Saksi dalam suatu perkara pidana adalah orang yang memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan dan penuntutan tentang suatu perkara pidana yang didengarnya, dilihatnya, atau dialaminya sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Keterangan seorang saksi dapat dianggap sah secara hukum sebagai alat bukti jika memenuhi sejumlah persyaratan, baik formil maupun materil. Menurut KUHAP persyaratan menjadi saksi, antara lain;
- Cakap hukum, kecuali undang-undang menentukan lain;
- Saksi tidak boleh memiliki hubungan darah lurus dengan pihak terkait;
- Saksi tidak boleh memiliki hubungan suami/istri, meskipun sudah bercerai;
- Saksi wajib mengucapkan sumpah sebelum memberikan keterangan.
Dalam memberikan kesaksiannya saksi wajib memberikan keterangan berdasarkan fakta apa yang dilihat, didengar, dan dialaminya sendiri, bukan pendapat atau kesimpulannya pribadi. Keterangan saksi juga tidak boleh bertentangan dengan akal sehat.
Selama menjalani pemeriksaan, saksi memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan sopan, mendapat perlindungan secara hukum, dan menolak memberikan keterangan yang dapat beresiko bagi dirinya sendiri atau keluarganya terkait suatu perkara pidana.
Jenis-jenis Saksi
Ada sejumlah saksi dalam suatu kasus perkara pidana. Masing-masing kedudukan Saksi-saksi ini sesuai dengan keahliannya atau apa yang dialaminya sendiri. Jenis-jenis saksi itu antara lain:
- Saksi Fakta
Saksi yang memberikan keterangan mengenai peristiwa pidana yang ia dengar, ia lihat, dan ia alami sendiri. Keterangan saksi fakta dapat menjadi salah satu alat bukti di dalam suatu perkara pidana.
- Saksi Ahli
Saksi yang memiliki keahlian/kecakapan khusus pada bidang tertentu dan memberikan keterangan sesuai dengan keahlian/kecakapan yang dimilikinya. Keterangan saksi ahli juga merupakan alat bukti dalam hukum acara pidana.
- Saksi Korban
Saksi ini memberikan keterangan atas peristiwa yang mereka alami sendiri atas perbuatan tersangka/terdakwa.
- Justice Collaborator
Saksi yang membantu atau bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam mengungkap dan memberikan informasi suatu tindak pidana serta mengembalikan aset/hasil tindak pidana tersebut.
- Saksi Mahkota
Saksi ini merupakan perluasan dari definisi saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP. Saksi mahkota adalah keterangan salah satu pelaku (terdakwa) yang bersama-sama melakukan tindak pidana.
Untuk lebih jelasnya kedudukan saksi mahkota akan dijelaskan pada keterangan sebagai berikut:
- Saksi mahkota merupakan saksi yang berasal dari salah seorang terdakwa yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana;
- Istilah saksi mahkota merupakan perluasan dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 65/PUU-VIII/2010 terkait uji materiil UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Putusan MK menyatakan bahwa keterangan saksi tidak selalu apa yang didengar, dilihat, dan dialami sendiri;
- Saksi mahkota tidak tercantum dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), namun keberadaan saksi ini sudah dikenal dan lazim diajukan sebagai alat bukti. Dalam prakteknya, saksi mahkota digunakan sebagai penyertaan (deelneming), dijadikan saksi terhadap terdakwa lainnya karena alasan minimnya alat bukti;
- Karena bersifat penyertaan, maka berkas perkara saksi mahkota yang juga tersangka/terdakwa dalam perkara pidana harus dipisah dengan tersangka/terdakwa lainnya (splitsing) sehingga terdakwa yang satu dapat menjadi saksi terhadap terdakwa lainnya;
Meskipun dalam prakteknya saksi mahkota pernah digunakan dalam perkara pidana kasus korupsi mantan Gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin dalam kasus Bank Bali dan kasus pidana mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar, namun Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 jo. Nomor 1592 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 menyatakan pemeriksaan terhadap saksi mahkota bertentangan dengan hukum acara dan hak asasi manusia (HAM).