Dalam satu dekade terakhir, dunia bioteknologi mengalami percepatan transformasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Perkembangan bioteknologi modern ini pun mendorong transformasi besar dalam industri kesehatan, khususnya pada proses penemuan obat (drug discovery). Dengan hadirnya kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), proses tersebut mengalami percepatan dan pertumbuhan pesat. Transformasi ini membuat proses penelitian menjadi lebih efisien, akurat, dan menjanjikan keberhasilan yang lebih tinggi bagi industri farmasi.
Penerapan AI dalam bioteknologi tidak hanya mengubah cara peneliti bekerja, tetapi juga menggeser paradigma inovasi kesehatan secara global. Sistem berbasis machine learning mampu mengekstrak pola dari data biologis, genomik, dan kimia yang sebelumnya sulit dipetakan secara manual. Indonesia pun tidak tertinggal dalam tren ini. Sejumlah institusi riset dan perusahaan farmasi nasional mulai mengadopsi teknologi AI dalam pipeline penelitian mereka. Salah satunya adalah Kalbe Farma, yang telah memanfaatkan AI untuk mempercepat penemuan obat dan mengelola rantai pasok bahan baku secara prediktif. Namun, di balik potensi besar ini, muncul pula tantangan etika, perlindungan data, dan regulasi yang harus diantisipasi.
Transformasi Penemuan Obat oleh Kecerdasan Buatan
Penemuan obat adalah proses panjang dan kompleks yang melibatkan berbagai tahapan, mulai dari identifikasi target biologis, penyaringan senyawa aktif, uji toksisitas, hingga uji klinis dan produksi massal. Secara konvensional, proses ini dapat memakan waktu lebih dari satu dekade dan menelan biaya hingga miliaran dolar AS. Tingkat kegagalannya pun tinggi, terutama pada fase uji klinis, di mana banyak kandidat obat tidak lolos karena efektivitas yang rendah atau efek samping yang tidak terduga. Namun, kehadiran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah mengubah bidang ini secara drastis.
AI bekerja secara maksimal ketika didukung oleh big data. Dalam bioteknologi, data ini meliputi sekuens genom, ekspresi protein, struktur kimia, hingga rekam medis elektronik. Ketika data tersebut diproses melalui AI, peneliti dapat menemukan pola biologis yang tidak terlihat oleh manusia. Inilah yang dikenal sebagai computational drug discovery.
Sebagai contoh, penggunaan data genomik dalam AI memungkinkan deteksi target terapi baru pada penyakit kanker. Sistem machine learning dapat membaca mutasi genetik yang meningkatkan risiko kanker, kemudian memprediksi molekul mana yang berpotensi menghambat pertumbuhan sel tersebut. Hasil prediksi ini kemudian disaring kembali melalui in vitro dan in vivo testing, sehingga efektivitasnya dapat divalidasi dengan cepat.
AI secara signifikan menurunkan biaya riset dan development (R&D). Berdasarkan laporan dari McKinsey dan WHO, penggunaan AI dapat menghemat hingga 40% biaya penelitian obat. Hal ini disebabkan proses screening dan validasi awal tidak lagi mengandalkan eksperimen laboratorium sepenuhnya, melainkan dilakukan secara virtual. Percepatan proses penelitian ini sangat penting bagi negara berkembang, termasuk Indonesia, dalam memperkuat ekosistem inovasi obat nasional.
Namun, untuk mewujudkan potensi penuh AI dalam penemuan obat, diperlukan ekosistem riset yang mendukung. Ini mencakup ketersediaan data berkualitas tinggi, infrastruktur komputasi yang memadai, serta kolaborasi lintas disiplin antara ilmuwan data, farmasis, dan klinisi. Tanpa sinergi ini, pemanfaatan AI berisiko menjadi sekadar eksperimen teknologi tanpa dampak nyata bagi kesehatan masyarakat. Selain itu, penting pula untuk memastikan bahwa algoritma yang digunakan bersifat transparan, dapat diaudit, dan bebas dari bias yang dapat merugikan kelompok tertentu.
Transformasi yang dibawa oleh AI dalam penemuan obat bukan hanya soal kecepatan dan efisiensi, tetapi juga tentang kualitas dan ketepatan terapi yang dihasilkan. Melalui fondasi teknologi dan regulasi yang semakin matang, kini saatnya kita menelaah lebih dalam manfaat konkret dari obat-obatan yang dikembangkan dengan bantuan AI. Bagaimana AI tidak hanya mempercepat proses penemuan, tetapi juga meningkatkan efektivitas, keamanan, dan aksesibilitas terapi bagi masyarakat luas?
Menelisik Manfaat dan Tantangan Obat Berbasis AI di Masa Depan
Obat yang dikembangkan dengan bantuan AI menawarkan berbagai keunggulan dibandingkan obat konvensional. Pertama, AI memungkinkan personalisasi terapi berdasarkan profil genetik pasien, sehingga meningkatkan efektivitas pengobatan dan mengurangi efek samping. Kedua, AI mempercepat waktu ke pasaran (time-to-market) karena proses penemuan dan validasi senyawa menjadi lebih cepat dan akurat.
Dalam laman rekam medis tercatat bahwa AI telah membantu mengidentifikasi kandidat obat untuk penyakit langka dan kompleks, seperti kanker dan penyakit neurodegeneratif yang sebelumnya sulit ditangani dengan pendekatan konvensional. Selain itu, AI juga mendukung pengembangan terapi berbasis RNA dan imunoterapi, yang kini menjadi frontier dalam pengobatan modern.
Manfaat lainnya adalah efisiensi biaya. Dengan mengurangi kebutuhan uji coba laboratorium yang mahal dan mempercepat fase pra-klinis, AI membantu menurunkan total biaya pengembangan obat. Hal ini membuka peluang bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk lebih kompetitif dalam industri farmasi global.
Meskipun AI telah menunjukkan potensi besar, implementasinya masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah keterbatasan data berkualitas tinggi yang dapat digunakan untuk melatih model AI. Di Indonesia, infrastruktur data kesehatan masih tersebar dan belum sepenuhnya terintegrasi, sehingga menyulitkan proses agregasi dan analisis data secara nasional.
Selain itu, masih terdapat kesenjangan kompetensi antara peneliti biomedis dan ahli AI. Kolaborasi multidisipliner antara farmasis, bioinformatikawan, dan data scientist menjadi kunci untuk mengoptimalkan pemanfaatan AI dalam penemuan obat. Pemerintah dan institusi pendidikan tinggi perlu mendorong program pelatihan dan riset kolaboratif di bidang ini.
Ke depan, AI diprediksi akan semakin terintegrasi dalam seluruh siklus hidup pengembangan obat, mulai dari penemuan molekul, uji klinis virtual, hingga pemantauan efek samping pasca pemasaran (pharmacovigilance). Dengan dukungan regulasi yang adaptif dan ekosistem riset yang kolaboratif, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemain utama dalam industri bioteknologi berbasis AI di Asia Tenggara.
Baca juga: Peran Chatbot dalam Optimalisasi Pelayanan Kesehatan
Regulasi Etika dan Perlindungan Data dalam Riset AI Bioteknologi
Meskipun AI menawarkan banyak manfaat, penggunaannya dalam riset bioteknologi menimbulkan tantangan etis dan hukum, terutama terkait privasi data dan akuntabilitas algoritma. Di Indonesia, regulasi terkait hal ini diatur dalam dua payung hukum utama:
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”)
Undang-Undang Kesehatan 17/2023 menjadi landasan legal bagi pemanfaatan teknologi digital dalam bidang kesehatan, termasuk AI bioteknologi. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 334 ayat (1) yang berbunyi:
“Teknologi Kesehatan diselenggarakan, dihasilkan, diedarkan, dikembangkan, dan dievaluasi melalui penelitian, pengembangan, dan pengkajian untuk peningkatan Sumber Daya Kesehatan dan Upaya Kesehatan.”
