Untuk mewujudkan terealisasinya hak-hak perempuan, Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW) lahir dan menjadi instrumen acuan dalam melihat jenis-jenis hak asasi manusia yang khusus bagi perempuan. CEDAW merupakan satu-satunya perjanjian hak asasi manusia internasional yang didedikasikan secara eksklusif untuk hak-hak perempuan. Indonesia telah meratifikasi konvensi CEDAW melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) (“UU 7/1984”).
Di Indonesia, terdapat sejumlah aturan yang mengatur terkait dengan hak-hak perempuan, salah satunya melalui Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) (“KUHPerdata”) yang di dalamnya termaktub aturan mengenai hak perempuan sebagai subjek hukum dalam perkawinan, hak perempuan dalam kepemilikan harta, hingga hak perempuan sebagai ahli waris. KUHPerdata sebagai landasan hukum perdata di Indonesia telah memberikan beberapa ketentuan yang mengatur hak-hak perempuan, hal ini penting dipahami agar perempuan dapat memperoleh perlindungan hukum yang setara dengan laki-laki.
Hak Perempuan Sebagai Subjek Hukum dalam Perkawinan
Salah satu hak penting bagi perempuan yang diatur dalam KUHPerdata adalah hak untuk membuat keputusan hukum dalam sebuah perkawinan. Sebelum menjadi seorang istri, seorang perempuan dapat membuat sebuah perjanjian perkawinan dengan calon suaminya. Disebutkan dalam Pasal 141 KUHPerdata bahwa para calon suami isteri, dengan mengadakan perjanjian perkawinan, tidak boleh melepaskan hak yang diberikan oleh undang-undang kepada mereka atas warisan keturunan mereka, pun tidak boleh mengatur warisan itu.
Seorang perempuan yang telah menjadi istri memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari laki-laki yang menjadi suaminya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 107 KUHPerdata, bahwa setiap suami wajib menerima isterinya di rumah yang ditempatinya. Dia wajib melindungi isterinya dan memberinya apa saja yang perlu, sesuai dengan kedudukan dan kemampuannya.
Selain itu, seorang perempuan yang telah menjadi istri juga berhak untuk membuat wasiat tanpa harus mengantongi izin laki-laki yang menjadi suaminya. Disebutkan dalam Pasal 118 KUHPerdata yakni, seorang isteri dapat membuat wasiat tanpa izin suami. Dalam KUHPerdata, baik perempuan maupun laki-laki memiliki kedudukan yang setara sebagai subjek hukum dalam perkawinan.
Baca juga: Regulasi Terkait Pemberian Tunjangan Keluarga
Hak Perempuan dalam Kepemilikan Harta
Sementara itu, dalam KUHPerdata juga mengatur bahwa perempuan yang akan atau telah menikah tetap memiliki hak untuk mengelola harta bendanya sendiri dan juga harta bersama dalam perkawinan. Seorang perempuan pun dapat membuat suatu perjanjian pemisahan harta guna memberikan kepastian hukum terkait hak dan kewajiban masing-masing individu dalam pembagian harta selama perkawinan maupun setelah terjadinya perceraian. Diatur dalam Pasal 140 KUHPerdata mengenai Perjanjian Kawin pada Umumnya yang dijelaskan bahwa:
“Perjanjian ini tidak boleh mengurangi hak-hak yang bersumber pada kekuasaan si suami sebagai suami, dan pada kekuasaan sebagai bapak, tidak pula hak-hak yang oleh Undang-Undang diberikan kepada yang masih hidup paling lama. Demikian pula perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang diperuntukkan bagi si suami sebagai kepala persatuan suami isteri; namun hal ini tidak mengurangi wewenang isteri untuk mensyaratkan bagi dirinya pengurusan harta kekayaan pribadi, baik barang-barang bergerak maupun barang-barang tak bergerak di samping penikmatan penghasilannya pribadi secara bebas. Mereka juga berhak untuk membuat perjanjian, bahwa meskipun ada golongan harta bersama, barang-barang tetap, surat-surat pendaftarannya dalam buku besar pinjaman-pinjaman negara, surat-surat berharga lainnya dan piutang-piutang yang diperoleh atas nama isteri, atau yang selama perkawinan dan pihak isteri jatuh ke dalam harta bersama, tidak boleh dipindahtangankan atau dibebani oleh suaminya tanpa persetujuan si isteri.”
Kedudukan perempuan dalam pengelolaan harta selama perkawinan, baik harta bawaan pribadi maupun harta bersama tidak memiliki perbedaan dengan laki-laki. Pasal tersebut memberikan hak bagi perempuan untuk berperan dalam pengambilan keputusan terkait dengan harta bersama. Hal ini menjadi penting dalam upaya mewujudkan kesetaraan antara suami dan istri dalam mengelola keuangan keluarga.
Sementara itu, dalam membuat perjanjian, antara suami dan istri tidak boleh membuat perjanjian bahwa salah satu pihak mempunyai kewajiban lebih besar dalam utang-utang daripada bagiannya dalam keuntungan-keuntungan harta bersama, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 142 KUHPerdata. Kemudian dalam Pasal 130 KUHPerdata diatur bahwa setelah pembubaran harta bersama, suami boleh ditagih atas utang dan harta bersama seluruhnya, tanpa mengurangi haknya untuk minta penggantian setengah dan utang itu kepada isterinya atau kepada ahli waris si isteri.
Baca juga: Hukum tentang Perjanjian Keuangan Keluarga
Hak Perempuan Sebagai Ahli Waris
Dalam hukum waris di Indonesia yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perempuan memiliki hak yang setara dengan laki-laki sebagai ahli waris. Perempuan sebagai ahli waris berhak untuk mendapatkan harta yang sesuai tanpa adanya diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Hal tersebut sebagaimana telah diatur dalam Pasal 852 KUHPerdata, yakni:
“Anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dan berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan orangtua mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga-keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu. Mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi kepala, bila dengan yang meninggal mereka semua bertalian keluarga dalam derajat pertama dan masing-masing berhak karena dirinya; mereka mewarisi pancang demi pancang, bila mereka semua atas sebagian mewarisi sebagai pengganti.”
Hal ini mencerminkan adanya kesetaraan gender dalam aspek warisan, di mana perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk menerima bagian dari warisan orang tua mereka tanpa adanya perbedaan karena jenis kelamin. Ketentuan ini penting dalam melindungi hak perempuan, sebab sebelumnya, dalam beberapa tradisi atau budaya tertentu, perempuan kerap kali tidak diakui sebagai ahli waris yang setara dengan laki-laki.
Dalam hukum positif di Indonesia, KUHPerdata menjadi pedoman dan acuan bahwa perempuan harus terpenuhi hak-haknya sebagai warga negara dan sebagai subjek hukum, serta harus mendapat pengakuan yang jelas di berbagai lini kehidupan, baik sosial, keluarga, maupun di mata hukum.
Baca juga: Peran Pengacara dalam Mediasi Konflik Rumah Tangga
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) (“UU 7/1984”).
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) (“KUHPerdata”).