Perkembangan teknologi informasi telah mendorong perubahan mendasar dalam pola transaksi masyarakat. Jika sebelumnya perjanjian dilakukan secara tatap muka dengan dokumen fisik, kini transaksi semakin banyak dilakukan secara digital melalui kontrak elektronik (e-contract). Bentuk kontrak ini lazim ditemui dalam e-commerce, layanan keuangan digital, aplikasi berbasis daring, hingga kerjasama bisnis modern.
Perubahan tersebut membawa implikasi besar terhadap sistem hukum, khususnya dalam hal keabsahan, interpretasi, dan kekuatan pembuktiannya di hadapan pengadilan. Dalam hukum positif Indonesia, e-contract diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”), sebagaimana dijelaskan pada Pasal 1 angka 17 mendefinisikan bahwa kontrak elektronik merupakan perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik.
Keabsahan Kontrak Elektronik dalam Perjanjian
Prof. Subekti berpendapat bahwa perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Oleh karena itu, lahirnya suatu perjanjian terbentuk apabila kedua belah pihak atau lebih telah mencapai kesepakatan dan secara sadar mengikatkan diri pada isi perjanjian tersebut. Dalam hukum perikatan, salah satu asas yang fundamental dalam membuat perjanjian, yaitu kebebasan berkontrak, yaitu hak para pihak untuk menentukan sendiri isi, bentuk, dan syarat perjanjian sesuai kebutuhan mereka.
Asas kebebasan berkontrak memberikan ruang bagi setiap orang untuk menentukan sendiri berbagai aspek dalam membuat perjanjian. Artinya, para pihak bebas memutuskan apakah akan membuat perjanjian atau tidak, bebas memilih dengan siapa perjanjian tersebut dibuat, bebas menentukan isi dan klausul-klausulnya, serta bebas menentukan bentuk perjanjian. Namun, seluruh kebebasan tersebut tetap harus dijalankan sesuai batasan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.
Sistem hukum kontrak di Indonesia diatur dalam pasal 1320 dan 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) yang terdiri atas kontrak tertulis dan kontrak lisan. Namun, seiring berkembangnya zaman, kontrak elektronik hadir sebagai varian baru dalam melaksanakan suatu perjanjian. Kontrak elektronik (e-contract) mulai berkembang sejak konsepnya diperkenalkan oleh UNCITRAL (United Nations Commission on International Trade Law) pada tahun 1996. Di Indonesia, pengaturannya kemudian diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) yang dalam Pasal 18 ayat (1) UU ITE menyatakan bahwa:
“Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak”.
Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP 71/2019”) sebagai peraturan pelaksana UU ITE, mempertegas kembali dalam Pasal 46 ayat (2) PP 71/2019 yang mengatur bahwa
“Kontrak elektronik dianggap sah apabila:
- terdapat kesepakatan para pihak;
- dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- terdapat hal tertentu; dan
- objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.”
Oleh karena itu, perkembangan teknologi tidak menghilangkan keabsahan perjanjian, melainkan memperluas media pembentukan kontrak selama tetap sesuai dengan batasan hukum yang berlaku.
Kontrak Elektronik sebagai Alat Bukti
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 1/2024”) menyatakan bahwa:
“Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti yang sah”.
Ketentuan pada pasal diatas menegaskan bahwa Indonesia telah mengakui dan mengadopsi perkembangan teknologi dalam sistem pembuktian hukum. Kontrak digital yang disusun, dikirim, atau disetujui melalui sarana elektronik dianggap sebagai alat bukti yang sah sebagaimana halnya dokumen fisik.
Pengakuan tersebut merupakan bagian dari perluasan alat bukti dalam hukum acara modern, sehingga perjanjian elektronik dapat digunakan sebagai dasar pembuktian dalam proses peradilan. Selama kontrak digital tersebut memenuhi syarat sah perjanjian menurut KUHPerdata, serta ketentuan tambahan dalam UU ITE, maka kontrak tersebut memiliki kekuatan hukum yang sama seperti kontrak konvensional. Dengan demikian, kontrak digital juga memiliki kekuatan yang sama dengan perjanjian yang ditandatangani secara fisik oleh para pihak.
Baca juga: Inspanning Verbintenis dalam Kontrak Terapeutik
Tantangan Hukum dalam Penerapan Kontrak Elektronik
Tantangan hukum dalam penerapan kontrak elektronik terutama terlihat pada aspek pembuktian. Dalam kontrak elektronik, keabsahan tanda tangan elektronik menjadi sangat penting karena tanda tangan harus memenuhi ketentuan hukum agar dapat diakui sebagai bukti sah. Selain itu, keberadaan timestamp juga diperlukan untuk menunjukkan waktu pasti sebuah kontrak dibuat sangat berguna ketika terjadi sengketa.
Tantangan selanjutnya adalah menjaga integritas dokumen. Dokumen elektronik harus dipastikan tidak berubah sejak ditandatangani. Oleh karena itu, teknologi seperti enkripsi, hash, serta sistem penyimpanan yang aman sangat diperlukan agar setiap perubahan ilegal dapat terdeteksi. Jejak digital seperti log activity dan timestamp membantu membuktikan bahwa dokumen tetap otentik dan tidak dimanipulasi. Sehingga, dalam proses penyelesaian sengketa, semua elemen tersebut menjadi faktor utama untuk menilai sah atau tidaknya suatu kontrak elektronik.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kontrak elektronik memiliki keabsahan yang setara dengan kontrak konvensional sepanjang memenuhi syarat sah perjanjian menurut KUHPerdata dan ketentuan UU ITE. Sistem hukum Indonesia telah mengakui kontrak elektronik, baik sebagai perjanjian yang mengikat maupun sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. Akan tetapi, penerapannya menghadapi tantangan khusus, terutama terkait aspek pembuktian, sehingga penerapan teknologi keamanan, seperti enkripsi, hash, dan pencatatan jejak digital menjadi sangat penting untuk memastikan keotentikan kontrak elektronik.***
Baca juga: Apakah Sah Kontrak Elektronik dalam Pinjaman Online? Ini Tinjauan Hukumnya!
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 1/2024”)
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”).
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”).
- Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP 71/2019”).
Referensi:
- Keabsahan E-Kontrak Menurut Hukum. Sekolah Pengadaan (Diakses pada tanggal 27 November 2025 pukul 11.14 WIB).
- Simanjuntak Ricardo, “Teknik Perancangan Kontrak Bisnis”, (Jakarta: PT Gramedia, 2018), hlm.14.
- Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.4.
- David Herianto Sinaga dan I Wayan Wiryawan, “Keabsahan Kontrak Elektronik (E-Contract) dalam Perjanjian Bisnis”, (Jurnal Kertha Semaya, Vol.8, No.9, 2020), hlm 1386.
- Keabsahan dan Perlindungan Hukum dalam Kontrak Digital. Kontrak Hukum (Diakses pada tanggal 27 November 2025 pukul 14.11 WIB).
