Perkembangan teknologi kesehatan memberikan perubahan yang besar terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia. Salah satu inovasi terbaru adalah bedah robotik dan endoskopi untuk penanganan penyakit saluran pencernaan. Teknologi ini memiliki keuntungan akurasi tinggi, diagnosis menjadi lebih cepat, serta meminimalisir terjadi risiko bagi pasien. Beberapa rumah sakit terkemuka di Indonesia telah mulai menggunakan teknologi jenis ini sebagai bagian dari layanan unggulannya mereka, salah satunya adalah Rumah Sakit Siloam melalui Siloam Summit 2025.

Inovasi tersebut tidak hanya menawarkan keuntungan dalam bidang medis, namun juga menimbulkan berbagai tantangan hukum, baik dari sisi dasar regulasi, risiko, maupun tanggung jawab hukum rumah sakit yang bersangkutan ketika terjadi kegagalan teknologi atau bahkan kelalaian dari pihak tenaga medis/tenaga kesehatan. Oleh karena itu, pentingnya untuk memahami dasar hukum yang mengatur mengenai penerapan teknologi medis dan aspek tanggung jawab hukum yang turut berperan.

 

Bagaimana Rumah Sakit di Indonesia Mulai Menerapkan Teknologi Bedah Robotik dan Endoskopi?

 

Rumah sakit di Indonesia secara bertahap mulai mengadopsi teknologi bedah robotik dan endoskopi untuk menangani penyakit yang kompleks pada saluran pencernaan, seperti kanker usus besar, kelainan hati, serta penyumbatan saluran empedu. Pemanfaatan teknologi pun sesuai dengan tujuan dari penyelenggaraan kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 huruf g UU Kesehatan, yakni mewujudkan pengembangan dan pemanfaatan teknologi kesehatan yang berkelanjutan.

Teknologi penggunaan robot tentu menarik perhatian para klinisi, akademisi, serta regulator kesehatan karena diharapkan mampu menjadi solusi untuk mengurangi risiko komplikasi bedah pada masa mendatang. Akan tetapi, sistem yang membutuhkan biaya yang relatif masih mahal dan minimnya tenaga medis yang terlatih masih menjadi tantangan tersendiri dalam menerapkan pemanfaatan teknologi tersebut di Indonesia.

Baca juga: Proses Pengaduan Disiplin Profesi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan berdasarkan Permenkes 3/2025

 

Dasar Hukum Bedah Robotik dan Endoskopi di Indonesia

 

Pada Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) menyebutkan bahwa:

“Teknologi kesehatan adalah segala bentuk alat, produk, dan/atau metode yang ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis pencegahan, dan penanganan permasalahan kesehatan manusia.”

Salah satu metode yang termasuk ke dalam teknologi kesehatan adalah teknologi bedah robotik dan endoskopi. Meskipun dalam UU Kesehatan belum mengatur lebih spesifik mengenai teknologi bedah robotik dan endoskopi, namun pemanfaatan teknologi kesehatan berupa robotik telah diatur dalam Pasal 1021 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“PP Kesehatan”). Dalam PP Kesehatan pun telah menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga medis/tenaga kesehatan harus memenuhi standar mutu, keamanan, dan keselamatan, serta hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga medis/tenaga kesehatan yang terlatih sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.

Dengan adanya regulasi yang mengatur mengenai teknologi pada bidang kesehatan mampu menciptakan terciptanya kerangka hukum yang jelas, sehingga rumah sakit tidak hanya berfokus pada inovasi, tetapi juga bertanggung jawab dalam memastikan kecakapan tenaga medis, kelayakan alat, maupun perlindungan hukum bagi pasien. Jika standar yang telah ditetapkan tidak dapat dipenuhi oleh pihak rumah sakit maupun tenaga medis/tenaga kesehatan, maka akan berpotensi munculnya risiko hukum, baik dalam bentuk sanksi administratif, pertanggungjawaban perdata, bahkan pidana bila penggunaan teknologi justru menimbulkan kerugian bagi pasien. 

Baca juga: Manfaat Biomedical Genome Science Initiative (BGSi) dalam Pelayanan Kesehatan

 

Risiko Hukum dan Tanggung Jawab Rumah Sakit

 

Setiap orang, termasuk pasien berhak untuk mendapatkan pelindungan dari risiko kesehatan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k UU Kesehatan. Sementara itu, rumah sakit sebagai fasilitas kesehatan berkewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminatif, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit sesuai Pasal 189 ayat (1) UU Kesehatan. Adanya hak dan kewajiban dari masing-masing pihak menimbulkan konsekuensi hukum, khususnya jika rumah sakit terbukti lalai dalam menjalankan kewajibannya.

Meskipun bedah robotik dan endoskopi menawarkan keunggulan yang signifikan, namun tetap saja berpotensi terjadi risiko medis, baik karena faktor manusia, kegagalan teknologi, maupun ketidaksesuaian standar prosedural. Lebih lanjut, beberapa risiko medis akan dijabarkan sebagai berikut:

  • Risiko Kelalaian Medis 

Ketika melaksanakan tindakan bedah robotik dan endoskopi, dokter selaku tenaga medis yang menjadi operator utama. Maka dari itu, apabila terjadi risiko medis dalam bentuk cedera, pendarahan, ataupun kejadian buruk pasca operasi yang diterima oleh pasien akibat dari terjadinya kesalahan dalam menggunakan perangkat atau pengambil keputusan yang salah selama berlangsungnya pemberian layanan kesehatan, rumah sakit tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya. Oleh karena itu, rumah sakit harus memastikan bahwa seluruh pemberi layanan kesehatan, termasuk tenaga medis telah memenuhi standar kelayakan sebagaimana diatur dalam Pasal 1016 ayat (3) huruf d PP Kesehatan.

  • Risiko Malfungsi Teknologi

Sistem yang kompleks berperan penting dalam bedah robotik dan endoskopi. Adanya permasalahan teknis berpotensi mengganggu fungsi dan menimbulkan risiko bagi keselamatan pasien. Pada situasi semacam itu, rumah sakit harus memastikan bahwa seluruh perangkat medis yang digunakan telah sesuai dengan beberapa kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 1018 ayat 2 PP Kesehatan, sebelum teknologi tersebut dimanfaatkan.

  • Risiko Prosedural
    Risiko ini dapat timbul apabila pelaksanaan tindakan medis tidak sesuai dengan standar operasional dalam memberikan layanan kesehatan, termasuk tidak adanya informed consent dari pasien ataupun keluarganya. Ketika tidak mendapat informed consent, maka hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan pada Pasal 293 ayat (1) UU Kesehatan yang menegaskan bahwa seluruh pelayanan kesehatan harus mendapat persetujuan dalam bentuk informed consent.

Untuk mengatasi terjadinya risiko medis, rumah sakit bertanggung jawab atas segala kelalaian yang dilakukan oleh SDM rumah sakit sebagaimana tertera dalam Pasal 193 UU Kesehatan yang menyatakan bahwa:
“Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh Sumber Daya Manusia Kesehatan Rumah Sakit.”

Berdasarkan pasal di atas, maka dapat diketahui bahwa rumah sakit tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab hukum hanya karena kesalahan terjadi karena tenaga medis. Adapun beberapa bentuk tanggung jawab rumah sakit akibat dari risiko medis adalah sebagai berikut: 

  • Tanggung Jawab Perdata

Apabila pasien ataupun keluarga pasien yang bersangkutan mengalami kerugian akibat kelalaian atau kesalahan pemberian layanan kesehatan, maka dapat menuntut rumah sakit dengan berlandaskan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) sebagaimana dalam Pasal 1365 KUHPer telah menegaskan bahwa segala perbuatan melawan hukum yang merugikan mewajibkan pelaku mengganti kerugian tersebut. Dalam hal ini, rumah sakit dapat digugat jika terbukti lalai atas kewajibannya. Adapun bentuk tanggung jawab pada umumnya berupa ganti rugi materiil dan immateriil.

  • Tanggung Jawab Pidana

JIka kelalaian tenaga medis mengakibatkan pasien luka atau mati, berdasarkan Pasal 475 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), pelaku dapat dikenakan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak pada kategori II, yakni Rp10.000.000 (sepuluh juta) dengan tambahan pidana ⅓ karena dilakukan saat menjalankan profesinya sebagai tenaga medis.

  • Tanggung Jawab Administratif 

Dari sudut pandang administratif, rumah sakit sebagai fasilitas pelayanan kesehatan berkewajiban memenuhi ketentuan terkait perizinan, akreditasi, serta standar keselamatan pasien. Apabila terbukti melakukan pelanggaran, maka akan dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 747 hingga Pasal 753 PP Kesehatan. Jika tidak melaksanakan sanksi administratif, berdasarkan Pasal 754 PP Kesehatan telah ditegaskan bahwa nama Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan masuk dalam daftar pelanggar administratif dan akan diumumkan kepada masyarakat secara berkala melalui media sosial.

  • Tanggung Jawab Etik dan Profesional

Selain pertanggungjawaban hukum formal, rumah sakit memiliki tanggung jawab  berdasarkan kode etik profesional dari profesi medis. Apabila tenaga medis dan/atau manajemen rumah sakit terbukti terjadi pelanggaran etika profesi, maka tindakan tersebut tentu mencoreng kehormatan profesi dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi pelayanan kesehatan. Pelanggaran kode etik kedokteran tidak hanya dipandang sebagai kesalahan moral, namun juga sebagai bentuk pelanggaran terhadap kewajiban profesionalisme tenaga medis sebagaimana telah diatur dalam UU Kesehatan dan PP Kesehatan.

Inovasi bedah robotik dan endoskopi untuk saluran pencernaan membuka harapan baru bagi layanan kesehatan di Indonesia karena tingkatan akurasinya, pemulihan cepat, dan kualitas layanan yang tinggi. Akan tetapi, terdapat implikasi hukum dan tanggung jawab yang harus dipatuhi oleh tenaga medis dan rumah sakit. Oleh karena itu, pemanfaatan teknologi medis yang efektif di Indonesia tidak hanya berdasarkan fasilitas teknologi canggih, tetapi juga penerapan standar profesi dan perlindungan hak-hak pasien. Dengan mencapai keseimbangan yang tepat antara inovasi dan kepastian hukum, bedah robotik berpotensi sebagai tonggak penting menuju layanan kesehatan modern di Indonesia.***

Baca juga: Peran Big Data dalam Peningkatan Sistem Kesehatan Nasional

Daftar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”)
  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”)
  • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”)
  • Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“PP Kesehatan”)
  • Kode Etik Kedokteran Indonesia (“KODEKI”)

Referensi:

  • Teknologi Penanganan Penyakit Pencernaan Jadi Sorotan di Siloam Summit 2025. Detik. (Diakses pada 6 Oktober 2025 Pukul 10.00 WIB).