Perkembangan teknologi informasi telah membawa transformasi besar dalam cara masyarakat berinteraksi dengan layanan keuangan. Salah satu inovasi yang paling mencolok adalah kemunculan layanan pinjaman online (pinjol), yang menawarkan akses dana secara cepat dan mudah melalui platform digital. Layanan ini menjadi alternatif menarik bagi banyak individu, terutama mereka yang kesulitan menjangkau lembaga keuangan konvensional. Di tengah pesatnya pertumbuhan pinjol, muncul dinamika baru dalam hubungan hukum antara pemberi dan penerima pinjaman, yang kini bergantung pada kontrak elektronik sebagai landasan utama.

Kontrak elektronik dalam layanan pinjol bukan sekadar dokumen digital, melainkan instrumen hukum yang menentukan hak dan kewajiban para pihak. Keabsahan dan kekuatan mengikat kontrak tentu menjadi isu yang penting, mengingat seluruh proses transaksi berlangsung tanpa pertemuan secara fisik. Jika tidak dirancang dan dijalankan dengan prinsip kehati-hatian, kontrak elektronik berpotensi menimbulkan sengketa, merugikan konsumen, dan membuka ruang bagi praktik yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, penting untuk menelaah bagaimana kontrak elektronik dalam layanan pinjol dapat menjamin kepastian hukum, perlindungan konsumen, dan integritas transaksi digital secara menyeluruh.

Legalitas Kontrak Elektronik Menurut KUHPerdata

Meskipun kontrak elektronik lahir dari perkembangan teknologi digital, prinsip-prinsip dasar yang mengatur keabsahannya tetap merujuk pada kaidah hukum perdata yang telah lama berlaku di Indonesia. Dalam konteks transaksi pinjaman online, kontrak elektronik menjadi bukti utama adanya hubungan hukum antara penyedia layanan dan pengguna. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa kontrak tersebut memenuhi unsur-unsur yang secara umum berlaku dalam setiap perjanjian, baik yang dilakukan secara fisik maupun digital. 

Secara hukum, hukum perdata Indonesia menetapkan syarat utama agar suatu perjanjian dianggap sah. Syarat-syarat ini menjadi fondasi dalam menilai apakah kontrak elektronik memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan dapat dijadikan dasar dalam penyelesaian sengketa. Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) bahwa supaya terjadi persetujuan yang sah perlu dipenuhi empat syarat:

  1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. kecakapan membuat suatu perikatan;
  3. suatu pokok persoalan tertentu;
  4. suatu sebab yang halal. 

Keempat syarat ini berlaku pula untuk kontrak elektronik. Meskipun dilakukan secara digital, kontrak elektronik tetap harus menunjukkan adanya persetujuan bebas dari para pihak, dilakukan oleh subjek hukum yang cakap, memiliki objek yang jelas, dan tidak bertentangan dengan hukum atau kesusilaan. Dalam pinjaman online, kesepakatan biasanya diwujudkan melalui tindakan klik “setuju” atau tanda tangan digital. Namun, validitasnya tetap bergantung pada terpenuhinya unsur kecakapan dan keabsahan objek transaksi. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, kontrak dapat dibatalkan atau batal demi hukum.

Syarat Sahnya Kontrak Elektronik dan Hal yang Harus Ada di Dalam Kontrak Elektronik

Suatu transaksi elektronik dapat dilakukan berdasarkan kontrak elektronik atau bentuk kontraktual lainnya sebagai suatu bentuk kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak. Dalam Pasal 46 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP 71/2019”) dijelaskan bahwa Kontrak Elektronik dianggap sah apabila:

  1. terdapat kesepakatan para pihak;
  2. dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. terdapat hal tertentu; dan
  4. objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Syarat-syarat tersebut mempertegas bahwa kontrak elektronik memiliki kedudukan hukum yang setara dengan kontrak konvensional, asalkan seluruh unsur yang dipersyaratkan terpenuhi secara substansial. Artinya, meskipun kontrak dibuat dan disepakati melalui media digital tanpa pertemuan fisik, kekuatan mengikatnya tetap diakui secara hukum. Hal ini mencerminkan prinsip bahwa hukum tidak membedakan bentuk media perjanjian, melainkan menitikberatkan pada terpenuhinya unsur kesepakatan, kecakapan, objek yang jelas, dan tujuan yang sah.

Selanjutnya, Pasal 47 ayat (3) PP 71/2019 menetapkan bahwa terdapat sejumlah komponen yang wajib dicantumkan dalam suatu kontrak elektronik, di antaranya:

  1. data identitas para pihak;
  2. objek dan spesifikasi;
  3. persyaratan Transaksi Elektronik;
  4. harga dan biaya;
  5. prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak;
  6. ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat mengembalikan barang dan/atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat tersembunyi; dan
  7. pilihan hukum penyelesaian Transaksi Elektronik.

Dalam praktik pinjaman online, klausul-klausul ini sering kali diabaikan atau disusun secara sepihak oleh penyedia layanan. Hal ini berpotensi merugikan konsumen, terutama jika terjadi sengketa atau pelanggaran hak.

Baca juga: Menelusuri Hierarki Kreditur dalam Kepailitan, Mekanisme Pembagian Hasil Lelang Aset Debitur

Peran OJK dalam Perlindungan Hukum Konsumen Pinjaman Online

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memegang peran sentral dalam memastikan bahwa layanan pinjaman online berjalan sesuai dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan konsumen. Melalui regulasi yang diterbitkan, OJK menetapkan standar operasional bagi pelaku usaha jasa keuangan berbasis teknologi, termasuk kewajiban untuk menyediakan layanan pengaduan yang efektif dan responsif terhadap keluhan konsumen.

Peraturan OJK Nomor 18/POJK.07/2018 Tahun 2018 tentang Layanan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan (“POJK 18/2018”) menegaskan bahwa setiap pelaku usaha jasa keuangan wajib memiliki mekanisme layanan pengaduan yang dapat diakses oleh konsumen. Ditegaskan dalam Pasal 2 POJK 18/2018 bahwa:

“Tujuan Layanan Pengaduan adalah melakukan penyelesaian dalam memberikan perlindungan Konsumen.”

Selanjutnya, Pasal 3 mengatur ruang lingkup layanan pengaduan yang mencakup penerimaan, penanganan, dan penyelesaian pengaduan secara menyeluruh. Bahkan, Pasal 4 menegaskan bahwa pelaku usaha jasa keuangan dilarang mengenakan biaya atas layanan pengaduan tersebut, sebagai bentuk komitmen terhadap akses keadilan yang setara bagi konsumen.

Melalui ketentuan ini, OJK tidak hanya berfungsi sebagai regulator, tetapi juga sebagai fasilitator penyelesaian sengketa antara konsumen dan penyedia layanan keuangan digital. Dalam praktiknya, OJK juga menyediakan berbagai saluran pengaduan yang mudah diakses oleh masyarakat, di antaranya melalui Kontak Center OJK 157, Aplikasi OJK Mobile, surat elektronik ke konsumen@ojk.go.id, WhatsApp OJK di nomor 081157157157, atau melalui akun media sosial resmi, seperti Twitter (@kontak 157) atau Instagram (@ojkindonesia). Beberapa keluhan yang dapat dilaporkan konsumen kepada OJK antara lain:

  1. Pelanggaran terhadap hak-hak konsumen
    Contohnya termasuk ketidakjelasan informasi produk atau layanan, tindakan penagihan yang bersifat intimidatif atau merendahkan martabat, serta penyalahgunaan data pribadi oleh penyedia jasa keuangan.
  2. Perselisihan antara konsumen dan penyedia jasa keuangan
    Seperti konflik terkait jumlah tagihan, proses klaim asuransi yang tidak sesuai, atau ketidaksesuaian dalam pengembalian dana.
  3. Tindakan penipuan atau aktivitas ilegal di sektor keuangan
    Termasuk penawaran investasi fiktif, praktik pinjaman online tanpa izin resmi, atau kegiatan keuangan yang merugikan masyarakat secara hukum.

Lembaga pengawas berperan aktif dalam memastikan bahwa proses pemberian informasi, persetujuan, dan pelaksanaan hak serta kewajiban dalam kontrak dilakukan secara transparan dan adil. Dengan demikian, legalitas kontrak elektronik bukan hanya soal keabsahan formal, tetapi juga tentang jaminan perlindungan hukum yang konkret bagi konsumen dalam ekosistem keuangan digital.***

Baca juga: Pengaturan Hukum Pembiayaan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR)

Daftar Hukum:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
  • Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP 71/2019).
  • Peraturan OJK Nomor 18/POJK.07/2018 Tahun 2018 tentang Layanan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan (POJK 18/2018). 

Referensi:

  • Bagaimana Cara Lapor ke Pihak OJK? Ini Caranya. Jadi OJK. (Diakses pada 11 Agustus 2025 pukul 08.40 WIB)