Dalam beberapa tahun terakhir, sektor konstruksi dan perizinan bangunan di Indonesia mengalami reformasi besar-besaran. Perubahan signifikan ini dipicu oleh diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (“UU Cipta Kerja”) yang membawa berbagai penyederhanaan dan penyesuaian regulasi, termasuk penggantian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
Transformasi ini mencerminkan upaya pemerintah dalam mendorong kemudahan berusaha dan meningkatkan kepatuhan terhadap tata ruang dan teknis bangunan. Perubahan dari IMB ke PBG bertujuan untuk menyederhanakan regulasi serta meningkatkan efisiensi proses pembangunan. Berbeda dengan IMB yang berbasis izin, PBG adalah bentuk persetujuan yang diberikan berdasarkan kesesuaian rencana teknis bangunan dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) yang ditetapkan oleh pemerintah.
Penggantian IMB Menjadi PBG menurut UU Cipta Kerja
Sebelum diberlakukannya UU Cipta Kerja, pelaku pembangunan diwajibkan mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sebagai syarat utama untuk memulai pembangunan fisik. Namun, UU Cipta Kerja menghapus ketentuan mengenai IMB yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“UU 28/2002”). Dalam Pasal 24 ayat (1) UU Cipta Kerja dijelaskan bahwa:
“Persetujuan Bangunan Gedung adalah perizinan yang diberikan kepada Pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.”
Perubahan ini tidak semata-mata mengganti nomenklatur, melainkan menyempurnakan sistem perizinan dengan pendekatan berbasis standar dan klasifikasi. PBG difokuskan pada kesesuaian fungsi, klasifikasi, dan teknis bangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya, PBG adalah persetujuan yang diberikan oleh pemerintah daerah atau pemerintah pusat kepada pemilik bangunan gedung untuk memulai kegiatan pembangunan, yang pelaksanaannya harus memenuhi standar teknis bangunan.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (34) UU Cipta Kerja, yakni:
- Pelaksanaan pembangunan Bangunan Gedung dilakukan setelah mendapatkan Persetujuan Bangunan Gedung;
- Persetujuan Bangunan Gedung diperoleh setelah mendapatkan pernyataan pemenuhan standar teknis Bangunan Gedung dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat;
- Persetujuan Bangunan Gedung dimohonkan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat melalui sistem elektronik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat.
Persyaratan dan Prosedur Persetujuan Bangunan Gedung (PBG)
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“PP 16/2021”) mengatur sejumlah tahapan untuk mengurus izin Persetujuan Bangunan Gedung atau PBG). Ketentuan mengenai PBG diatur secara rinci melalui Pasal 253 PP 16/2021:
- Diatur dalam Pasal 253 ayat (1), dokumen rencana teknis diajukan kepada Pemda Kabupaten Kota atau Provinsi, seperti DKI Jakarta atau Pemerintah Pusat untuk memperoleh PBG sebelum pelaksanaan konstruksi;
- Pada ayat (2) dijelaskan bahwa dalam hal Bangunan Gedung Fungsi Khusus (BGFK), dokumen rencana teknis diajukan kepada Menteri. BGFK merupakan bangunan gedung yang telah ditetapkan statusnya sebagai bangunan cagar budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan tentang cagar budaya.
- Dalam ayat (4) disebutkan bahwa PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk membangun Bangunan Gedung atau prasarana Bangunan Gedung baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung atau prasarana Bangunan Gedung.
- Pada ayat (5) tertulis bahwa PBG meliputi proses konsultasi perencanaan dan penerbitan. Dokumen rencana teknis yang dimaksud pada ayat (1) akan diperiksa dan disetujui dalam proses konsultasi, sebagaimana ayat (5) huruf a. Selanjutnya merupakan tahapan konsultasi, sebagaimana yang diamanatkan dalam ayat (7) yang meliputi pendaftaran, pemeriksaan pemenuhan standar teknis, dan pernyataan pemenuhan standar teknis.
Konsultasi perencanaan seperti yang tertera dalam Pasal (5) huruf d dilakukan tanpa dipungut biaya. Sementara pendaftaran sebagaimana dalam Pasal (7) huruf a dilakukan oleh pemohon atau pemilik melalui Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung (SIMBG) melalui situs www.simbg.pu.go.id. SIMBG merupakan sistem elektronik berbasis web yang digunakan untuk melaksanakan proses penyelenggaraan PBG, SLF, SBKBG, RTB, dan pendataan bangunan gedung disertai dengan informasi terkait dengan penyelenggaraan bangunan gedung.
Baca juga: Regulasi Pemasangan PLTS Atap di Rumah, Panduan Lengkap bagi Pemilik Properti!
Pentingnya Klasifikasi Bangunan Gedung dalam Pengurusan PBG
Klasifikasi bangunan gedung memainkan peran penting dalam sistem perizinan dan regulasi konstruksi di Indonesia, terutama dalam pengurusan PBG. Diatur dalam Pasal 9 ayat (1) PP 16/2021, bahwa Bangunan Gedung diklasifikasikan berdasarkan:
- Tingkat kompleksitas;
- Tingkat permanensi;
- Tingkat risiko bahaya kebakaran;
- Lokasi;
- Ketinggian Bangunan Gedung;
- Kepemilikan Bangunan Gedung; dan
- Klas Bangunan.
Klasifikasi bangunan membantu menyederhanakan prosedur perizinan dengan menyesuaikan persyaratan berdasarkan karakteristik gedung. Bangunan dengan kompleksitas rendah biasanya memiliki persyaratan yang lebih ringan dibandingkan dengan bangunan berisiko tinggi. Hal ini menghindari birokrasi berlebihan dan mempercepat proses pembangunan tanpa mengorbankan aspek keselamatan.
Bangunan harus beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan tata kota yang berlaku. Misalnya, gedung dengan fungsi industri atau pusat bisnis memiliki dampak besar terhadap infrastruktur dan lingkungan, sehingga regulasi untuk jenis bangunan ini lebih kompleks dibandingkan dengan bangunan rumah tinggal biasa.
Klasifikasi bangunan gedung bukan sekadar pembagian administratif, tetapi juga merupakan strategi regulasi untuk memastikan keamanan, kelayakan, dan efisiensi pembangunan. Dengan memahami klasifikasi ini, pemilik bangunan dapat mengoptimalkan kepatuhan terhadap regulasi sekaligus mendapatkan manfaat dari prosedur yang lebih terstruktur dan efisien.
Transformasi dari IMB ke PBG melalui UU Cipta Kerja dan PP 16/2021 menunjukkan komitmen pemerintah dalam menyederhanakan prosedur perizinan, namun tetap menjaga prinsip keselamatan dan ketertiban tata bangunan. Dengan adanya PBG, proses perizinan menjadi lebih transparan, akuntabel, dan berbasis digital melalui SIMBG. Untuk itu, para pemilik bangunan, perencana, dan pelaku konstruksi diharapkan memahami dan mematuhi prosedur serta persyaratan dalam pengajuan PBG. Kesadaran ini penting demi terwujudnya pembangunan yang tertib, aman, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia.
Baca juga: Akibat Pemasangan Plang di Properti Milik Debitur
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (“UU Cipta Kerja”).
- Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“PP 16/2021”).
Referensi:
- Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung (SIMBG). (Diakses pada 9 April 2025 pukul 10.34 WIB).
- Mengenal Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) Pengganti Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Indonesia.go.id. (Diakses pada 9 April 2025 pukul 10.38 WIB).
- Cara Urus Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Indonesia.go.id. (Diakses pada 9 April 2025 pukul 10.42 WIB).