Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang juga dikenal dengan istilah human trafficking merupakan salah satu jenis transnational organized crime, yaitu tindak pidana terorganisir yang melampaui batas negara dan masuk ke dalam kategori extra ordinary crime.  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21  Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU Pemberantasan TPPO), mendefinisikan perdagangan orang sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. 

Pelaku dalam tindak pidana perdagangan orang pada umumnya menggunakan modus operandi dalam memanfaatkan kondisi ekonomi korbannya, seperti peluang kerja di luar negeri dengan imbalan besar, pernikahan paksa yang dianggap dapat memperbaiki kondisi ekonomi, dan bentuk bujukan lainnya. Biasanya, pelaku tidak hanya melibatkan orang perseorangan dalam menjalankan aksinya, melainkan terdiri atas beberapa badan usaha yang terlibat secara langsung dalam sindikat perdagangan orang.

Keterlibatan Korporasi dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)

TPPO yang melibatkan korporasi merupakan suatu bentuk tindak pidana yang telah diatur secara eksplisit dalam UU Pemberantasan TPPO. Dalam Pasal 1 angka 4 UU TPPO, pelaku perdagangan orang yang termuat dalam unsur Setiap Orang, meliputi orang perseorangan ataupun korporasi  yang melakukan tindak pidana perdagangan orang. Dalam Pasal 1 angka 6 UU Pemberantasan TPPO telah mendefinisikan korporasi sebagai kumpulan orang yang terorganisir baik berbadan hukum maupun bukan badan hukum. 

Sedangkan dalam Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) menguraikan korporasi sebagai badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, yayasan, koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, serta perkumpulan lain baik yang berbadan hukum maupun bukan badan hukum. Kemudian, dalam Pasal 46 KUHP Baru menjelaskan bahwa tindak pidana oleh korporasi merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pengurus yang memiliki peran atau fungsi tertentu dalam struktur organisasi korporasi, atau oleh pihak yang bekerja atas dasar hubungan kerja maupun hubungan lainnya, yang bertindak atas nama atau demi kepentingan korporasi dalam menjalankan usaha atau kegiatan usahanya. 

Untuk menentukan suatu perbuatan dikualifikasi sebagai TPPO, ada tiga elemen yang perlu diperhatikan, ketiga elemen tersebut terdiri dari:

  • Proses
    Tindakan yang sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 1 UU Pemberantasan TPPO yang diantaranya, tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, dan pemindahan, merupakan suatu proses yang sering kali dilakukan dalam TPPO. Biasanya proses perekrutan ini disertai dengan modus operandi, salah satunya adalah perekrutan tenaga kerja oleh agen penyalur Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dengan dijanjikan gaji besar dan pekerjaan yang nyaman. 
  • Cara
    Cara yang digunakan dalam sindikat perdagangan orang dengan menggunakan ancaman, paksaan, kekerasan, penculikan, penipuan, tipu muslihat, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan persetujuan dari orang yang memiliki kendali atas orang lain. Hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 12 UU Pemberantasan TPPO.
  • Tujuan
    Tujuan dari sindikat perdagangan orang, tidak lain adalah untuk melakukan eksploitasi pada diri korban, untuk memperoleh keuntungan secara materiil maupun immateriil. Sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 7 UU Pemberantasan TPPO.

Suatu korporasi yang terlibat dalam sindikat perdagangan orang, seringkali berperan sebagai perusahan penyalur Pekerja Migran Indonesia (PMI). Perusahaan penyalur ini biasanya merupakan perusahaan yang tidak memiliki izin operasional resmi dalam menjalankan bisnis sebagai penyalur PMI, oknum perusahaan ini biasanya melakukan pemalsuan visa, paspor, kontrak kerja, serta dokumen keberangkatan agar seolah olah sesuai  agar dapat mengelabui korban.  Oleh karenanya, korporasi dapat menjadi subjek TPPO, apabila dalam melakukan perbuatan tindak pidana, apabila terpenuhinya unsur-unsur pidana dalam UU Pemberantasan TPPO. 

Studi Kasus TPPO yang Melibatkan Korporasi

Melalui kronologis yang dilansir dari Metro TV News, dijelaskan bahwa kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) terungkap melibatkan sebanyak 1.047 mahasiswa dari 33 universitas di Indonesia yang dikirim ke Jerman melalui program magang musim libur (ferien job). Program ini dijalankan oleh tiga agen tenaga kerja di Jerman dan difasilitasi oleh dua perusahaan di Indonesia, yaitu PT CVGEN dan PT SHB. Modus operandi para pelaku adalah menawarkan program magang kepada mahasiswa dengan iming-iming pengalaman kerja dan pendapatan di luar negeri.

