Sengketa agraria merujuk pada konflik yang muncul karena adanya klaim yang berbeda terkait dengan kepemilikan, penguasaan, atau penggunaan tanah. Di Indonesia, sengketa ini dapat muncul akibat ketidaksesuaian status hukum tanah atau permasalahan terkait administrasi pertanahan. Tanah yang tidak tercatat dengan sah, atau yang tidak memiliki sertifikat resmi, seringkali menjadi sumber konflik. Tanpa adanya bukti sah, seperti sertifikat tanah, pihak lain bisa saja mengklaim tanah tersebut sebagai milik mereka.

Selain itu, sengketa agraria juga bisa timbul karena berbagai faktor lainnya. Salah satu penyebab utama adalah ketidakjelasan status hukum tanah. Tanah yang tidak tercatat secara sah atau tidak memiliki sertifikat resmi seringkali menjadi titik awal perselisihan. Pengalihan tanah yang tidak sah, seperti jual beli tanah yang tidak melibatkan notaris atau tidak sesuai prosedur hukum, juga bisa menjadi penyebab munculnya sengketa agraria. Dalam beberapa kasus, tanah yang digunakan untuk kepentingan pribadi atau pihak tertentu tanpa izin atau tanpa mengikuti ketentuan yang berlaku dapat menimbulkan perselisihan. Perubahan tata guna tanah yang tidak sah juga kerap menjadi masalah. Misalnya, ketika tanah pertanian dialihfungsikan menjadi tanah untuk pembangunan tanpa izin yang sah.

Faktor lainnya yang turut mempengaruhi adalah persaingan ekonomi dan kepentingan pembangunan. Proyek besar yang melibatkan tanah seringkali menjadi pemicu konflik, terutama ketika ada pihak yang merasa dirugikan atau tidak mendapatkan ganti rugi yang adil. Hal ini memperburuk situasi karena kepentingan pembangunan seringkali bertentangan dengan hak-hak individu atas tanah mereka. Banyak pihak yang terlibat dalam sengketa tidak menyadari sepenuhnya hak-hak mereka, prosedur hukum, dan ketentuan yang berlaku, yang mengarah pada konflik yang lebih luas.

Hak-Hak Pemilik Tanah dalam Sengketa Agraria

Sebagai pemilik tanah yang sah, ada sejumlah hak yang dilindungi oleh hukum Indonesia dalam menghadapi sengketa agraria. Hak-hak ini bertujuan untuk melindungi pemilik tanah dari klaim yang tidak sah serta memberikan perlindungan hukum atas kepemilikan tanah mereka. Salah satu hak utama yang dimiliki oleh pemilik tanah adalah hak untuk memiliki dan menguasai tanah mereka. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”), hak milik atas tanah adalah hak yang paling kuat dan memberikan perlindungan hukum yang sah bagi pemiliknya. Pasal 20 Ayat (1) UUPA menegaskan bahwa pemilik hak milik memiliki hak penuh untuk menguasai dan menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya. Dalam hal ini, pemilik tanah memiliki hak untuk mempertahankan tanah mereka dari klaim pihak lain yang tidak sah.

Selain itu, pemilik tanah yang sah berhak mendapatkan perlindungan hukum dari negara terhadap segala bentuk klaim atau penguasaan tanah yang tidak sah. Negara, sebagai pemegang kuasa atas tanah, memberikan perlindungan terhadap hak-hak yang sah atas tanah melalui regulasi dan kebijakan yang ada. Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) mengatur bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat, termasuk memberikan perlindungan terhadap pemilik tanah yang sah. Dalam hal terjadi pengalihan atau penyalahgunaan tanah, pemilik berhak untuk memperoleh ganti rugi yang layak.

Di Indonesia, kepemilikan tanah diatur dalam berbagai jenis hak sesuai dengan UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang mengklasifikasikan hak tanah berdasarkan perorangan atau badan hukum. Jenis-jenis hak tersebut mencakup hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, serta hak-hak lain yang tidak termasuk dalam ketentuan undang-undang, termasuk hak sementara.

  1. Hak Milik adalah jenis hak atas tanah yang paling kuat, lengkap, dan turun-temurun, yang hanya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia. Hak ini dapat dialihkan ke pihak lain, namun negara membatasi luas tanah hak milik untuk individu sebagai tempat tinggal, yaitu maksimal 5000 meter persegi. Bagi warga negara asing, menurut Permen ATR/BPN No.29 Tahun 2016, batasan luas tanah untuk rumah tinggal lebih kecil, hanya 2000 meter persegi.
  2. Hak Guna Usaha (HGU) memberikan hak kepada individu atau badan hukum untuk mengelola tanah yang dikuasai oleh negara, dengan tujuan pertanian, perikanan, atau peternakan, selama maksimal 25 tahun. Tanah yang diberikan hak ini harus berukuran minimal 5 hektar, dan jika lebih dari 25 hektar, maka harus dilengkapi dengan investasi modal yang memadai serta teknik perusahaan yang mengikuti perkembangan zaman.
  3. Hak Guna Bangunan (HGB) memberikan hak kepada individu atau badan hukum untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan masa berlaku maksimal 30 tahun. HGB hanya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan serta berkedudukan di Indonesia. Jika pemilik HGB tidak lagi memenuhi syarat, mereka diwajibkan untuk mengalihkan hak tersebut dalam jangka waktu satu tahun.
  4. Hak Pakai memberi hak kepada individu untuk menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai negara atau milik orang lain, berdasarkan perjanjian dengan pemilik tanah yang bukan berbentuk sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah. Hak pakai diberikan untuk jangka waktu maksimal 25 tahun dan bisa diperpanjang hingga 20 tahun atau sesuai dengan kebutuhan tertentu selama tanah tersebut digunakan.
  5. Hak Tanah Pertanian diatur dalam Pasal 3 ayat (3) Permen ATR/BPN No.18 Tahun 2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian, yang membatasi luas tanah pertanian untuk individu berdasarkan tingkat kepadatan penduduk, dengan batasan antara 6 hingga 20 hektar. Sedangkan untuk badan hukum, batasan kepemilikan tanah pertanian ditentukan sesuai dengan surat keputusan pemberian hak yang bersangkutan.

Baca juga: Proses Penerbitan dan Pembatalan Sertifikat Tanah: Kepastian Hukum dan Jalur Penyelesaiannya

Batasan kepemilikan tanah di Indonesia sangat bergantung pada tujuan penggunaan dan pemanfaatannya. Pembatasan terkait tanah pertanian juga berlaku sesuai dengan ketentuan yang tertulis dalam surat keputusan pemberian hak kepada badan hukum.

Pemilik tanah memiliki hak untuk menuntut ke pengadilan apabila hak mereka dilanggar atau terancam oleh pihak lain. Berdasarkan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”) sertifikat tanah merupakan alat bukti yang kuat mengenai kepemilikan tanah, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya di pengadilan. Jika terdapat sengketa terkait penguasaan atau kepemilikan tanah, pemilik tanah dapat mengajukan gugatan ke pengadilan guna mempertahankan haknya.

Pemilik tanah juga berhak untuk mendapatkan ganti rugi jika tanah yang mereka miliki digunakan oleh pihak lain tanpa izin atau melanggar hak mereka. Pasal 18 UUPA menyatakan bahwa apabila tanah milik seseorang digunakan untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.

Baca juga: Penting Diketahui, Ini Syarat dan Prosedur Balik Nama Sertifikat Tanah

Daftar Hukum: