Transformasi energi global menuju sumber daya terbarukan telah menempatkan kawasan ASEAN sebagai salah satu pusat perhatian investor internasional. Dengan populasi lebih dari 700 juta jiwa dan pertumbuhan ekonomi yang stabil, kebutuhan energi di ASEAN terus meningkat. Di sisi lain, komitmen negara-negara ASEAN terhadap Paris Agreement dan target net zero emission mendorong percepatan investasi hijau.

Tahun 2025 hingga 2026 menjadi momentum penting, yakni ASEAN diproyeksikan mampu menarik investasi hijau hingga Rp830 triliun per tahun hingga 2030. Namun, di balik peluang besar ini, proyek energi terbarukan lintas batas menghadapi tantangan hukum yang kompleks. Perbedaan regulasi antarnegara, struktur kepemilikan, serta mekanisme penyelesaian sengketa menjadi faktor krusial yang harus diantisipasi oleh investor dan pemerintah.

 

Menilik Potensi Investasi Hijau di Kawasan ASEAN 

 

Potensi investasi hijau di kawasan ASEAN semakin menonjol seiring dengan meningkatnya kebutuhan energi bersih dan komitmen negara-negara anggota terhadap transisi energi. Menurut laporan Kumparan Bisnis, nilai investasi hijau di ASEAN diperkirakan mencapai Rp 830 triliun per tahun hingga 2030, sebuah angka yang mencerminkan daya tarik kawasan ini sebagai pasar energi terbarukan yang tumbuh pesat. 

Pertumbuhan ekonomi yang stabil, urbanisasi yang masif, serta meningkatnya kebutuhan listrik di kota-kota besar seperti Jakarta, Bangkok, dan Ho Chi Minh City menjadi faktor utama yang mendorong permintaan energi bersih. Kondisi ini membuka peluang besar bagi investor global untuk menanamkan modal pada proyek-proyek energi terbarukan, baik dalam bentuk pembangkit tenaga surya, tenaga angin, maupun hidroelektrik.

Selain faktor domestik, komitmen regional melalui ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation (APAEC) turut memperkuat prospek investasi hijau. Target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025 menjadi katalis bagi lahirnya proyek lintas batas yang lebih ambisius, termasuk interkoneksi listrik antarnegara dan pembangunan renewable energy corridor. Dukungan investor global semakin nyata, dengan keterlibatan perusahaan energi dari Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat yang melihat ASEAN sebagai pasar strategis untuk ekspansi energi bersih. Salah satu contoh konkret adalah rencana ekspor listrik tenaga surya dari Batam ke Singapura melalui jaringan kabel bawah laut, yang menunjukkan bagaimana proyek lintas batas dapat menjadi model integrasi energi di kawasan.

Integrasi pasar karbon juga menjadi faktor penting yang memperkuat daya tarik investasi hijau di ASEAN. Dengan adanya regulasi perdagangan karbon di Indonesia dan beberapa negara lain, proyek energi terbarukan tidak hanya menghasilkan listrik, tetapi juga kredit karbon yang dapat diperdagangkan di pasar internasional. Hal ini memberikan nilai tambah bagi investor, sekaligus mendukung komitmen global terhadap pengurangan emisi. Proyek lintas negara seperti Laos–Thailand–Malaysia–Singapore Power Integration Project (LTMS-PIP) dan kerja sama hidroelektrik antara Vietnam dan Kamboja menunjukkan bahwa ASEAN mulai bergerak menuju model integrasi energi yang lebih komprehensif.

Dampak ekonomi dan sosial dari investasi hijau di ASEAN juga tidak dapat diabaikan. Penciptaan lapangan kerja baru di bidang konstruksi, teknologi, dan manajemen energi menjadi salah satu manfaat langsung yang dirasakan masyarakat. Selain itu, akses terhadap energi bersih yang lebih murah dan stabil meningkatkan daya saing industri lokal, sekaligus memperkuat posisi ASEAN dalam rantai pasok global. Dari sisi lingkungan, investasi hijau berkontribusi signifikan terhadap pengurangan emisi karbon, yang mendukung target net zero emission dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat.

Namun, di balik potensi besar tersebut, terdapat sejumlah tantangan yang harus diatasi. Kesenjangan regulasi antarnegara sering kali menjadi hambatan dalam pelaksanaan proyek lintas batas. Perbedaan kebijakan terkait kepemilikan asing, insentif fiskal, serta mekanisme perizinan dapat memperlambat realisasi investasi. Selain itu, keterbatasan infrastruktur interkoneksi listrik antarnegara masih menjadi kendala utama dalam mewujudkan integrasi energi kawasan. Risiko politik dan kebijakan yang berubah-ubah juga menambah kompleksitas bagi investor yang ingin masuk ke pasar ASEAN.

