Dalam kehidupan sehari-hari, banyak tindakan yang dianggap sepele namun ternyata memiliki konsekuensi hukum yang serius. Tanpa disadari, beberapa perbuatan yang dilakukan bisa berujung pada sanksi pidana, baik berupa denda maupun hukuman penjara. Oleh karena itu, memahami aturan hukum yang berlaku menjadi penting agar masyarakat dapat menghindari pelanggaran yang tidak disengaja. Sebab, tanpa pengetahuan yang memadai tentang hukum pidana, seseorang dapat terjerumus dalam perbuatan yang melanggar hukum, bahkan tanpa niat jahat.
Sebagai bentuk edukasi hukum kepada masyarakat, SIP Law Firm akan membahas terkait tiga contoh nyata dari perbuatan yang tampak “umum” namun menimbulkan konsekuensi hukum yang serius berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Dengan memahami dasar hukum dan konsekuensi pidananya, masyarakat diharapkan dapat lebih waspada dan dapat menghindari risiko hukum dalam keseharian mereka.
Pemalsuan Kuitansi, Jerat Pidana dalam Pasal 391 KUHP
Kuitansi merupakan bukti pembayaran yang memiliki kekuatan hukum, terutama dalam konteks transaksi keuangan dan pembuktian dalam sengketa perdata maupun pidana. Namun, tidak sedikit masyarakat yang secara sadar maupun tidak sengaja melakukan pemalsuan kuitansi. Perbuatan ini dapat dilakukan dengan cara mengubah isi kuitansi, menambah nominal yang tidak sesuai, atau membuat kuitansi palsu untuk tujuan tertentu. Dalam Pasal 391 KUHP ditegaskan bahwa:
- Setiap Orang yang membuat secara tidak benar atau memalsukan Surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan, atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari suatu hal, dengan maksud untuk menggunakan atau meminta orang lain menggunakan seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, jika penggunaan Surat tersebut dapat menimbulkan kerugian, dipidana karena pemalsuan Surat, dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori VI;
- Setiap Orang yang menggunakan Surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah benar atau tidak palsu, jika penggunaan Surat tersebut dapat menimbulkan kerugian dipidana dengan pidana yang sama dengan ayat (1).
Tindakan ini bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan termasuk dalam kategori tindak pidana. Pemalsuan kuitansi tidak hanya merugikan pihak yang menjadi korban, tetapi juga dapat merusak kepercayaan dalam transaksi bisnis. Oleh karena itu, penting bagi individu dan perusahaan untuk selalu memverifikasi keabsahan dokumen keuangan sebelum melakukan transaksi. Selain itu, penggunaan sistem digital yang memiliki fitur verifikasi dapat membantu mencegah pemalsuan kuitansi.
Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, Pidana Pasal 218 KUHP
Dalam era digital, kebebasan berpendapat sering kali disalahartikan sebagai kebebasan untuk menghina atau mencemarkan nama baik seseorang, termasuk pejabat negara. Ambang batas kritik dan penghinaan pejabat publik pun seolah makin memudar. Padahal, perlu dibedakan antara kritik yang sah dalam ruang demokrasi dan penghinaan yang bersifat menyerang kehormatan pribadi seseorang, termasuk Presiden dan Wakil Presiden.
Undang-Undang KUHP mengatur secara tegas mengenai larangan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Pasal 218 disebutkan:
- Setiap Orang yang di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV;
- Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Penghinaan dalam hal ini bukan hanya terbatas pada pernyataan verbal, tetapi juga mencakup unggahan, meme, video, atau konten lain di media sosial yang menyerang martabat pribadi Presiden atau Wakil Presiden. Sebagai contoh, di tahun 2017 lalu, seorang murid SMK di Medan, Sumatera Utara, ditangkap polisi karena dinilai menghina Presiden Joko Widodo melalui kicauannya di media sosial. Remaja 18 tahun itu pun dianggap bersalah melanggar UU ITE dan dihukum pidana 18 bulan penjara serta denda Rp10 juta rupiah.
