Kepemilikan identitas bagi setiap orang merupakan hal yang sangat penting karena tidak hanya memberikan status hukum dan pelindungan hukum bagi individu, namun hal itu juga mempermudah negara dalam melakukan identifikasi penduduk yang tinggal di wilayah negara tersebut melalui proses administrasi contohnya surat kematian.  

Pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU 24/2013”) dijelaskan bahwa administrasi kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penerbitan dalam penerbitan dokumen dan data kependudukan melalui pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi administrasi kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain.

Setiap perbuatan hukum membutuhkan bukti otentik untuk memberi kepastian hukum, memastikan keabsahan, serta melindungi hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang terlibat. Salah satu peristiwa hukum adalah kematian. Ketika seseorang dinyatakan meninggal, maka ketua rukun tetangga (RT) atau nama lainnya di domisili penduduk tersebut wajib melaporkan peristiwa kematian ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) paling lambat 30 hari sejak tanggal kematian. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk dilakukan pencatatan dan penerbitan suatu bukti otentik terkait kematian seseorang dalam bentuk Akta/Surat Kematian sebagaimana hal ini telah diatur dalam Pasal 44 UU 24/2013. 

Pencatatan dalam surat kematian sebagaimana tertulis di atas didasari atas keterangan kematian dari pihak yang berwenang dengan catatan apabila tidak ada kejelasan mengenai keberadaan seseorang, baik hilang atau mati namun tidak ditemukan jenazahnya, maka pencatatan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan. Selain itu, jika kematian seseorang yang tidak memiliki identitas yang jelas, maka pencatatan dilakukan atas keterangan dari kepolisian. 

Pembuatan akta kematian yang diterbitkan oleh Disdukcapil memberikan manfaat, khususnya bagi keluarga yang ditinggalkan, diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Sebagai bukti otentik yang dapat dijadikan sebagai alat bukti di hadapan hakim atau di pengadilan (jika terjadi perselisihan);
  2. Memberikan kepastian hukum bahwa benar telah terjadi peristiwa kematian seseorang;
  3. Sebagai pencegah terjadinya penyalahgunaan data almarhum;
  4. Untuk melaksanakan perbuatan hukum lainnya, seperti mengurus klaim asuransi, pembagian waris, dana pensiun, serta sebagai syarat perkawinan bagi suami/istri almarhum.

Seseorang yang kematiannya tidak diketahui dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) dikenal dengan sebutan keadaan tidak hadir (afwezigheid). Ketidakhadiran seseorang dalam hal ini dapat terjadi karena tidak diketahui keberadaannya, hilang, serta belum dapat dipastikan orang tersebut masih hidup atau sudah meninggal. Sebagaimana hal ini pun tertera dalam Pasal 467 KUHPerdata yang pada intinya mengatur prosedur terkait seseorang yang telah meninggalkan tempat tinggal tanpa memberikan kuasa untuk mengurus kepentingannya dan tidak diketahui keberadaannya selama 5 tahun, maka pihak-pihak yang memiliki kepentingan dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri di tempat tinggal terakhir orang tersebut untuk memanggil secara resmi melalui pengumuman selama minimal 3 bulan atau lebih, sesuai ketetapan pengadilan.

Dalam UU 24/2013 pun tertera regulasi mengenai hilangnya seseorang yang belum dapat dipastikan keberadaannya, serta tidak dapat dipastikan apakah orang tersebut masih hidup atau tidak. Sebagaimana hal ini tertera dalam Pasal 44 ayat (4) UU 24/2013 yang berbunyi:

“Dalam hal terjadi ketidakjelasan keberadaan seseorang karena hilang atau mati tetapi tidak ditemukan jenazahnya, pencatatan oleh Pejabat Pencatatan Sipil baru dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan”

Baca juga: Memahami Tata Cara Mewariskan Harta Menurut KUH Perdata

KUHPerdata menjelaskan bahwa terdapat 3 tahapan terkait ketidakhadiran seseorang, yakni sebagai berikut:

  • Masa tindakan sementara

Tahapan ini tertera dalam Pasal 463 KUHPerdata yang menyatakan keadaan dimana seseorang meninggalkan tempat tinggal dengan tidak memberikan kuasa kepada siapapun untuk mewakilinya dalam mengurus urusannya selama 5 tahun. Terdapat persyaratan yang harus dipenuhi pada tahap ini, yakni: orang yang bersangkutan tidak ada di tempat tinggalnya dan tidak mengurus urusannya hingga jatuh tempo.

  • Masa mulai dikeluarkan peraturan persangkaan mati

Tahap ini terjadi ketika seseorang meninggalkan tempat tinggalnya dan dalam waktu yang lama ia tidak pulang tanpa memberikan kabar terkait kondisinya, maka hal tersebut dapat menjadi dasar persangkaan bahwa ia tidak akan pulang karena meninggal dunia. Istilah waktu yang lama dalam tahap ini diatur dalam Pasal 467 dan 470 KUHPerdata, yakni:

    1. 5 tahun jika seseorang  tidak hadir dan tidak mengangkat minimal seorang kuasa untuk mengatur kepentingannya;
    2. 10 tahun jika seseorang tidak hadir meninggalkan kuasa untuk mengatur urusannya
    3. 1 tahun jika seseorang tidak hadir ternyata merupakan anak buah atau penumpang kapal yang telah dinyatakan hilang atau kecelakaan

Akibat dari tahap ini adalah hak-hak seseorang yang diberi persangkaan meninggal

beralih sementara kepada ahli waris disertai dengan batasan tertentu.

  • Masa peralihan hak kepada ahli waris secara definitif

Pada tahap ini terdapat persangkaan yang kuat terkait meninggalnya seseorang karena ketidakhadirannya. Terkait pewarisan definitif dapat terjadi apabila telah diperoleh kepastian terkait meninggalnya seseorang yang tidak hadir, sementara itu jika tidak ditemukan kabar terkait meninggalnya seseorang yang tidak hadir, maka pewarisan akan dilakukan jika telah melewati batas waktu 30 tahun sejak pernyataan barangkali meninggal dunia sebagaimana penetapan pengadilan atau telah melebihi 100 tahun sejak kelahiran seseorang yang tidak hadir tersebut. 

Akibat hukumnya adalah ahli waris beserta pihak yang mendapat waris berhak menuntut pembagian waris atas harta yang dimiliki oleh seseorang yang tidak hadir. Selain itu, pihak suami atau istri yang ditinggalkan dapat melakukan perkawinan sebagaimana hal ini tertera dalam Pasal 493 KUHPerdata yang berbunyi:

“Bila salah seorang dari suami isteri, selain meninggalkan tempat tinggal dengan kemauan buruk, selama sepuluh tahun penuh tak hadir di tempat tinggalnya tanpa berita tentang hidup matinya orang itu, maka suami isteri yang ditinggalkan berwenang untuk memanggil orang yang tak hadir itu tiga kali berturut-turut dengan panggilan, menurut cara yang ditentukan dalam Pasal 467 dan 468, dengan izin dari Pengadilan Negeri di tempat mereka bersama.

Baca juga: Syarat, Rukun, dan Pembagian Harta Dalam Hukum Waris

Daftar Hukum:

Referensi: