Going Concern atau asas kelangsungan usaha biasa digunakan di bidang akuntansi yang berkaitan dengan laporan keuangan suatu perusahaan. Dalam praktek bisnis Going Concern digunakan sebagai parameter dalam memperkirakan kemampuan usaha suatu perusahaan dalam mempertahankan kegiatan usahanya dalam jangka waktu tertentu. 

Dalam konteks perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Indonesia, konsep Going Concern digunakan pada perusahaan (entitas) yang dipandang masih memiliki prospek mendapatkan keuntungan dari produk/jasa yang dihasilkan. Meski Pengadilan Niaga sudah menyatakan perusahaan itu pailit, namun karena dinilai masih memiliki prospek, entitas tersebut diberikan kesempatan untuk terus beroperasi. 

Michael C. Dennis dalam artikel “The Going Concern and The Auditor’s Opinion Letter” mengemukakan sembilan indikator bagi para akuntan untuk tidak memberikan opini Going Concern jika ditemukan kondisi-kondisi sebagai berikut;

  1. Arus uang kas minus;
  2. Mengalami kerugian secara signifikan;
  3. Penurunan serius dalam penjualan dan permintaan;
  4. Tidak dapat membayar utang kepada kreditur separatis;
  5. Pelanggaran kesepakatan perjanjian pinjaman;
  6. Ada kewajiban besar yang harus dilaksanakan pembayarannya sebelum jatuh tempo;
  7. Terjadi pengembalian produk secara massal;
  8. Hak gadai pajak yang ditanggung perusahaan;
  9. Ada gugatan hukum yang diajukan terhadap perusahaan, khususnya gugatan cedera pribadi

Penerapan asas Going Concern diatur Pasal 179 dan Pasal 184 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Pasal ini menerangkan bahwa Going Concern dapat dijalankan jika ada kesepakatan antara kreditur dan kurator terkait kelanjutan usaha debitur pailit. Usulan penerapan skema ini disampaikan oleh kurator atau kreditur dengan mendapatkan persetujuan kreditur yang mewakili ½ dari seluruh jumlah piutang yang diakui atau diterima sementara. Akan tetapi, upaya ini tidak berlaku terhadap hak gadai, jaminan fidusia, hipotik, hak tanggungan, dan hak agunan atas kebendaan lainnya. 

Upaya Going Concern dapat diusulkan oleh kurator pada tahap verifikasi aset-aset milik debitor pailit atau bisa juga dilakukan setelah proses verifikasi. Apabila perusahaan itu dinilai masih memiliki prospek dan menguntungkan, maka keuntungan yang diperoleh perusahaan tersebut masuk dalam daftar harta pailit atau budel pailit. 

Namun jika ternyata keberlangsungan usaha debitur dianggap bisa berdampak dan merugikan harta pailit, kurator atau kreditor dapat mengusulkan kepada Hakim Pengawas agar upaya tersebut dihentikan. Hal ini juga berlaku jika penerapan asas keberlangsungan usaha dipandang tidak lagi memberikan nilai lebih bagi mayoritas kreditor, maka upaya Going Concern tidak perlu lagi dilanjutkan. 

Apabila keberlangsungan usaha debitr pailit tidak dapat dilanjutkan, kurator harus secepatnya membereskan penjualan aset-aset milik debitur dengan merujuk pada tata cara sesuai undang-undang. Pemberesan itu dilakukan tanpa perlu mendapat persetujuan debitur dan hasil dari penjualan aset tersebut dibagikan kepada seluruh kreditur secara proporsional berdasarkan besar dan kecilnya nilai piutang.  

Selain itu, jika debitor sudah dinyatakan pailit, berdasarkan Pasal 104 UU 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa kurator dapat melanjutkan usaha debitur yang didasarkan adanya persetujuan panitia kreditor, meskipun putusan pailit itu masih dalam proses kasasi atau peninjauan kembali (PK). Namun jika dalam proses pemeriksaan perkara kepailitan tidak ada panitia kreditor, kurator dapat meminta izin Hakim Pengawas untuk melanjutkan usaha debitor. 

Namun pada praktiknya terkadang Hakim Pengawas dalam memutuskan debitor pailit untuk Going Concern memerlukan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pada situasi ini Hakim Pengawas harus berhati-hati sebelum mengambil keputusan lantaran belum tentu seluruh kreditur sependapat dengan upaya penerapan Going Concern. Ada sebagian kreditor ingin piutangnya segera dibayar oleh debitur pailit. Situasi ini menyebabkan Hakim Pengawas tidak bisa langsung mengambil keputusan karena harus mempertimbangkan masukan dari kreditor dan kurator.

Baca Juga: Inilah Tugas dan Wewenang Hakim Pengawas