Sejak diundangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“UU TPKS”), kerangka 4P (pencegahan, penanganan, pelindungan, dan pemulihan) menjadi hal pokok yang harus diterapkan. Selain UU TPKS, telah diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2025 tentang Pencegahan Tindak PIdana Kekerasan Seksual serta Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“PP 30/2025”).
Hingga 3 Juli 2025, berdasarkan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), Menteri PPPA telah mengungkapkan bahwa terdapat 14.039 kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak. Jumlah tersebut merupakan peningkatan lebih dari 2.000 kasus dalam 17 hari.
Pencegahan Kekerasan Seksual
Pada Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2025 tentang Pencegahan Tindak PIdana Kekerasan Seksual serta Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“PP 30/2025”) telah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Tindak PIdana Kekerasan Seksual dan perbuatan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang sepanjang ditentukan dalam Undang-Undang mengenai Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Penyelenggaraan pencegahan tindak pidana kekerasan secara cepat, terpadu, dan terintegrasi menjadi kewajiban bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 PP 30/2025. Kemudian, syarat yang perlu dipenuhi terhadap penyelenggaraan pencegahan tindak pidana kekerasan seksual adalah mengenai aksesibilitas bagi anak, penyandang disabilitas, dan lanjut usia.
Pada kerangka kebijakan publik, setidaknya terdapat 4 langkah efektif dalam melaksanakan pencegahan terjadinya TPKS, diantaranya:
- Pencegahan primer, melalui edukasi, kampanye perubahan perilaku, dan pembenahan tata kelola institusi
- Pencegahan sekunder, dengan menyasar kelompok atau area berisiko, seperti kampus, asrama
- Pencegahan tersier, melalui pendampingan berkelanjutan bagi korban dan intervensi terhadap pelaku atau terduga pelaku
- Pencegahan berbasis tata kelola, dengan memastikan struktur, SOP, dan anggaran pencegahan
Tahap Penyelenggaraan Pencegahan TPKS berdasarkan Situasi Khusus
Penyelenggaraan Pencegahan TPKS menurut PP 30/2025 terbagi atas 3 jenis, yaitu penyelenggaraan pencegahan tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan berdasarkan bidang, dalam situasi khusus, serta berdasarkan tempat.
Situasi khusus pada penyelenggaraan pencegahan TPKS terdiri atas situasi konflik, bencana, letak geografis wilayah, dan situasi khusus lainnya. Adapun pelaksanaannya terdiri atas beberapa tahapan, diantaranya:
- Pengintegrasian materi pencegahan TPKS dalam kebijakan dan program penanganan konflik, penanggulangan bencana, penguatan pencegahan tindak pidana kekerasan seksual berbasis desa, serta kebijakan dan program dalam situasi khusus lainnya;
- Pemetaan, pendataan, dan pengkajian kondisi dan wilayah terhadap kerentanan terjadinya TPKS;
- Pelaksanaan penanganan pada situasi konflik, penanganan pada saat bencana, penguatan pencegahan TPKS berbasis desa, serta penanganan pada situasi khusus lainnya berdasarkan pemetaan pendataan, dan pengkajian sebagaimana dimaksud dalam huruf b;
- Pengupayaan pemenuhan kebutuhan dasar termasuk kebutuhan spesifik perempuan, kebutuhan khusus anak, penyandang disabilitas, dan lanjut usia untuk mencegah TPKS secara cepat, tepat, dan mudah diakses.
Tahapan di atas menunjukkan bahwa pencegahan TPKS pada situasi khusus tidak terlepas dari konteks sosial masyarakat yang beragam. Adanya pengintegrasian materi pencegahan pada penanganan konflik, penanggulangan bencana, hingga program berbasis desa menjadi bukti bahwa negara memastikan perlindungan dan menjamin pemenuhan hak-hak dasar yang setara bagi seluruh masyarakat terhadap risiko kekerasan seksual bagi setiap lapisan masyarakat, khususnya melalui pendekatan berbasis berkebutuhan kelompok rentan, seperti perempuan, anak, penyandang disabilitas, serta lainsia.
Selain itu, pemetaan, pendataan, dan pengkajian terhadap wilayah rawan TPKS menjadi suatu kunci yang penting dalam mengantisipasi terjadinya TPKS. Melalui basis data yagn akurat, intervensi kebijakan dapat dilakukan dengan tepat sasaran. Dengan demikian, pencegahan tidak hanya sebatas wacana, tetapi sebagai implementasi secara nyata di lapangan. Selanjutnya, sistem pelapotan dan mekanisme penanganan yang responsif juga menjadi elemen penting terhadap perlindungan bagi korban, serta pencegahan TPKS secara berulang.
Baca juga: Kenali Hak Perempuan dalam KUHPerdata
Implementasi dalam Menerapkan Budaya Anti Kekerasan Seksual di Indonesia
Penerapan budaya anti kekerasan di Indonesia dapat dilaksanakan melalui whole of government dan whole of society. Whole of government berarti bahwa kolaborasi antara seluruh jajaran pemerintahan dari seluruh sektor, sementara itu whole of society adalah seluruh bagian masyarakat, baik pemerintahan, termasuk individu, komunitas, serta berbagai sektor (pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil) yang terlibat secara aktif untuk mengatasi suatu permasalahan tertentu.