Proses dimulai saat mahasiswa menerima sosialisasi dari PT CVGEN dan PT SHB, mereka kemudian membayar biaya pendaftaran sebesar Rp 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) yang disetorkan ke rekening atas nama CVGEN. Selanjutnya, mahasiswa diminta membayar 150 Euro untuk mendapatkan letter of acceptance (LoA) dari agen di Jerman, yang dikelola oleh PT SHB. Setelah LoA terbit, mahasiswa kembali diminta membayar 200 Euro untuk pengurusan working permit dari otoritas Jerman, yang menjadi syarat pembuatan visa. Tidak berhenti di sana, mahasiswa juga dibebankan dana talangan sebesar Rp 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) hingga Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) yang nantinya dipotong dari gaji mereka selama bekerja di Jerman. Setibanya di Jerman, mahasiswa diberikan kontrak kerja dan surat izin kerja (working permit) dalam bahasa Jerman, yang sebagian besar tidak mereka pahami. Karena telah berada di luar negeri dan terikat kebutuhan, mereka pun terpaksa menandatangani dokumen tersebut.

Selama Oktober hingga Desember 2023, para mahasiswa bekerja di Jerman dibawah skema yang ternyata tidak diakui oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek). Alih-alih menjalani program magang, mereka justru dipekerjakan seperti buruh, termasuk dipotong gaji untuk biaya penginapan dan transportasi sebagaimana tertulis dalam kontrak kerja.

Baca juga: Mekanisme Perlindungan Saksi dan Korban dalam Kasus Pidana

Analisis Sanksi Pidana Bagi Korporasi Pelaku TPPO

Dari studi kasus tersebut para pelaku, yakni PT CVGEN dan PT SHB dapat dijerat dengan Pasal 4 jo. Pasal 15 ayat (1) UU Pemberantasan TPPO dan dengan uraian unsur sebagai berikut:

(Pasal 4 UU Pemberantasan TPPO)

  • Setiap Orang
    Sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 4 UU Pemberantasan TPPO. Unsur setiap orang merujuk pada orang perorangan atau suatu korporasi (badan hukum maupun bukan badan hukum). Dalam studi kasus yang bahas, PT CVGEN dan PT SHB bertindak sebagai suatu korporasi dalam melakukan TPPO dengan modus operandi menjanjikan para mahasiswa magang di luar negeri dan akan mendapatkan penghasilan/upah dari program magang tersebut. Oleh karenanya, PT CVGEN dan PT SHB telah memenuhi unsur “Setiap Orang” dalam pasal ini.
  • Membawa Warga Negara Indonesia ke Luar Wilayah Negara Indonesia untuk Dieksploitasi
    Perbuatan yang dilakukan oleh PT CVGEN dan PT SHB yang membawa para mahasiswa Indonesia ke Jerman, dengan dalih akan mengikuti program magang  (ferien job), namun setibanya di Jerman para mahasiswa tersebut dipekerjakan seperti buruh dan mendapat pemotongan gaji, serta diminta untuk membayar akomodasi lainnya. Hal tersebut merupakan bentuk eksploitasi yang telah dilakukan oleh PT CVGEN dan PT SHB. Sehingga, atas perbuatan yang dilakukan oleh PT CVGEN dan PT SHB, telah memenuhi unsur “Membawa Warga Negara Indonesia ke Luar Wilayah Negara Indonesia dengan maksud untuk Dieksploitasi” dalam pasal ini. 

(Pasal 15 ayat (1) UU Pemberantasan TPPO)

  • Dalam Hal TPPO dilakukan oleh Korporasi
    PT CVGEN dan PT SHB yang bertindak sebagai dan atas nama korporasi dalam membuat sindikat perdagangan orang, dengan dalih program magang (ferien job) dengan menargetkan mahasiswa Indonesia sebagai korbannya dengan dikirim ke Jerman dan dijadikan sebagai buruh. Oleh karenanya, unsur dalam pasal ini terpenuhi. 

Dengan demikian, berdasarkan analisis unsur pidana dalam Pasal 4 jo. Pasal 15 ayat (1) UU Pemberantasan TPPO telah terpenuhi, maka berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 UU Pemberantasan TPPO, PT CVGEN dan PT SHB dapat dipidana dengan pidana penjara minimal 3 (tiga) tahun dan maksimal 15 (lima belas) tahun, serta pidana denda minimal Rp120.000.000 (seratus dua puluh juta rupiah) dan maksimal Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah). Kemudian, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1) UU Pemberantasan TPPO, sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada PT CVGEN dan PT SHB dapat ditambah 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UU Pemberantasan TPPO.

Sehingga, berdasarkan uraian yang telah disajikan. Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan bentuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan tindak pidana terorganisir lintas negara (transnational organized crime) yang kian kompleks karena melibatkan berbagai aktor, termasuk korporasi. Berdasarkan UU Pemberantasan TPPO, korporasi diakui sebagai subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas keterlibatannya dalam perdagangan orang.

Baca juga: Inilah Perbedaan Hukum Pidana dan Hukum Perdata yang Harus Anda Ketahui

Daftar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU Pemberantasan TPPO).
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Referensi: