undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas.”
Namun, terdapat satu pengecualian: dalam anggaran dasar yayasan dapat diatur bahwa pengurus dapat menerima gaji, upah, atau honorarium asalkan pengurus tersebut memenuhi kriteria tertentu (bukan pendiri, tidak terafiliasi dengan pendiri/pembina, dan menjalankan tugas penuh). Penetapan gaji ditetapkan oleh Pembina berdasarkan kemampuan kekayaan yayasan.
Ketentuan ini bertujuan agar yayasan tidak menjadi sarana untuk memperkaya diri anggota organ yayasan, dan tetap menjaga integritas lembaga.
- Larangan Pembagian Keuntungan
Secara normatif, yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU Yayasan.
Oleh sebab itu, meskipun yayasan diperbolehkan memiliki atau ikut serta dalam usaha pendukung, keuntungan dari usaha tersebut harus dialokasikan kembali untuk mendukung tujuan yayasan, bukan dibagikan kepada pengurus atau pembina.
Undang-undang mewajibkan bahwa kegiatan usaha tersebut harus sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelanggaran yayasan, berupa mengalihkan atau membagikan keuntungan atau sebagainya kepada anggota organ yayasan dapat menimbulkan permasalahan pidana, sebagaimana hal ini telah diatur dalam Pasal 70 ayat (1) UU Yayasan yang menyatakan bahwa:
“Setiap anggita organ yayasan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.”memberikan pidana penjara paling lama 5 tahun.”
Tidak hanya pidana penjara, anggota organ yayasan pun berpotensi diberikan pidana tambahan dalam bentuk wajib mengembalikan uang, barang, atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan, sebagaimana pernah muncul dalam sorotan publik terhadap organisasi yang diduga menyalahgunakan dana.
- Pelaporan dan Transparansi
Yayasan wajib menyusun laporan tahunan yang mencakup kegiatan dan keuangan, serta menyampaikannya kepada pembina. Selain itu, yayasan yang menerima dana dari masyarakat atau pihak ketiga wajib menyampaikan laporan kepada publik sebagai bentuk akuntabilitas. Transparansi ini menjadi indikator utama dalam menjaga kepercayaan publik dan keberlanjutan yayasan.
Meskipun prosedur pendirian yayasan telah diatur secara jelas, banyak calon pendiri menghadapi tantangan administratif dan teknis, seperti pemahaman dokumen hukum, pengurusan izin, dan pelaporan keuangan. Oleh karena itu, penting untuk melibatkan ahli hukum yang berpengalaman dan memahami regulasi yayasan secara mendalam.
Mendirikan yayasan bukan hanya soal niat baik, tetapi juga soal komitmen terhadap hukum dan tata kelola yang baik. Dengan memahami legalitas, prosedur, dan kewajiban operasional yayasan, calon pendiri dapat membangun lembaga yang tidak hanya berdampak sosial, tetapi juga memiliki kredibilitas hukum yang kuat.***
Baca juga: Ingin Mendirikan Yayasan? Ini Syaratnya
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU Yayasan”).
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU 28/2004”).
Referensi:
- Prosedur Pendirian Yayasan di Indonesia. HukumOnline. (Diakses pada 10 Oktober 2025 pukul 09.37 WIB).
- Melihat Pertanggungjawaban Hukum Yayasan Pengumpul Dana Publik. HukumOnline. (Diakses pada 10 Oktober 2025 pukul 10.56 WIB).