Kebijakan Reklamasi dan Pasca Tambang di Indonesia merupakan topik yang penting dalam konteks perlindungan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. Reklamasi pertambangan adalah proses pemulihan lahan bekas tambang agar dapat digunakan kembali atau dikembalikan ke kondisi semirip mungkin dengan kondisi aslinya sebelum pertambangan dilakukan. Reklamasi merupakan kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas biodiversitas agar dapat berfungsi kembali sebagaimana mestinya. Biodiversitas adalah keberagaman makhluk hidup yang menunjukkan keseluruhan variasi gen, spesies, dan ekosistem di suatu wilayah.
Tujuan Utama reklamasi adalah untuk mengembalikan produktivitas lahan yang terganggu akibat aktivitas tambang, melindungi lingkungan hidup, serta mendukung keberlanjutan ekonomi dan sosial masyarakat setempat.
Sementara itu, pasca tambang merupakan kegiatan terencana yang dilakukan setelah terjadinya aktivitas usaha tambang dilaksanakan secara sebagian atau keseluruhan. Kegiatan pasca tambang harus dilakukan atas kebutuhan masyarakat disertai dengan pengawasan pemerintah. Apabila terdapat pihak yang melanggar ketentuan reklamasi atau pasca tambang, maka akan dikenakan sanksi yang tegas sebagaimana tertuang dalam peraturan perundang-undangan.
Dasar hukum pengelolaan lingkungan hidup pertambangan di Indonesia adalah Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Selain itu juga Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang.
Baca Juga: Pengertian dan Dasar Hukum Kontrak Karya Pertambangan
Kegiatan yang dilakukan pasca tambang menurut ketentuan undang-undang adalah:
Penyusunan Rencana Pasca Tambang
Rencana pasca tambang wajib disampaikan oleh Pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi. Penyusunan rencana tersebut didasari atas studi kelayakan dan dokumen lingkungan hidup. Pada rencana pasca tambang memuat profil wilayah yang mencakup lokasi dan kesampaian wilayah, kepemilikan dan peruntukan lahan, rona lingkungan awal, serta kegiatan lain di sekitar tambang, deskripsi kegiatan pertambangan, dan rona lingkungan akhir lahan pasca tambang.
Selain itu juga program pasca tambang yang mencakup reklamasi sisa lahan bekas tambang dan lahan di luar bekas tambang, reklamasi operasi produksi, pengembangan sosial-budaya-ekonomi, pemeliharaan hasil reklamasi, dan pemantauan. Selanjutnya organisasi, kriteria keberhasilan pasca tambang dan rencana biaya pasca-tambang yang terbagi atas biaya langsung dan biaya tidak langsung.
Penilaian dan Persetujuan
Penilaian dan persetujuan diberikan oleh Direktur Jenderal atas nama menteri atau gubernur (sesuai kewenangan) paling lama 60 hari sejak IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi diterbitkan. Apabila dalam waktu 60 hari Dirjen atas nama Menteri atau Gubernur tidak memberikan saran penyempurnaan/persetujuan, maka rencana pasca tambang dianggap disetujui.
Jaminan Pasca Tambang
Jaminan pasca tambang berbentuk deposito berjangka yang dimuat dalam rencana kerja dan anggaran biaya operasi produksi tahunan. Seluruh jaminan tersebut wajib terkumpul 2 tahun sebelum dilakukan pasca tambang.
Pelaksanaan Pasca Tambang
Pelaksanaan pasca tambang wajib disampaikan oleh Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi sesuai rencana pascatambang yang telah disetujui. Pelaksanaan tersebut selambat-lambatnya dilaksanakan 30 hari setelah kegiatan penambangan.
Pelaporan dan Pencairan Jaminan Pasca Tambang
Laporan terkait pascatambang dibuat berdasarkan format penyusunan laporan triwulan pelaksanaan pasca tambang dan dilaksanakan setiap triwulan oleh Pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi.
Persetujuan pencairan jaminan pasca tambang dilakukan oleh Dirjen atas nama Menteri atau Gubernur. Pada pelaksanaan pencairan jaminan pasca tambang wajib dilakukan evaluasi terkait laporan pelaksanaan pasca tambang dan peninjauan lapangan.
Penyerahan Lahan Pasca Tambang
Permohonan terkait penyerahan lahan pascatambang dilakukan setelah memenuhi dua ketentuan yakni, pelaksanaan prinsip pelindungan pengelolaan lingkungan hidup, keselamatan dan kesehatan kerja, dan konservasi mineral dan batubara dan Penilaian keberhasilan pasca tambang 100%. Sebelum memberikan persetujuan penyerahan lahan pasca tambang, Dirjen atas nama Menteri atau Gubernur wajib melakukan peninjauan lapangan pasca tambang. Hasil dari peninjauan lapangan tersebut akan diwujudkan dalam berita acara.
Pada Pasal 161B ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disebutkan, setiap orang yang IUP atau IUPK-nya dicabut atau berakhir dan tidak melaksanakan reklamasi dan/atau pasca tambang, serta penempatan dana jaminan reklamasi dan /atau dana jaminan pasca tambang, maka akan dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah). Selain sanksi pidana tersebut, terdapat sanksi lain berupa pidana tambahan dalam bentuk pembayaran dana dalam rangka pelaksanaan kewajiban reklamasi dan/atau pasca tambang yang menjadi kewajibannya.
Dengan adanya dasar hukum dan sanksi yang telah diundangkan, diharapkan pelaksanaan kebijakan reklamasi dan pasca tambang di Indonesia dapat dilakukan dengan lebih terstruktur dan bertanggung jawab untuk melindungi lingkungan hidup dan mendukung keberlanjutan sosial ekonomi masyarakat setempat.
Baca Juga: Mengenal Landasan Hukum dan Yurisprudensi Sengketa Pertambangan
Sumber:
- Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
- Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
- Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang