Penetapan tersangka oleh Bareskrim Mabes Polri terhadap dua pelaku usaha, yakni mantan Direktur PT. Bosowa Corporindo dalam kemelut penyelamatan Bank Bukopin dan mantan Ketua Badan Perwakilan Anggota (BPA) Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 dalam permasalahan kriminalisasi krisis keuangan AJB Bumiputera beberapa waktu lalu, telah menimbulkan polemik dan diskursus hukum terkait tepat tidaknya laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atas laporan kedua kasus tersebut. 

Dalam perkara ini, OJK telah melaporkan kasus tersebut ke Bareskrim Mabes Polri terkait sangkaan melakukan perbuatan dengan sengaja mengabaikan dan/atau tidak melaksanakan perintah tertulis dari OJK. Surat penetapan atau surat keputusan OJK tersebut dijadikan dasar untuk melakukan kriminalisasi pelaku usaha jasa keuangan dan pihak tertentu lainnya.

Padahal surat perintah tertulis yang diterbitkan OJK ditinjau dari aspek hukum administrasi masih dapat diajukan upaya hukum keberatan atau gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pihak yang keberatan dapat mempersoalkan keabsahannya dari segi kewenangan, prosedur, dan substansinya. Tidak ada satupun lembaga pemerintahan maupun swasta di negara ini yang keputusan atau tindakannya tidak dapat diuji di pengadilan.

Penggunaan hukum pidana dengan menjadikan seseorang sebagai tersangka merupakan sarana hukum terakhir (ultimum remedium) jika sarana hukum lain, yaitu hukum perdata atau hukum administrasi telah ditempuh dan tidak bisa tercapai penyelesaian.

I. Kewenangan OJK Menerbitkan Perintah Tertulis dan Ancaman Pidana atas Pengabaiannya

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang OJK yang memiliki fungsi dan tugas menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap semua kegiatan pada sektor jasa keuangan seperti perbankan, pasar modal, asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Sebelumnya, fungsi dan tugas OJK dilaksanakan oleh tiga lembaga negara, yakni Bank Indonesia (BI), Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK), dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). 

Dalam tugasnya sebagai lembaga pengawasan pada industri keuangan, OJK menjalankan amanat Pasal 9 huruf (d) UU OJK. Peraturan ini menyebutkan bahwa OJK memiliki kewenangan diantaranya untuk memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan pihak tertentu. 

Permasalahan muncul pada saat undang-undang ini memuat aturan yang memberikan konsekuensi hukum sangat serius, bahkan luar biasa atas pengabaian atau ketidakpatuhan dalam melaksanakan perintah tertulis dari OJK yakni berupa ancaman pidana penjara.

Berdasarkan Pasal 54 Ayat (1) UU OJK, mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja mengabaikan dan/atau tidak melaksanakan perintah tertulis dari OJK sebagaimana dimaksud diantaranya dalam ketentuan Pasal 9 huruf (d) diancam pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas milyar rupiah).

Dalam dua persoalan hukum di atas, OJK telah menggunakan kewenangannya berdasarkan Pasal 9 huruf (d) dan Pasal 54 Ayat (1) UU OJK. 

Pertama terkait penyelamatan Bank Bukopin. Sejak Mei 2018 Bank Bukopin masuk dalam pengawasan intensif OJK karena permasalahan likuiditas hingga tahun 2020. Dalam rangka pemulihan OJK membuat kebijakan diantaranya memberikan perintah tertulis kepada PT. Bosowa Corporindo selaku pemegang saham Bank Bukopin agar memberikan kuasa khusus kepada Tim Technical Assistance (TA) atau bantuan teknis dari PT. Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Bank Bukopin melalui Surat OJK bernomor SR-28/D03/2020 tertanggal, 9 Juli 2020. 

Namun pada kenyataannya PT. Bosowa Corporindo mengabaikan dengan tidak melaksanakan perintah tersebut, hingga kemudian OJK melaporkan Direktur Utama PT. Bosowa Corporindo ke Bareskrim Mabes Polri dan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. 

Kedua terkait penyelamatan AJB Bumiputera 1912 yang mengalami kesulitan pembayaran atas klaim polis asuransi nasabah yang sudah jatuh tempo. Dalam rangka kegiatan tersebut, OJK mengeluarkan perintah tertulis melalui surat No. S-13/D.05/2020 tertanggal, 16 Agustus 2020 kepada Industri Keuangan Non-bank (IKNB) termasuk Ketua Badan Perwakilan Anggota (BPA) agar AJB Bumiputera 1912 melaksanakan ketentuan Pasal 38 Anggaran Dasar yaitu harus menyelenggarakan rapat umum anggota selambatnya tanggal, 30 September 2020. 