Dengan demikian, potensi investasi hijau di ASEAN memang sangat besar, tetapi keberhasilannya bergantung pada kemampuan negara-negara anggota untuk menyelaraskan regulasi, memperkuat infrastruktur, dan memberikan kepastian hukum bagi investor. Momentum ini menjadi titik krusial untuk membuktikan bahwa ASEAN mampu menjadi pusat energi bersih dunia, sekaligus memperkuat integrasi ekonomi regional melalui proyek-proyek energi terbarukan lintas batas.

 

Kebijakan yang Mendorong Arus Investasi Hijau

 

Arus investasi hijau di ASEAN, khususnya di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari kerangka kebijakan dan regulasi yang semakin progresif. Pemerintah Indonesia telah menegaskan komitmennya terhadap transisi energi melalui ratifikasi Paris Agreement yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim) (UU 16/2016). 

Ratifikasi ini menjadi landasan hukum yang mengikat, sekaligus memberikan arah bagi kebijakan nasional dalam menurunkan emisi gas rumah kaca. Dengan dasar hukum tersebut, Indonesia menempatkan energi terbarukan sebagai prioritas dalam bauran energi nasional, sehingga menciptakan kepastian bagi investor yang ingin masuk ke sektor ini.

Langkah konkret pemerintah terlihat dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik (Perpres 112/2022). Regulasi ini secara tegas membatasi pembangunan PLTU baru, kecuali dalam kondisi tertentu yang tidak dapat dihindari, sehingga memberikan sinyal kuat bahwa masa depan energi Indonesia akan bertumpu pada sumber daya terbarukan. Perpres ini juga mengatur mekanisme harga listrik dari energi terbarukan yang lebih kompetitif, sehingga meningkatkan daya tarik investasi.

Selain itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2025 tentang Pedoman Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik dari Pembangkit Tenaga Listrik yang Memanfaatkan Sumber Energi Terbarukan (Permen ESDM 5/2025) yang mengatur pedoman Power Purchase Agreement (PPA) untuk energi terbarukan. Aturan ini memberikan kepastian kontraktual bagi investor, termasuk skema take or pay, klausul force majeure, serta jangka waktu kontrak, sebagaimana diatur dalam Pasal:

  1. Pasal 7: Mengatur mengenai kewajiban PLN atau pembeli tenaga listrik untuk menerapkan skema take or pay dalam perjanjian jual beli tenaga listrik dari pembangkit energi terbarukan. Skema ini memberikan kepastian pendapatan bagi pengembang proyek, karena pembayaran tetap dilakukan meskipun terjadi penurunan beban listrik. 
  2. Pasal 4: Menyebutkan bahwa perjanjian jual beli tenaga listrik wajib memuat klausul force majeure. Klausul ini melindungi kedua belah pihak dari risiko kejadian luar biasa yang tidak dapat diprediksi, seperti bencana alam atau perubahan kebijakan pemerintah yang signifikan.

Dari sisi keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga berperan penting melalui Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon (POJK 14/2023). Regulasi ini membuka peluang integrasi investasi hijau dengan mekanisme pasar karbon, sehingga proyek energi terbarukan tidak hanya menghasilkan listrik, tetapi juga kredit karbon yang dapat diperdagangkan. Hal ini memberikan nilai tambah bagi investor sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam perdagangan karbon global.

Kebijakan fiskal dan insentif juga menjadi faktor pendorong utama. Pemerintah memberikan berbagai fasilitas, mulai dari pembebasan bea masuk untuk peralatan energi terbarukan, insentif pajak, hingga skema government guarantees bagi proyek strategis. Skema public-private partnership (PPP) semakin digalakkan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur energi bersih, dengan melibatkan peran swasta dalam pembiayaan dan pengelolaan proyek.

Tidak hanya Indonesia, negara-negara ASEAN lain juga mengeluarkan kebijakan serupa. Vietnam, misalnya, memberikan tarif feed-in untuk energi surya dan angin, sementara Thailand mendorong investasi melalui Program Alternative Energy Development Plan. Singapura, dengan keterbatasan lahan, fokus pada proyek lintas batas seperti impor listrik tenaga surya dari Indonesia dan Laos. Keseluruhan kebijakan ini menunjukkan bahwa ASEAN bergerak menuju harmonisasi regulasi energi terbarukan, meskipun masih terdapat perbedaan dalam detail implementasi.

Dengan adanya kebijakan yang semakin mendukung, arus investasi hijau di ASEAN diproyeksikan akan semakin deras. Regulasi yang jelas, insentif fiskal, serta komitmen politik yang kuat menjadi fondasi bagi investor untuk menanamkan modal dalam proyek energi terbarukan lintas batas. Namun, keberhasilan kebijakan ini tetap bergantung pada konsistensi implementasi dan kemampuan negara-negara ASEAN untuk menyelaraskan regulasi lintas yurisdiksi.