Untuk melaksanakan implementasi terhadap TPKS, tentu perlu mengetahui beberapa faktor-faktor yang berpengaruh, diantaranya:
- Komunikasi
Komunikasi menjadi penghubung yang krusial bagi kedua belah pihak. Adanya komunikasi yang lancar antara komunikator dan komunikan dengan memahami maksud dan tujuan terhadap pemberian informasi, khususnya mengenai kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Efektivitas terhadap kebijakan tersebut dapat terlaksana jika masyarakat sekitar memahami maksud dan tujuan dari kebijakan yang telah ditetapkan.
- Sumber daya manusia (SDM)
Salah satu syarat keberhasilan terhadap penerapan kebijakan adalah ketersediaan sumber daya manusia yang memumpuni untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam rangka mengimplementasikan kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah. SDM tidak hanya dilihat berdasarkan jumlah pelaksana yang tersedia, tetapi dari segi kualitas, kapasitas, serta kompetensi yang dimiliki. Maka dari itu, tanpa SDM yang berkualitas, kebijakan yang sudah dirancang sebaik apapun hanya akan menjadi dokumen normatif yang sulit diwujudkan secara nyata.
- Disposisi
Karakter dan watak implementor, seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis dapat disebut sebagai disposisi. Disposisi berpengaruh secara langsung terhadap bagaimana suatu kebijakan dijalankan. Hal ini dikarenakan adanya sikap positif dan dedikasi pelaksana akan menentukan konsistensi penerapan kebijakan sesuai tujuan awal.Maka dari itu, disposisi menjadi variabel penting yang menengahi efektivitas faktor-faktor lain dalam proses implementasi kebijakan publik.
- Struktur birokrasi
Struktur birokrasi terdiri atas aspek organisasi yang berkaitan dengan prosedur, fragmentasi, dan sistem yang digunakan dalam organisasi. Pada dasarnya, struktur ini yang menjadi kerangka kerja untuk mengatur bagaimana suatu kebijakan diterjemahkan ke dalam tindakan nyata. Melalui prosedur yang jelas dan standar operasional prosedur (SOP) yang rinci, maka akan memudahkan pelaksana dalam menjalankan tugas sesuai aturan, serta mengurangi kemungkinan terjadinya penyimpangan.
Jika dilihat berdasarkan ketentuan pada PP 30/2025, maka implementasi terkait TPKS dapat dilaksanakan melalui:
- Penetapan standar anti kekerasan seksual
Pihak pemerintah, sekolah/kampus, BUMN/BUMD, serta sektor swasta perlu mewajibkan kebijakan anti kekerasan seksual dengan mencakup beberapa komponen, setidaknya terkait: TPKS, larangan, mekanisme pelaporan multi kanal, SOP investigasi dan kewajiban remediasi.
- Pelayanan terpadu yang mudah diakses
Ketersediaan informasi layanan di fasilitas publik, transportasi, serta ruang digital harus disesuaikan dengan standar yang telah ditetapkan. Hal ini berguna untuk memastikan bahwa setiap orang memahami pencegahan TPKS yang efektif dan efisien.
- Pendidikan publik dan perubahan norma
Budaya anti-kekerasan hanya terbentuk jika ada intervensi perilaku yang konsisten, seperti: kurikulum berbasis persetujuan (consent), kesetaraan gender, pencegahan kekerasan berbasis siber, serta pelatihan wajib bagi pendidik, aparatur, dan pekerja. Selain itu, perlu dilakukan kampanye publik dan dilengkapi kanal pelaporan yang nyata serta contoh penindakan yang transparan untuk membangun kepercayaan.
PP 30/2025 menjadi tonggak implementasi UU TPKS yang menata ulang pendekatan pencegahan dari sekadar program sektoral menjadi komitmen kelembagaan antar lintas sektor dengan standar yang jelas. Dengan mendayagunakan kewajiban pencegahan yang cepat, terpadu, dan terintegrasi, serta memasukkan pencegahan ke dokumen perencanaan dan penganggaran, kebijakan ini memperbesar peluang lahirnya budaya anti-kekerasan seksual dalam arti yang substantif. Dengan adanya penguatan tata kelola, pengawasan, dan partisipasi masyarakat, maka percepatan transformasi menuju lingkungan yang aman dan bermartabat bagi semua dapat diwujudkan di Negara Indonesia.***
Baca juga: Perlindungan Hukum Pada Tenaga Kerja Perempuan Yang Menjadi Korban Pelecehan Seksual
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“UU TPKS”)
- Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2025 tentang Pencegahan Tindak PIdana Kekerasan Seksual serta Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“PP 30/2025”).
Referensi:
- Menteri PPPA: Banyak Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Tidak Berani Melapor. Kementerian PPPA. (Diakses pada 20 Agustus 2025 pukul 09.45 WIB).
- Muaja, F.M.T., Pangemanan, S.E., Kimbal, A. 2022. Implementasi Kebijakan tentang Penanganan Tindak Kekerasan Seksual terhadap Anak (Suatu Penelitian di UPTD – PPA Provinsi Sulawesi Utara, Vol. 2, No. 2, Hal. (Diakses pada 20 Agustus 2025 Pukul 13.02 WIB).