Namun setelah batas waktu yang telah ditentukan, Ketua Badan Perwakilan Anggota (BPA) AJB Bumiputera 1912 tidak menyelenggarakan rapat umum anggota, hingga kemudian OJK melaporkannya kepada aparat penegak hukum dan berujung ditetapkannya tersangka perbuatan tindak pidana sebagaimana diatur Pasal 9 huruf (d) dan Pasal 54 Ayat (1) UU OJK atas sangkaan dengan sengaja mengabaikan perintah tertulis dari OJK tersebut.

II. Perintah Tertulis OJK Masih Dapat Diajukan Keberatan ke PTUN

Berdasarkan ketentuan Pasal 9 huruf (g) UU OJK, salah satu kewenangan OJK dalam melaksanakan tugas pengawasan adalah menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangan disektor jasa keuangan. Sementara itu, Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang PTUN sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 telah mengatur tentang badan dan/atau pejabat tata usaha negara, keputusan tata usaha negara dan kewenangan/kompetensi absolut peradilan tata usaha negara sebagai peradilan administrasi yang kemudian diperluas dengan lahirnya Undang-undang No. 30 tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan yang menjadi hukum administrasi materiil memuat konsep tentang badan dan/atau pejabat administrasi pemerintahan, keputusan dan/atau tindakan administrasi pemerintahan, serta pengertian wewenang dan kewenangan.

Dengan memperhatikan susunan, kedudukan dan kewenangannya, OJK merupakan Badan Administrasi Pemerintahan yang setiap keputusan  dan/atau tindakannya dapat diajukan keberatan dan diuji di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Apalagi pengertian keputusan tata usaha negara bersifat konkrit, individual dan final sebagaimana diatur dalam UU PTUN. Hal itu juga sudah diperluas maknanya berdasarkan ketentuan Pasal 87 UU Administrasi Pemerintahan menjadi keputusan yang bersifat abstrak, umum, dan final dalam arti luas dapat digugat di PTUN.

Pada saat OJk mengeluarkan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan/atau pihak tertentu sesuai ketentuan Pasal 9 huruf (d) UU OJK, OJK berkedudukan sebagai Badan Administrasi Pemerintahan yang sedang menegakkan hukum administrasi, bukan sebagai badan atau aparat penegak hukum yang menegakkan hukum pidana materiil. Konsekuensi sebagai badan penegak hukum administrasi adalah keputusan dan/atau tindakannya tidak dapat menimbulkan konsekuensi hukum pidana, apabila tidak ditaati atau tidak dilaksanakan oleh pihak lain, melainkan menimbulkan konsekuensi dalam ranah hukum administrasi.

Perintah tertulis dari OJk tidak luput untuk dapat diuji ke PTUN. Oleh karena itu pengaturan Pasal 54 Ayat (1) UU OJK yang memberikan ancaman pidana terhadap setiap orang yang dengan sengaja mengabaikan dan/atau tidak melaksanakan perintah tertulis dari OJK merupakan pengaturan yang berlebihan dan mendudukkan OJK seolah-oleh lebih tinggi dari lembaga eksekutif, yudikatif maupun legislatif. 

III. Kesimpulan

Meskipun Undang-undang OJK memberikan instrument upaya paksa berupa ancaman pidana terhadap setiap orang yang mengabaikan perintah tertulis OJK, akan tetapi upaya paksa proses pidana tersebut seharusnya hanya digunakan apabila telah terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa perintah tersebut sah dari aspek kewenangan, prosedur dan substansi. Setelah adanya putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap, pelaku usaha jasa keuangan atau pihak tertentu lainnya tetap tidak melaksanakan perintah OJK tersebut.

Apabila putusan PTUN sudah berkekuatan hukum tetap dianggap lama karena harus menempuh upaya banding, kasasi hingga peninjauan kembali, maka dapat ditempuh instrument acara pemeriksaan cepat.

Upaya ini juga dapat mengesampingkan munculnya anggapan OJK sebagai lembaga “superbody”, yang melebihi kewenangan lembaga manapun dan berpotensi bertentangan dengan prinsip persamaan perlakuan dimuka hukum (equality before the law). 

Bagi para pihak yang merasa keberatan dapat mengajukan uji materiil terhadap Pasal 54 Ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memastikan apakah pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak.
Author / Contributor:

LawyerHari Prakosa, S.H.

Associate

Contact:

Mail       : @siplawfirm.id

Phone    : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975

 

Baca Juga: Penerapan Sidang e-Court Dalam Sistem Peradilan di Indonesia