Cuti melahirkan atau maternity leave menjadi salah satu program yang mampu mendukung keseimbangan bekerja dan memenuhi tanggung jawab seorang perempuan dalam keluarga. Mendapatkan cuti hamil atau melahirkan merupakan hak pekerja perempuan agar bisa beristirahat selama kehamilan dan pasca persalinan. Hak maternitas merupakan hak asasi manusia yang khusus melekat pada perempuan karena fungsi reproduksinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Fungsi ini bukan hanya bersifat personal, melainkan juga sosial karena berkaitan langsung dengan keberlangsungan kehidupan manusia dan bangsa. Oleh sebab itu, pemenuhan dan perlindungan hak maternitas menjadi tanggung jawab semua pihak, terutama negara. Pemenuhan hak maternitas juga menjadi salah satu pemenuhan prinsip keadilan substantif berbasis gender, sehingga tak boleh berdampak pada pembakuan peran gender perempuan di ruang domestik, pembatasan pemenuhan hak bekerja dan berserikat bagi perempuan pekerja.

Dalam rangka memenuhi hak maternitas pekerja perempuan, pemerintah pun meresmikan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (“UU KIA”) yang diteken langsung oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Juli 2024 lalu. Diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dijelaskan bahwa setiap ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan dengan ketentuan:

  1. Paling singkat 3 (tiga) bulan pertama; dan
  2. Paling lama 3 (tiga) bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

Kondisi khusus sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) huruf a angka 2 meliputi:

  1. Ibu yang mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan/atau komplikasi pasca persalinan atau keguguran; dan/atau
  2. Anak yang dilahirkan mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan/atau komplikasi.

Baca Juga: Hak dan Kewajiban Karyawan Menurut UU Cipta Kerja

Selama menjalani masa cuti tersebut, pada Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU KIA mewajibkan pemberi kerja untuk memenuhi hak maternitas pekerja perempuan. Dalam ayat (1) disebutkan bahwa setiap ibu yang melaksanakan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan tetap memperoleh haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Lalu pada ayat (2) menyebut setiap ibu yang melaksanakan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a berhak mendapatkan upah:

  1. Secara penuh untuk 3 (tiga) bulan pertama;
  2. Secara penuh untuk bulan keempat; dan
  3. 75% (tujuh puluh lima persen) dari upah untuk bulan kelima dan bulan keenam.

Jika seorang ibu yang sedang melaksanakan cuti melahirkan diberhentikan dari pekerjaannya dan/atau tidak memperoleh haknya, pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah memberikan bantuan secara hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Masing-masing perusahaan memiliki kebijakan yang berbeda terkait dengan cuti melahirkan, namun tetap harus merujuk pada Undang-Undang yang berlaku. Bagi perusahaan yang tidak menjalankan kewajiban memberikan cuti melahirkan kepada pekerja perempuannya dapat dijerat pidana dan tindakannya termasuk tindak pidana kejahatan. Selain itu, perusahaan juga dilarang melakukan pemecatan terhadap pekerja perempuan yang tengah hamil, melahirkan, keguguran, atau tengah menyusui. Sebagaimana yang tertera pada Pasal 153 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (“UU Cipta Kerja”), yakni pengusaha dilarang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja kepada pekerja/buruh dengan alasan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya. 

Syarat dan tata cara pengajuan cuti melahirkan disesuaikan dengan kebijakan yang berlaku di perusahaan masing-masing. Akan tetapi, seorang pekerja yang ingin mengajukan cuti perlu memberikan pemberitahuan, baik secara tertulis maupun lisan kepada atasan dan manajemen yang bertanggungjawab di perusahaan. Selain itu wajib membuat surat pengajuan cuti hamil yang disertai dengan surat keterangan dokter atau bidan. Surat keterangan ini memuat informasi mengenai jumlah minimal hari yang harus dilakukan untuk masa-masa pemulihan setelah melahirkan.

Baca Juga: Syarat Pemotongan Gaji Karyawan Beserta Regulasinya

 Daftar Hukum:

Referensi: