Pertanggungjawaban pidana terhadap kejahatan luar biasa (extraordinary crime), seperti narkotika, korupsi, terorisme, sering kali mengalami hambatan dalam mengungkap “dalang” atau “aktor utama” yang berada di balik tindak pidana. Sebagai langkah inovatif dalam menangani perkara pidana yang dilakukan secara sistematik dan terorganisir, pemerintah telah mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2025 yang merupakan bentuk pelaksana dari ketentuan pada Pasal 10A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014. Melalui regulasi ini, negara memberikan legitimasi kepada saksi pelaku yang turut bekerja sama (justice collaborator) sebagai bagian untuk mengusut tuntas suatu kasus pidana.

Bentuk Penanganan Khusus dan Penghargaan yang Diberikan bagi Saksi Pelaku

Pada tahun 2014, pemerintah telah mengatur ketentuan mengenai perlindungan terhadap saksi pelaku sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU 31/2014”), namun tampak beberapa kelemahan yang cukup signifikan terhadap regulasi tersebut, salah satunya adalah terkait pemberian layanan perlindungan saksi pelaku. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku (“PP 24/2025”) untuk mengatur secara komprehensif mengenai mekanisme penanganan secara khusus dan pemberian penghargaan bagi saksi pelaku.

Pada Pasal 1 angka 1 PP 24/2025 menjelaskan bahwa saksi pelaku merupakan tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama. Dalam hukum pidana, saksi pelaku dikenal dengan istilah justice collaborator. Dalam rangka menegakkan hukum, sanksi pelaku memiliki peran yang penting, diantaranya untuk membantu mengungkap suatu tindak pidana yang telah atau akan terjadi, menyampaikan informasi yang relevan kepada aparat penegak hukum, serta memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses persidangan.

Menurut Pasal 10 ayat (1) UU 31/2014, saksi pelaku tidak dapat dituntut secara hukum atas kesaksiannya baik dalam perkara pidana maupun perdata selama disampaikan dengan itikad baik. Maka dari itu, terdapat fasilitas hukum yang dapat diberikan kepada saksi pelaku sebagaimana hal ini tertera dalam Pasal 2 PP 24/2025 yang berbunyi:
“Saksi pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.”

Fasilitas penanganan secara khusus meliputi perlindungan terhadap keselamatan fisik maupun mental. Secara lengkap, hal ini tertuang dalam Pasal 3 PP 24/2025, yakni:

“Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

  • Pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antar saksi pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya;
  • Pemisahan pemberkasan antara berkas saksi pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya; dan/atau
  • Memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.”

Selain penanganan khusus, pemerintah memberikan penghargaan atas kesaksian saksi pelaku sebagaimana hal ini tertera dalam Pasal 3 PP 24/2025 yang menyebutkan bahwa:

“Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan dalam bentuk:

  • Keringanan penjatuhan pidana; atau
  • Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi saksi pelaku yang berstatus narapidana.”

Pada Pasal 10A ayat (4) UU 31/2014 menyebutkan bahwa penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim. Sementara itu, penghargaan atas kesaksian dalam bentuk pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lainnya dilakukan oleh LPSK dengan memberikan rekomendasi secara tertulis kepada Menteri Hukum. 

Mekanisme Mendapat Penanganan secara Khusus bagi Terpidana

Pasal 1 angka 32 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) mendefinisikan istilah terpidana sebagai seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Status terpidana melekat ketika seseorang telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana oleh pengadilan, serta tidak memiliki upaya hukum biasa untuk membantah putusan tersebut. Pada kondisi tertentu, seorang terpidana tetap dapat dimungkinkan untuk mendapat perlakuan khusus dari aparat negara dalam mengungkap suatu tindak pidana dengan berperan sebagai sanksi pelaku yang bekerja sama.

Berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan (2) PP 24/2025, seseorang yang merupakan terpidana atau melalui kuasanya dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan penanganan secara khusus melalui elektronik atau nonelektronik secara tertulis dalam bahasa Indonesia. Permohonan tersebut diajukan kepada:

  1. Penyidik yang sedang memeriksa perkara tersangka untuk kasus yang sama dengan terpidana;
  2. Penuntut umum yang sedang memeriksa perkara terdakwa untuk kasus yang sama dengan terpidana; atau 
  3. Pimpinan LPSK

Permohonan yang diajukan harus memenuhi persyaratan substantif dan administratif. Selain itu, jika mengajukan permohonan kepada LPSK, terpidana pun harus melampirkan salinan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Setelah itu, penyidik, penuntut umum, atau pimpinan LPSK akan memeriksa terkait persyaratan substantif dan administratif dalam jangka waktu maksimal 5 hari terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.

Apabila berkas milik pemohon, baik administratif maupun substantif dinyatakan lengkap dan diterima, maka terpidana berhak mendapatkan penanganan secara khusus dalam bentuk pemisahan tempat menjalani pidana dan pemberian kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa. Akan tetapi, apabila berkas permohonan dinyatakan tidak lengkap, maka pemohon akan diberitahukan oleh pihak yang berwenang secara elektronik atau nonelektronik dan diminta untuk melengkapi dokumen yang dibutuhkan dalam jangka waktu paling lama 7 hari terhitung sejak tanggal pemberitahuan disampaikan. Jika pemohon belum juga melengkapi dokumen dalam jangka waktu yang diberikan, maka permohonan akan dinyatakan ditolak.

Setelah memberikan penanganan secara khusus kepada saksi pelaku, aparat penegak hukum beserta pimpinan LPSK mengevaluasi pemberian penanganan secara khusus tersebut sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan beberapa kriteria. Apabila saksi pelaku tidak memenuhi kriteria, maka penanganan secara khusus akan dihentikan, begitupun sebaliknya.

Baca juga: Kedudukan Saksi, Saksi Mahkota Dalam Perkara Pidana

Mekanisme Pemberian Penghargaan bagi Terpidana

Ketika terpidana telah dinyatakan secara sah bersedia untuk bekerja sama dalam mengusut suatu kasus dalam melakukan penegakkan hukum, maka LPSK dapat berkoordinasi kepada penuntut umum untuk memberikan rekomendasi penghargaan kepada terpidana. Adapun menurut Pasal 31 ayat (4) PP 24/2025 terdapat beberapa kriteria yang perlu diperhatikan oleh penuntut umum untuk melakukan evaluasi, yakni sebagai berikut:

  1. Kualitas keterangan yang disampaikan saksi pelaku;
  2. Konsistensi keterangan yang disampaikan saksi pelaku pada setiap tahapan pemeriksaan; dan/atau 
  3. Sikap kooperatif saksi pelaku dengan penyidik, penuntut umum, dan LPSK.

Rekomendasi penghargaan disampaikan oleh LPSK kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) untuk memberikan hak-hak lain, seperti remisi tambahan atau pembebasan bersyarat. Pemberian penghargaan kepada saksi pelaku tidak bersifat mutlak dan tetap tunduk pada evaluasi yang dilakukan secara berkala. Apabila saksi pelaku dinilai tidak lagi memenuhi persyaratan atau memberikan keterangan palsu, maka penghargaan tersebut dapat dibatalkan. Oleh karena itu, integritas, kejujuran, serta konsistensi dalam memberikan keterangan menjadi prasyarat mutlak bagi saksi pelaku untuk mendapatkan insentif hukum sebagaimana hal ini diatur dalam PP 24/2025.

Adanya reformasi hukum yang menerapkan penegakan hukum sebagai proses kolaboratif antara pelaku kejahatan, penegak hukum, dan LPSK melalui PP 24/2025 memberikan keuntungan sebagai efektivitas dan efisiensi dalam menegakkan hukum. Tak hanya itu, PP 24/2025 pun berkontribusi terhadap perubahan perilaku kepada pihak yang sebelumnya terlibat pada tindak kejahatan. Akan tetapi, implementasi terhadap ketentuan PP 24/2025 tetap harus diawasi secara ketat agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang justru ingin memanipulasi proses hukum. Dengan demikian, keterlibatan para pihak harus dilakukan secara profesional dan transparan.***

Baca juga: Mekanisme Perlindungan Saksi dan Korban dalam Kasus Pidana

Daftar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)
  • Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU 31/2014”) 
  • Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku (“PP 24/2025”)

Referensi:

  • Justice Collaborator: Dasar Hukum, Hak, dan Perlindungannya. hukumonline. (Diakses pada 14 Juli 2025 pada 15.07 WIB).