Di Indonesia, pernikahan memiliki dampak yang cukup besar terhadap status pribadi maupun keluarga, terutama terkait dengan hak-hak dalam sosial dan administrasi, termasuk dalam pembuatan Kartu Keluarga (KK). Padahal, Kartu Keluarga memuat data tentang nama, susunan, dan hubungan dalam keluarga, serta identitas anggota keluarga, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”).
Salah satu hal yang berdampak adalah mengenai pernikahan siri. Adapun pernikahan siri sendiri tidak tercatat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga berpengaruh terhadap pembuatan dokumen administratif. Dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) dijelaskan bahwa perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan tersebut, pasangan yang melangsungkan pernikahan, baik yang dilakukan secara agama maupun secara negara wajib melakukan pendaftaran atau pencatatan perkawinan di instansi pemerintah yang berwenang.
Ketentuan terkait pencatatan pernikahan turut ditegaskan dalam Lampiran Pasal 5 ayat (1) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“Lampiran Inpres 1/1991 KHI”) bahwa agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Tujuannya adalah untuk memberikan status hukum yang jelas terhadap pernikahan tersebut, yang pada akhirnya berhubungan dengan hak-hak hukum bagi pasangan dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.
Pasangan yang menikah siri dapat dimasukkan ke dalam 1 Kartu Keluarga yang sama. Namun, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil tidak menikahkan, tetapi hanya mencatat telah terjadinya perkawinan. Nantinya, di dalam Kartu Keluarga akan tertulis keterangan “kawin belum tercatat”. Terdapat persyaratan khusus yang harus dipenuhi oleh pasangan yang menikah siri atau dalam peraturan tersebut disebut dengan perkawinan yang belum dicatatkan, yakni dengan membuat Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) perkawinan belum tercatat.
Dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 109 Tahun 2019 tentang Formulir dan Buku yang Digunakan dalam Administrasi Kependudukan (“Permendagri 109/2019”) dijelaskan bahwa formulir surat pernyataan tanggung jawab mutlak perkawinan/perceraian belum tercatat sebagai salah satu persyaratan pencantuman status perkawinan/perceraian dalam KK bagi penduduk yang tidak mempunyai dokumen perkawinan berupa buku nikah, akta perkawinan atau kutipan akta perceraian. Selain SPTJM, pasangan yang menikah siri juga harus memenuhi beberapa syarat dokumen yang diperlukan untuk mengurus Kartu Keluarga, di antaranya:
- Surat pengantar pembuatan Kartu Keluarga baru dari Ketua RT setempat yang telah di stempel RW;
- Surat keterangan pindah (untuk pendatang);
- Mengisi formulir permohonan Kartu Keluarga di kantor kelurahan;
Baca juga: Hukum Penetapan Nafkah Pasca Perceraian
Selain terkait dengan administrasi, pernikahan siri juga kerap menimbulkan persoalan hukum mengenai pengakuan anak yang lahir dalam perkawinan tersebut. Pada Pasal 50 UU Adminduk disebutkan bahwa setiap pengesahan anak wajib dilaporkan oleh orang tua kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak ayah dan ibu dari anak yang bersangkutan melakukan perkawinan dan mendapat akta perkawinan. Pengesahan anak hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama dan hukum negara.
Berdasarkan pasal tersebut, anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat bisa mendapatkan pengesahan dan pengakuan sebagai anak yang yang sah di mata hukum jika pernikahan orang tuanya telah dicatatkan oleh negara. Meskipun menikah siri sah secara agama, akan tetapi dalam kacamata hukum tidak memiliki kekuatan karena dianggap tidak pernah ada dalam catatan negara. Hal ini pun akan sangat berpengaruh terhadap penerbitan Kartu Keluarga dan pengakuan status anak.
Baca juga: Regulasi Terkait Pemberian Tunjangan Keluarga
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”).
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”).
- Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“Inpres 1/1991 KHI”).
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 109 Tahun 2019 tentang Formulir dan Buku yang Digunakan dalam Administrasi Kependudukan (“Permendagri 109/2019”).
Referensi:
- Pasangan Nikah Siri Bisa Punya Kartu Keluarga, Ini Syaratnya. Nasional Kompas. (Diakses pada 15 November 2024 pukul 16.10 WIB).