Baca juga: Energi Terbarukan dalam Industri Transportasi

 

Risiko Hukum Utama dalam Proyek Cross-Border Renewable Energy

 

Proyek energi terbarukan lintas batas di ASEAN menghadapi kompleksitas hukum yang cukup tinggi karena perbedaan regulasi antarnegara. Investor harus melakukan due diligence lintas yurisdiksi untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan kepemilikan, perizinan, dan perpajakan. Tanpa analisis hukum yang mendalam, proyek berisiko terhambat oleh ketidaksesuaian regulasi, terutama terkait kepemilikan asing dan mekanisme perizinan yang berbeda di tiap negara.

Struktur kepemilikan melalui Special Purpose Vehicle (SPV) juga menjadi aspek krusial. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) memberikan dasar hukum mengenai hak pemegang saham, namun dalam konteks lintas batas, shareholders agreement harus dirancang dengan jelas untuk mengatur hak veto, pembagian keuntungan, dan mekanisme exit. Selain itu, perlindungan melalui asuransi dan jaminan, termasuk political risk insurance dan performance guarantees, diperlukan untuk mengantisipasi risiko proyek seperti kegagalan jaringan listrik atau perubahan kebijakan pemerintah.

Sementara itu, penyelesaian sengketa lintas batas biasanya dilakukan melalui arbitrase internasional. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS) memberikan dasar hukum bagi investor untuk memilih forum arbitrase, namun isu choice of law dan eksekusi putusan tetap menjadi tantangan. Pasal 66 UU AAPS menegaskan bahwa putusan arbitrase internasional hanya dapat diakui setelah mendapat pengakuan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sehingga investor perlu mempertimbangkan lembaga arbitrase yang kredibel seperti SIAC atau ICC untuk menjamin kepastian hukum.

Mitigasi risiko hukum dalam proyek energi terbarukan lintas batas menjadi faktor penentu keberhasilan investasi. Investor harus memastikan bahwa setiap tahap proyek, mulai dari perencanaan hingga operasional, dilindungi oleh kerangka hukum yang jelas. Salah satu langkah utama adalah melakukan cross-border due diligence secara komprehensif. Proses ini melibatkan analisis regulasi di setiap yurisdiksi yang terlibat, termasuk aturan kepemilikan asing, perpajakan, perizinan, serta standar lingkungan. Dengan melibatkan firma hukum lokal dan internasional, investor dapat mengidentifikasi potensi hambatan hukum sejak awal dan menyiapkan strategi untuk mengatasinya.

Kesimpulannya, arus investasi hijau di ASEAN hingga tahun 2030 menghadirkan peluang besar untuk mempercepat transisi energi bersih sekaligus memperkuat integrasi ekonomi kawasan, namun keberhasilan proyek cross-border renewable energy sangat bergantung pada konsistensi kebijakan, harmonisasi regulasi lintas negara, serta mitigasi risiko hukum melalui due diligence, struktur SPV yang jelas, perlindungan asuransi, dan pemilihan forum arbitrase internasional yang kredibel, sehingga investor memperoleh kepastian hukum dan proyek dapat berjalan berkelanjutan menuju target net zero emission.***

Baca juga: Pengelolaan Sampah menjadi Energi Terbarukan di Perkotaan

 

Daftar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim) (UU 16/2016). 
  • Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik (Perpres 112/2022).
  • Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2025 tentang Pedoman Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik dari Pembangkit Tenaga Listrik yang Memanfaatkan Sumber Energi Terbarukan (Permen ESDM 5/2025).
  • Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon (POJK 14/2023).
  • Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT).
  • Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS).

Referensi:

  • Potensi Investasi Hijau di ASEAN Capai Rp830 T Per Tahun Hingga 2030. Kumparan.  (Diakses pada 5 Desember 2025 pukul 14.40 WIB)
  • Indonesia Dorong Investasi Hijau Melalui Rangkaian Regulasi Strategis. AntaraNews. (Diakses pada 5 Desember 2025 pukul 14.46 WIB)
  • Laos-Thailand-Malaysia-Singapore Power Integration Project (LTMS PIP). Tenaga Nasional. (Diakses pada 5 Desember 2025 pukul 14.55 WIB)
  • Sistem Manajemen Investasi dalam Pembangunan Infrastruktur Berbasis Pembiayaan Pemerintah dan Swasta. Kemenkeu. (Diakses pada 5 Desember 2025 pukul 15.04 WIB)
  • THAILAND: Alternative Energy Development Plan 2018-2037 (AEDP 2018-2037). Asia Pacific Energy. (Diakses pada 5 Desember 2025 pukul 16.30 WIB)