Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang disahkan pada akhir tahun 2022 masih mencantumkan pidana hukuman mati sebagai hukuman yang diberlakukan di Indonesia. Namun, dalam KUHP baru tersebut tidak menempatkan hukuman mati sebagai pidana pokok. Artinya, pidana mati bukan lagi pemidanaan yang bersifat utama.
Dalam KUHP yang mulai berlaku pada 2 Januari 2026 mendatang, terdapat perubahan penting dimana penerapan hukuman mati dengan pengaturan masa percobaan, seperti tercantum dalam Pasal 100 dan Pasal 101 KUHP. Perubahan ini mencerminkan adanya upaya untuk menyeimbangkan penegakan hukum dengan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya hak untuk hidup.
Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang dianut oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1948, menegaskan bahwa hak untuk hidup merupakan hak dasar yang tidak dapat dicabut, kecuali dalam keadaan tertentu yang sangat terbatas. Pasal 3 DUHAM menyatakan bahwa, “Setiap individu berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keamanan.” Oleh karena itu, hukuman mati sering kali dianggap bertentangan dengan prinsip tersebut, mengingat eksekusi mati tidak dapat dibatalkan setelah dilaksanakan.
Sejumlah negara telah menghapuskan hukuman mati lantaran penerapannya melanggar HAM terkait hak untuk hidup. Indonesia sebagai negara yang belum sepenuhnya menghapus hukuman mati, berupaya untuk menyesuaikan pelaksanaannya dengan perkembangan HAM, yaitu dengan menambahkan mekanisme baru yang lebih humanis dan progresif.
Pada Pasal 100 KUHP Baru mengatur bahwa pelaksanaan hukuman mati dapat ditetapkan dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun. Selama masa ini, eksekusi hukuman mati akan ditangguhkan dan sikap terpidana akan mendapatkan perhatian. Apabila terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dibarengi Keputusan Presiden RI setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung. Selengkapnya ketentuan Pasal 100 ayat (1), ayat (4), dan ayat (6) KUHP Baru dapat dikutip sebagai berikut:
“(1) Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan:
- rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau
- peran terdakwa dalam Tindak Pidana.
…
(4) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.
…
(6) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.”
Baca juga: Restorative Justice, Pendekatan Pemulihan Dalam Sistem Peradilan di Indonesia
Perspektif HAM terhadap Masa Percobaan
Penerapan masa percobaan yang terdapat dalam KUHP Baru merupakan upaya atau langkah untuk melindungi hak untuk hidup, yang menjadi inti dari HAM Internasional. Dengan adanya masa percobaan, hukuman mati tidak dapat langsung dilaksanakan, melainkan memberikan kesempatan untuk menilai kembali apakah hukuman tersebut masih relevan atau adil bagi terpidana mati.
Masa percobaan juga memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki diri dan mengajukan grasi atau amnesti. Hal ini mencerminkan prinsip bahwa setiap rehabilitasi sesuai dengan salah satu tujuan pemidanaan itu sendiri. Dalam hal ini, meskipun masih ada hukuman mati dalam sistem pemidanaan di Indonesia, namun kerangka hukum dan pelaksanaannya mengarah pada praktik yang progresif dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Pemberlakuan masa percobaan bagi terpidana hukuman mati yang diatur dalam Pasal 100 KUHP menjadi bagian penting yang mencerminkan upaya Indonesia dalam menyeimbangkan penegakan hukum secara tegas, namun tetap memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Perubahan ini menunjukkan kemajuan dalam sistem hukum Indonesia yang semakin peka terhadap isu-isu hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup.
Baca juga: Tanggung Jawab Orang Tua dan Sanksi bagi Pelaku Kekerasan Pada Anak
Author / Contributor:
Lintang Mutiara Savana, S.H Junior AssociateContact:Mail : lintang@siplawfirm.id Phone : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975 |