Mekanisme perlindungan saksi dan korban dalam kasus pidana adalah langkah penting dalam upaya penegakan hukum yang adil dan berkepastian hukum. Perlindungan ini tidak hanya memberikan rasa aman bagi saksi dan korban, tetapi juga mendorong partisipasi aktif mereka dalam proses peradilan pidana.
Pemberian perlindungan kepada saksi dan korban dalam kasus pidana merupakan salah satu wujud perlindungan hukum yang diberikan oleh negara untuk memastikan bahwa saksi dan korban memperoleh keadilan dan keamanan. Jaminan perlindungan terhadap saksi dan korban memiliki peranan penting dalam proses peradilan pidana, sebab dengan perlindungan yang diberikan, saksi dan korban dapat bebas dari rasa takut terhadap ancaman dalam mengungkapkan suatu tindak pidana.
Dalam memberikan kesaksian, saksi dan korban memiliki sejumlah hak yang harus dipenuhi untuk memastikan perlindungan dan keadilan mereka dapat terpenuhi. Hak saksi dan korban diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU 31/2014”) yang di antaranya:
- Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
- Ikut serta dalam proses memilih, dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
- Memberikan keterangan tanpa tekanan;
- Mendapat penerjemah;
- Bebas dari pernyataan yang menjerat;
- Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
- Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
- Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
- Merahasiakan identitasnya;
- Mendapat identitas baru;
- Mendapat tempat kediaman sementara;
- Mendapat tempat kediaman baru;
- Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
- Mendapat nasihat hukum;
- Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir; dan/atau
- Mendapat pendampingan.
Terkait dengan pemenuhan hak para saksi dan korban, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) melalui Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pemberian Perlindungan Kepada Saksi dan/atau Korban (“Peraturan LPSK 1/2022”) mengatur terkait dengan mekanisme dan tata cara pemberian perlindungan. Dalam Pasal 2 Peraturan LPSK 1/2022 menyebut bahwa LPSK melaksanakan pemberian perlindungan kepada terlindung (yang terdiri atas saksi, korban, pelapor, saksi pelaku dan/atau ahli) dalam program perlindungan yang meliputi:
- Pemenuhan hak; dan/atau
- Pemberian bantuan.
Selain saksi dan korban, ada pihak lain yang juga memiliki kontribusi besar untuk mengungkap tindak pidana tertentu, yakni saksi pelaku atau justice collaborator. Saksi pelaku yang bekerja sama adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan. Terkait dengan hak dan perlindungan saksi pelaku telah diatur dalam Peraturan Bersama Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, Ketua LPSK Nomor M.HH-11.HM.03,02.th.2011, PER-045/A/JA/12/2011, 1 Tahun 2011, KEPB-02/01-55/12/2011, 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi, dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (“Peraturan Bersama Perlindungan Saksi”).
Baca juga: Inilah Perbedaan Hukum Pidana dan Hukum Perdata yang Harus Anda Ketahui
Mekanisme Perlindungan Saksi dan Korban oleh LPSK
Untuk mendapatkan perlindungan dari LPSK, saksi dan korban harus memenuhi persyaratan tertentu. Syarat-syarat tersebut tertuang dalam Pasal 28 ayat (1) UU 31/2014, sebagai berikut:
- Sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban;
- Tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban;
- Hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban; dan
- Rekam jejak tindak pidana yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau korban.
Sebelum saksi dan korban bisa mendapatkan perlindungan hukum, terdapat tata cara yang harus diperhatikan sebagaimana telah ditetapkan oleh LPSK di samping harus memenuhi persyaratan di atas. Tata cara memperoleh perlindungan diatur dalam Pasal 29 ayat (1) dengan mekanisme:
- Saksi dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan tertulis kepada LPSK;
- LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
- Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan.
Namun dalam hal tertentu, LPSK dapat memberikan perlindungan tanpa diajukan permohonan.
Lalu, bagaimana jika saksi dan korban tetap mendapatkan intervensi?
Apabila telah dilakukan upaya-upaya perlindungan terhadap mereka namun tetap mendapatkan intervensi, baik dalam bentuk ancaman, tekanan, atau pun intimidasi dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan perkara, mereka memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan yang lebih intensif dari LPSK. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) pun mengatur secara ketat terkait dengan sanksi yang diberikan kepada pihak tersebut yang berbunyi:
Pasal 294 KUHP:
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, setiap orang yang melakukan kekerasan langsung kepada:
- Saksi saat memberikan keterangannya; atau
- Aparat penegak hukum atau petugas pengadilan yang sedang menjalankan tugasnya yang mengakibatkan saksi tidak dapat memberikan keterangannya.
Pasal 295 KUHP:
- Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori V, setiap orang yang:
- Menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan, atau cara lain terhadap saksi dan/atau korban sehingga tidak dapat memberikan keterangannya dalam proses peradilan; atau
- Memengaruhi pejabat berwenang yang mengakibatkan saksi dan/atau korban tidak memperoleh perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga saksi dan/atau korban tidak dapat memberikan keterangannya dalam proses peradilan.
- Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengakibatkan luka berat pada saksi dan/atau korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori III dan paling banyak kategori V.
- Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengakibatkan matinya saksi dan/atau korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori V dan paling banyak kategori VII.
Pasal 296 KUHP:
Setiap orang yang menghalang-halangi saksi dan/atau korban yang mengakibatkan tidak memperoleh pelindungan atau haknya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori III dan paling banyak kategori V.
Pasal 297 KUHP:
Setiap orang yang menyebabkan saksi, korban, dan/atau keluarganya kehilangan pekerjaan karena saksi dan/atau korban memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling banyak 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori III dan paling banyak kategori V.
Pasal 298 KUHP:
Setiap pejabat yang tidak memenuhi hak saksi dan/atau korban padahal saksi dan/atau korban telah memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Pasal 299 KUHP:
Setiap orang yang secara melawan hukum memberitahukan keberadaan saksi dan/atau korban yang sedang dilindungi dalam suatu tempat kediaman sementara atau tempat kediaman baru, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori III dan paling banyak kategori V.
Baca juga: Hukum Pidana Islam Sebagai Sistem Hukum di Indonesia
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU 31/2014”).
- Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pemberian Perlindungan Kepada Saksi dan/atau Korban (“Peraturan LPSK 1/2022”).
- Peraturan Bersama Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, Ketua LPSK Nomor M.HH-11.HM.03,02.th.2011, PER-045/A/JA/12/2011, 1 Tahun 2011, KEPB-02/01-55/12/2011, 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi, dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (“Peraturan Bersama Perlindungan Saksi”).
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).