Pasal ini menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat karena dikhawatirkan dapat membungkam kritik. Namun, ketentuan Pasal KUHP tersebut tidak menutup ruang kritik, asalkan disampaikan secara objektif, berdasarkan data, dan dalam koridor kepentingan publik. Akan tetapi dalam praktiknya, penegakkan hukum terhadap pasal ini memerlukan laporan resmi dan tidak dilakukan secara otomatis. Pihak berwajib harus mempertimbangkan motif, konteks, dan dampak dari pernyataan yang diduga mengandung penghinaan tersebut. Agar tidak terjerat pidana, masyarakat perlu lebih bijak dalam bermedia sosial dan memahami batas antara menyampaikan pendapat secara sah dan melakukan penghinaan terhadap petinggi negara.
Baca juga: Unsur dan Jenis Tindak Pidana Penggelapan
Klaim Memiliki Ilmu Gaib atau Sihir dalam Pasal 252 KUHP
Salah satu aturan menarik yang ada di dalam KUHP 2023 adalah diaturnya larangan terhadap klaim memiliki kemampuan ilmu gaib atau sihir yang disertai dengan niat jahat. Kepercayaan terhadap ilmu gaib masih kuat di beberapa daerah di Indonesia. Namun, mengklaim memiliki kemampuan gaib atau ilmu hitam dan menawarkan jasa terkait dapat berujung pada sanksi pidana. Diatur dalam Pasal 252 KUHP, yakni:
- Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV;
- Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah ⅓ (satu per tiga).
Pasal ini tidak serta-merta mengkriminalisasi kepercayaan masyarakat terhadap hal gaib, tetapi lebih menekankan pada tindakan eksploitasi dari klaim tersebut untuk tujuan menipu, memeras, atau menyebabkan kerugian. Contohnya adalah orang yang mengaku bisa menyantet orang lain, lalu meminta imbalan uang, atau mengancam seseorang agar menyerahkan harta agar tidak terkena guna-guna.
Dalam praktiknya, pasal ini menjadi alat hukum untuk menjerat oknum yang menggunakan praktik perdukunan sebagai kedok kejahatan. Ini mencakup penipuan berkedok ritual, intimidasi berbasis supranatural, dan praktik pengobatan alternatif palsu yang merugikan korban secara fisik dan psikis. Masyarakat diimbau agar tidak mudah terpengaruh oleh klaim oknum yang menjual jasa gaib, dan lebih memilih pendekatan rasional serta hukum dalam menyelesaikan permasalahan.
Tiga contoh perbuatan di atas menunjukkan bahwa tindakan yang tampak sederhana dalam kehidupan sehari-hari dapat memiliki konsekuensi hukum yang serius. Pemalsuan kuitansi, penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, serta klaim memiliki kemampuan sihir atau ilmu hitam merupakan perbuatan yang dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan UU KUHP 2023. Oleh karena itu, memahami hukum yang berlaku dan bertindak dengan bijak sangat penting untuk menghindari pelanggaran yang tidak disengaja.***
Baca juga: Mekanisme Perlindungan Saksi dan Korban dalam Kasus Pidana
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
Referensi:
- Jerat Pidana Bagi Pemalsu Kuitansi. Hukumonline. (Diakses pada 8 Mei 2025 pukul 14.02 WIB).
- Remaja Penghina Jokowi di Medan Dihukum 18 Bulan Penjara. IDNTimes. (Diakses pada 8 Mei 2025 pukul 14.10 WIB).
- Daftar 13 Pasal di KUHP Baru yang Tuai Kontroversi dan Disorot Asing. Katadata. (Diakses pada 8 Mei 2025 pukul 14.16 WIB).
- Melihat Kembali Sederet Pasal Kontroversial KUHP Baru. Hukumonline. (Diakses pada 8 Mei 2025 pukul 14.17 WIB).
- KUHP Baru: Dukun Santet dan Praktik Sihir Bisa Dipenjara 15 Tahun. Kompas.com. (Diakses pada 8 Mei 2025 pukul 14.22 WIB).