Frasa “teknologi kesehatan” dalam pasal tersebut mencakup perangkat keras dan perangkat lunak, termasuk sistem berbasis AI yang digunakan untuk diagnosis, pengobatan, manajemen data pasien, dan penemuan obat. Dengan demikian, AI bioteknologi secara eksplisit berada dalam ruang lingkup regulasi ini dan wajib mengikuti prinsip-prinsip penelitian yang bertanggung jawab, berbasis bukti, dan berorientasi pada keselamatan pasien.
Dalam hal ini, pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab mendorong dan memfasilitasi keberlanjutan inovasi teknologi kesehatan, serta memastikan keamanan, kemanfaatan, khasiat, dan mutu produk inovasi teknologi kesehatan dalam rangka melindungi masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 337 ayat (1). Lebih lanjut, dalam Pasal 338 ayat (1) dan (2) diatur lebih mendalam sebagai berikut:
- Dalam rangka mendukung Pelayanan Kesehatan, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mendorong Teknologi Kesehatan, termasuk teknologi biomedis.
- Pemanfaatan teknologi biomedis mencakup teknologi genomik, transkriptomik, proteomik, dan metabolomik terkait organisme, jaringan, sel, biomolekul, dan teknologi biomedis lain.
UU Kesehatan juga menekankan pentingnya evaluasi dan sertifikasi teknologi sebelum digunakan dalam pelayanan kesehatan. Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah penggunaan teknologi yang belum terbukti aman atau efektif, termasuk algoritma AI yang belum teruji secara klinis.
- Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (“UU PDP”)
Selain aspek teknis, perlindungan data pribadi juga menjadi isu krusial dalam riset AI bioteknologi. AI membutuhkan data dalam jumlah besar untuk melatih model pembelajaran mesin dan meningkatkan akurasi prediksi. Namun, data kesehatan termasuk dalam kategori data sensitif yang dilindungi secara ketat dalam UU ini, khususnya dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, bahwa:
“Data pribadi yang bersifat spesifik meliputi data dan informasi kesehatan, data biometrik, data genetika, dan data lainnya yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.”
Artinya, setiap pemrosesan data kesehatan untuk keperluan riset AI harus mendapatkan persetujuan eksplisit dari subjek data. Selain itu, pengendali data wajib menerapkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keamanan informasi dalam seluruh siklus pemrosesan. Dalam AI, ini berarti algoritma yang digunakan harus dapat diaudit, tidak diskriminatif, dan memiliki mekanisme pengawasan yang jelas.
Kombinasi antara UU Kesehatan dan UU PDP memberikan kerangka hukum yang komprehensif untuk memastikan bahwa inovasi AI dalam bioteknologi berjalan secara etis, aman, dan bertanggung jawab. Regulasi ini juga mendorong pelaku industri dan peneliti untuk mengembangkan teknologi yang tidak hanya canggih, tetapi juga menghormati hak asasi manusia dan prinsip bioetika.
Dengan landasan hukum yang semakin kuat, manfaat dari obat-obatan berbasis AI dapat lebih optimal dirasakan oleh masyarakat. Teknologi ini tidak hanya mempercepat proses penemuan obat, tetapi juga meningkatkan efektivitas terapi dan memperluas akses terhadap pengobatan yang lebih personal dan presisi. Selanjutnya, mari kita telaah lebih dalam bagaimana AI berkontribusi terhadap kualitas dan manfaat obat yang dihasilkan.***
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”).
- Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (“UU PDP”)
Referensi:
- Kalbe Farma Gunakan AI untuk Membuat Obat. techverse.asia. (Diakses pada 21 November 2025 pukul 08.54 WIB).
- Informasi Kefarmasian: Alur Penemuan Obat Baru. Prodi Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. (Diakses pada 21 November 2025 pukul 09.02 WIB).
- Mengoptimalkan AI untuk Efisiensi dan Keputusan Bisnis. Geotimes. (Diakses pada 21 November 2025 pukul 09.14 WIB).
- Obat Berbasis AI: Bagaimana Kecerdasan Buatan Mempercepat Penemuan Obat Baru. Rekam Medis. (Diakses pada 21 November 2025 pukul 10.01 WIB).
